Seandainya Menteri Ara diijinkan untuk meminjam dari Bank Dunia, maka pekerjaan rumah lanjutannya masih sangat panjang. Hutang dari Bank Dunia, biasanya hutang jangka panjang, bisa hingga 20-30 tahun, dengan masa tenggang (grace period) sekitar 5 -- 10 tahun. Artinya, pemerintah Indonesia, lebih tepatnya rakyat Indonesia,  tidak akan membayar cicilan dan pokok selama 5 -10 tahun sejak penandatanganan. Pembayaran dimulai pada tahun 6 atau ke-11, sesuai perjanjian. Bank Dunia tentunya memperhatikan juga risiko kredit (credit risk) pemerintah Indonesia. Risiko kredit maksudnya nilai total pinjaman pemerintah Indonesia, tidak melebihi USD 18 milyar. Setidaknya, berdasarkan informasi tahun 2020.
Ketika meminjam ke Bank Dunia, pemerintah Indonesia, selaku peminjam (borrower), akan dikenakan biaya di muka (front end fee), semacam biaya pengurusan (provisi) sebesar USD 400.000. Biaya ini adalah final, artinya langsung dipotong di depan. Bunga pinjaman berada di atas suku buku Libor (London Interbank Offered Rate). Memang lebih murah dari bunga pinjaman komersial.
Ternyata, tidak cukup sampai di situ. Peminjam dalam hal ini pemerintah Indonesia dikenakan biaya yang disebut dengan komitmen (commitment fee). Biaya ini nilainya sebesar 0,25% per tahun dari jumlah hutang yang belum ditarik atau digunakan. Ditarik artinya Bank Dunia sudah mentransfer uangnya ke rekening negara yang dibuat khusus untuk pinjaman ini di Bank Indonesia. Jumlah nominalnya akan semakin besar, jika pekerjaan terlambat dilaksanakan, karena dana tertahannya masih besar. Â Meskipun Bank Dunia biasanya akan menyatakan keprihatinan atas keterlambatan, namun mereka senang juga. Ada tambahan dana yang masuk ke pundi-pundinya.
Jadi, ketika sudah ditanda-tangani perjanjian hutang (loan agreement), dananya tidak serta merta ditransfer seluruhnya ke bendahara negara Indonesia, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Transfer akan dilakukan Bank Dunia, sesuai dengan perjanjian penggunaan, yang ada dalam dokumen kesiapan pinjaman.
Jika transfer pertama sudah terpakai kira-kira 80%, maka permintaan selanjutnya dapat diajukan. Tentunya ini memerlukan semacam persetujuan dari Bank Dunia, dengan melihat kemajuan pekerjaan penarikan pertama atau sebelumnya. Bank Dunia harus mengeluarkan surat persetujuan yang disebut surat tanpa keberatan (NOL -- no objection letter). Kita sudah minjam, masih diatur juga. Heran, tetapi ada bagusnya juga.
Dengan demikian, harus dipastikan, pekerjaan sesuai dengan rencana pinjaman. Namun, hal ini tampaknya akan sulit. Pengadaan lahan 26.000 hektar akan bisa menjadi batu sandungan bagi kemajuan pekerjaan. Membangun 3 juta unit rumah merupakan pekerjaan yang kompleks terlebih lagi harus diselesaikan dalam 1 tahun. Memerlukan banyak tangan-tangan yang harus dikelola. Khawatirnya, tangan-tangan itu bisa menjadi panjang, dan melahirkan kebocoran dana kemana-mana.
Selain, itu ada lagi yang harus menjadi perhatian, salah satu persyaratan pinjaman bank dunia, yakni upaya pengamanan (safeguarding), baik sosial mau pun lingkungan (social safeguarding and environmental safeguarding). Ini bukan persoalan yang mudah. Karena pekerjaan yang dibiayai oleh pinjaman ini dilarang merusak lingkungan dan membuat masyarakat terdampak menjadi lebih menderita. Secara prinsip, begitu.
Meskipun meminjam, tampaknya tidak mudah juga. Banyak pekerjaan yang harus dipastikan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Jika tidak, hutang tinggal hutang. Nilai total yang diterima, bisa semakin menyusut. Rumah rakyat hanya tinggal rumah rayap. Pusing kepala berbie nih, Bang Ara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H