Kebutuhan lahan untuk membangun kawasan permukiman memerlukan lahan yang sangat luas. Dengan perkiraan kasar setidaknya diperlukan 80 m2 per rumah tangga.
Lahan ini dibutuhkan untuk untuk bangunan rumah, fasilitas umum dan sosial, sistem jaringan air kotor dan ruang terbuka hijau, yang umumnya 30% dari total lahan. Ini belum termasuk pengembangan infrastruktur pendukung seperti jalan akses, sarana kesehatan, pendidikan dan ekonomi seperti pasar.
Dengan asumsi kebutuhan lahan di atas, setidaknya diperlukan lahan kurang lebih 120.000 hektar untuk 12,7 juta kebutuhan rumah tangga. Ini belum termasuk kebutuhan untuk infrastruktur pendukung utama. Jika diperkirakan kebutuhan perumahan dan infrastruktur pendukung 1:1, maka setidaknya diperlukan lahan 240.000 hektar.
Tentunya, lokasi lahan ini harus layak menjadi tempat hunian. Setidaknya tidak di daerah pegunungan yang berisiko. Lokasi di tepi sungai juga harus dihindarkan, mengantisipasi banjir. Menyediakan jumlah lahan sebesar ini tentunya tidak mudah. Terlebih lagi, lahan tersebut harus berharga murah, sehingga terjangkau oleh masyarakat.
Dalam konteks hibah lahan dan mengambil alih lahan-lahan koruptor, tentunya bukan pekerjaan mudah. Kepemilikan lahan akan menjadi persoalan. Apakah kerjasama swasta dan pemerintah dapat diterapkan? Misalkan swasta yang membangun dan negara yang menyediakan tanahnya. Ini hanya bisa terjadi jika skemanya menguntungkan.
Selain itu, status lahan tanah harus jelas agar dapat dimanfaatkan. Sebagai tambahan, apakah lahannya memadai untuk dibuat perumahan yang lengkap dengan infrastruktur pendukungnya. Kepemilikan juga akan menjadi seperti apa? Tidak mungkin digratiskan ke masyarakat.
Penyediaan Sarana Pendukung
Beberapa waktu lalu, seperti diberitakan di media, sebuah kompleks perumahan di Cikarang, Kabupaten Bekasi, terbengkalai. Proyek rumah subsidi yang merupakan bagian dari program rumah subsidi Jokowi, ditinggal penghuninya. Di Karawang juga ditemukan juga kompleks perumahan yang ditinggal penghuninya. Rumah-rumah tampak kosong dan tidak terawat. Perumahan, yang dimiliki oleh anak Soeharto, itu terlantar dan tidak memiliki penghuni. Apa penyebabnya? Ada beberapa diantaranya.
Membangun perumahan atau permukiman haruslah menjadi bagian dari satu kawasan, yang didalamnya tersedia sistem dan sub-sistem pendukung. Perumahan yang jauh dari sumber-sumber ekonomi, tentunya tidak akan dihuni. Bila pekerjaan jauh dari permukiman, terlebih lagi tidak memiliki sistem tranportasi yang memadai, sudah barang tentu akan ditinggalkan.
Belum lagi sarana dan prasarana lainnya, yang harus terjangkau oleh masyarakat. Sarana dan prasarana itu seperti sekolah, rumah sakit, pasar, dan pusat kegiatan ekonomi yang dapat dijangkau. Jika hanya membangun perumahannya saja, tanpa ada sarana pendukung, tentunya masyarakat akan minggat.
Sarana transportasi juga harus tersedia. Sarana transportasi massal yang terjangkau akan mendukung berkembangnya kawasan. Sarana transportasi di Jakarta dan daerah satelitnya masih sangat terbatas. Sehingga, penggunaan kendaraan pribadi, motor dan mobil, menjadi pilihan yang harus diambil, di tengah makin terbatasnya sarana dan jalan. Ujungnya menimbulkan kemacetan dan kerugian jangka panjang. Masyarakat calon penghuni kehilangan minat.