Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ke Mancanegara Para Cerdas Bangsa Mengalir Deras

20 Desember 2024   22:56 Diperbarui: 21 Desember 2024   07:45 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penelitian terkait Covid-19.(GETTY IMAGES via BBC INDONESIA)

Pagi itu, sekitar tahun 1992, di SMA Negeri 1 Bandung. Hari itu pelajaran dimulai dengan Pendidikan Moral Pancasila. Karena guru pengampunya suka memberikan tugas membuat esai, maka setiap orang harus memaparkannya. Temanya macam-macam dan tentunya yang aktual pada saat itu.

Udara Bandung yang sejuk, meskipun sinar matahari masuk lewat pintu kelas yang menghadap Timur, dan aroma wangi di pagi hari, kelas tetap saja tidak mampu membuat kelas bergairah. 

Anak-anak masih sibuk dengan cerita kemarin tentang perkelahian antar sekolah. Namun, ketika sang guru melangkah masuk kelas, anak-anak mulai bergeser dan duduk di bangku masing-masing. Saya masih sempat melemparkan lirikan ke Yunita, cewek kecengan berparas mirip Demi Moore, sebelum mendaratkan pantat di bangku.

Satu per satu anak-anak menyajikan paparannya. Semua sama saja, tidak ada yang memperhatikan. Tema-temanya, standar saja. Tidak ada yang membahas hal-hal yang sensitif. Karena masanya memang begitu. Sampai kemudian, salah satu teman bernama Parminto mendapatkan gilirannya. Dia berbicara tentang sesuatu yang menarik perhatianku, Brain Drain.

Selanjutnya dia bercerita. Indonesia mengalami pelarian orang-orang cerdas ke luar negeri. Orang-orang pintar dari Indonesia memilih untuk bekerja di luar negeri. Ada dari mereka yang belajar di luar negeri dan tidak kembali. Ada juga yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan-perusahaan raksasa global, setelah tamat belajar dari perguruan tinggi luar negeri.

Bacharuddin Jusuf Habibie, salah satunya. Pria cerdas kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan ini, yang sering disebut dengan BJ. Habibie, bekerja di perusahaan raksasa Airbus di Jerman, setamat dari studinya di negeranya Franz Beckenbauer itu. 

Pada tahun 1973, Presiden Suharto memintanya pulang untuk membenahi riset dan industri penerbangan, pertahanan, dan pertambangan. Habibie, sampai kini, dikenal sebagai salah satu manusia paling cerdas di Indonesia.

Melihat jejak Habibie, alasannya untuk tetap di Jerman setelah tamat belajar adalah lebih kepada ilmu yang didapatkannya tidak memiliki tempat di Indonesia. Keahliannya di bidang dirgantara tidak memiliki peluang di Indonesia. 

Tidak ada industrinya, dan juga ekosistem pendukungnya. Jika dia kembali ke Indonesia, setelah tamat, maka dia akan berakhir di belakang meja mengurusi hal-hal bersifat administratif.

Dana penelitian di Indonesia sangat kecil, salah satu faktor brain drain. (Sumber: UPN Yogyakarta)
Dana penelitian di Indonesia sangat kecil, salah satu faktor brain drain. (Sumber: UPN Yogyakarta)

Masih Mengalir Terus

Fenomena yang telah terjadi setidaknya 50-an tahun yang lalu, masih saja terjadi. Akhir-akhir ini, berita mengenai aliran para cerdas ke luar negeri ini kembali menggema di media-media kita. 

Berawal dari adanya isu di mana para penerima beasiswa dari pemerintah Indonesia tidak ingin kembali ke Indonesia setelah menamatkan pendidikannya. Banyak yang berusaha untuk tetap di luar negeri, dengan berbagai cara. Melanjutkan pendidikan menjadi salah satunya. Alasan lain, mereka ingin bekerja dulu di luar negeri sebelum kembali. Mereka ingin mempraktekkan ilmu mereka, sebelum pulang ke Indonesia.

Dari data Kementerian Luar Negeri, terdapat kurang lebih 2 juta warga negara Indonesia tinggal di luar negeri. Sementara itu, jumlah diaspora, diperkirakan mencapai 8 -- 10 juta orang. 

Dari total penduduk Indonesia, jumlah ini termasuk kecil. Tidak sampai 5% dari total jumlah penduduk saat ini, yang berjumlah sekitar 280 juta, sesuai sensus pada tahun 2024 Badan Pusat Statistik Indonesia. Meskipun bisa dipastikan, tidak semuanya bagian dari brain drain ini.

Paling mutakhir, pernyataan dari Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brojonegoro, seperti mendukung pelarian orang-orang dengan otak encer ini. Seperti dikutip dari kompas (dot) com (05/11/2024) lalu, Menteri yang merupakan dosen di ITB, ini menyatakan lulusan penerima beasiswa LPDP tidak harus pulang ke Indonesia. Mereka dapat mengembangkan karirnya di mana saja. Pernyataan ini tentunya akan memberikan semangat bagi para cerdas bangsa untuk tetap dan mencari pekerjaan di luar negeri.

Kemungkinan Penyebab

Tentunya, bekerja di luar negeri mendapatkan gengsi tersendiri. Reputasi sebagai pekerja global (global worker), terutama yang berbasis pendidikan tinggi, bukan pekerjan kasar (blue collar worker), menambah nilai (value) seorang pekerja. 

Hal ini dapat memperluas jangkauan kerja, tidak hanya di Indonesia. Mereka bisa bekerja di mana saja. Jika merek bekerja di organisasi atau perusahaan raksasa global, mereka bisa ditempatkan dimana saja. Kondisi ini tentunya sejalan dengan tingkat kesejahteraannya. Kesejahteraan tinggi.

Tanpa menyebutkan gaji mereka, sudah bisa dipastikan jika mereka bekerja di negara-negara maju pendapatan lebih tinggi, dan penghidupan mereka akan lebih terjamin. Termasuk keberlanjutan karier, karena kesempatan bekerjanya (opportunity) terbuka di mana saja di muka bumi ini.

Dengan eksposur pada dunia kerja di tingkat global, mereka akan lebih cepat dan mudah untuk mengakses perkembangan pengetahuan, teknologi, dan praktek terbaru. Hal ini menambah kemampuan mereka bersaing (comparative advantage) pada tingkat individual. Gilirannya, kesempatan kerja bagi mereka akan lebih tinggi dan berkelanjutan. Kondisi ini tentunya sangat menarik bagi siapa pun.

Jika suatu ketika mereka kembali ke Indonesia, setelah mendapatkan pengalaman bekerja pada tingkat global, dapat dipastikan juga mereka akan dengan mudah mendapatkan kesempatan kerja (employment opportunity) di perusahaan atau organisasi asing di Indonesia. Posisi pasti akan lebih tinggi, dan kesejahteraan dapat dipastikan lebih baik.

Jika elaborasi di atas lebih kepada faktor eksternal, maka faktor internalnya, faktor dalam negeri, juga berkontribusi. Ketidaktersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian yang didapatkan di luar negeri, menjadi salah satu faktor pendorong perginya para cerdas bangsa ini. Terutama yang ilmunya terkait dengan riset. Sudah menjadi pengetahuan umum, dunia riset di Indonesia adalah dunia yang suram. Ketidaksinambungan antara hasil riset dan industri menjadi kendalanya.

Apa persoalannya?

Riset di Indonesia hanya didanai dengan alokasi yang sangat kecil. Merujuk pada Laporan Indeks Inovasi Global (2023), Indonesia berada pada urutan 75 dari 135 negara, terkait alokasi dana untuk riset. Nilainya sekitar Rp. 10 triliun. Angka ini sangat kecil, dibandingkan APBN. Bahkan kita kalah dari Vietnam dan Filipina yang berada pada urutan 48 dan 59.

Dunia kerja di Indonesia yang berbasis pada nepotisme dan kolusi juga memperlemah semangat para cerdas ini untuk berkarya di Indonesia. Hal ini dapat dikonfirmasi dari pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang menyatakan bahwa banyak perusahaan daerah yang mengalami kebangkrutan karena adanya orang dalam. Proses yang tidak transparan dan penuh dengan konspirasi ini sangat dihindari orang-orang cerdas ini. Jika di daerah terjadi, kemungkinan besar di tingkat pusat pun terjadi.

Satu lagi yang mungkin faktor pendorong derasnya aliran ini adalah posisi dan pekerjaan. Di pemerintahan, di luar faktor nepotisme dan kolusi, para pegawai pemerintah akan disibukkan dengan urusan administrasi. 

Sangat jauh dengan dunia ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di luar negeri. Pegawai pemerintah yang lulusan luar negeri sekali pun akan berakhir dengan urusan administrasi.

Beberapa faktor di atas, baik eksternal mau pun internal, berpotensi besar untuk mendorong arus deras pelarian para cerdas bangsa (brain drain) ke negara lain, dimana mereka dapat menerapkan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan (skill) mereka. 

Terlebih lagi lingkungan kerja di luar negeri lebih menarik. Lingkungan kerja yang memberikan ruang untuk berkembang dan bereksperimen, tanpa disibukkan dengan urusan administrasi, dan berjuang di dunia yang tidak nepotis, kolutif, dan koruptif.

Bangsa ini masih akan terus menyaksikan anak-anak bangsanya berlarian ke negara lain. Sebelum pemerintah negeri tercinta ini menyiapkan ekosistem bagi pengembangan dan penerapan pengetahuan, lingkungan yang kondusif, dana yang memadai, dan sistem penilaian yang adil (fair merit sytem), maka aliran itu akan tetap deras. Tentunya hal ini sebuah kerugian besar bagi Indonesia. Lalu selanjutnya, bangsa ini akan tetap seperti ini saja. Negara berkembang. Negara berpendapatan menengah rendah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun