Jika suatu ketika mereka kembali ke Indonesia, setelah mendapatkan pengalaman bekerja pada tingkat global, dapat dipastikan juga mereka akan dengan mudah mendapatkan kesempatan kerja (employment opportunity) di perusahaan atau organisasi asing di Indonesia. Posisi pasti akan lebih tinggi, dan kesejahteraan dapat dipastikan lebih baik.
Jika elaborasi di atas lebih kepada faktor eksternal, maka faktor internalnya, faktor dalam negeri, juga berkontribusi. Ketidaktersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian yang didapatkan di luar negeri, menjadi salah satu faktor pendorong perginya para cerdas bangsa ini. Terutama yang ilmunya terkait dengan riset. Sudah menjadi pengetahuan umum, dunia riset di Indonesia adalah dunia yang suram. Ketidaksinambungan antara hasil riset dan industri menjadi kendalanya.
Apa persoalannya?
Riset di Indonesia hanya didanai dengan alokasi yang sangat kecil. Merujuk pada Laporan Indeks Inovasi Global (2023), Indonesia berada pada urutan 75 dari 135 negara, terkait alokasi dana untuk riset. Nilainya sekitar Rp. 10 triliun. Angka ini sangat kecil, dibandingkan APBN. Bahkan kita kalah dari Vietnam dan Filipina yang berada pada urutan 48 dan 59.
Dunia kerja di Indonesia yang berbasis pada nepotisme dan kolusi juga memperlemah semangat para cerdas ini untuk berkarya di Indonesia. Hal ini dapat dikonfirmasi dari pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, yang menyatakan bahwa banyak perusahaan daerah yang mengalami kebangkrutan karena adanya orang dalam. Proses yang tidak transparan dan penuh dengan konspirasi ini sangat dihindari orang-orang cerdas ini. Jika di daerah terjadi, kemungkinan besar di tingkat pusat pun terjadi.
Satu lagi yang mungkin faktor pendorong derasnya aliran ini adalah posisi dan pekerjaan. Di pemerintahan, di luar faktor nepotisme dan kolusi, para pegawai pemerintah akan disibukkan dengan urusan administrasi.Â
Sangat jauh dengan dunia ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di luar negeri. Pegawai pemerintah yang lulusan luar negeri sekali pun akan berakhir dengan urusan administrasi.
Beberapa faktor di atas, baik eksternal mau pun internal, berpotensi besar untuk mendorong arus deras pelarian para cerdas bangsa (brain drain) ke negara lain, dimana mereka dapat menerapkan ilmu, pengetahuan, dan keterampilan (skill) mereka.Â
Terlebih lagi lingkungan kerja di luar negeri lebih menarik. Lingkungan kerja yang memberikan ruang untuk berkembang dan bereksperimen, tanpa disibukkan dengan urusan administrasi, dan berjuang di dunia yang tidak nepotis, kolutif, dan koruptif.
Bangsa ini masih akan terus menyaksikan anak-anak bangsanya berlarian ke negara lain. Sebelum pemerintah negeri tercinta ini menyiapkan ekosistem bagi pengembangan dan penerapan pengetahuan, lingkungan yang kondusif, dana yang memadai, dan sistem penilaian yang adil (fair merit sytem), maka aliran itu akan tetap deras. Tentunya hal ini sebuah kerugian besar bagi Indonesia. Lalu selanjutnya, bangsa ini akan tetap seperti ini saja. Negara berkembang. Negara berpendapatan menengah rendah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H