Berita itu melintas saja di lini masa. Diberitakan 8 sekolah di Jakarta Selatan ditunjuk menjadi tempat isolasi pasien Covid 19. Berita ini selaras dengan surat edaran Kepala Dinas Pendidikan Jakarta ke Sekrtaris Daerah yang berisi usulan 136 sekolah menjadi lokasi isolasi pasien covid 19 dan akomodasi tenaga medis yang menanganinya. Ruang kelas menjadi ruang isolasi pasien covid 19. Sangat merisaukan. Sangat mengkhawatirkan.
Selintas, usulan menjadikan sekolah sebagai lokasi isolasi dan akomodasi terkait krisis pandemik covid 19 masuk akal. Ruang sekolah saat ini tidak digunakan karena murid-murid di Jakarta sedang belajar di rumah. Ini untuk mencegah penularan, itu alasannya. Ruang-ruang kelas yang tentunya tidak terpakai ini dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti ruang isolasi.
Sekolah dalam masa darurat bencana dan krisis seperti saat ini memang dapat digunakan sebagai fasilitas pendukung upaya penanganan seperti tempat pengungsian. Peraturan Kepala BNPB No. 4/2012 mengamini hal ini. Peraturan Menteri Pendidikan No. 33/2019 tidak juga berbeda.
Bahkan standar international oleh Inter-agency Network for Education in Emergencies (INEE) memberikan kemungkinan. Tetapi tentunya penggunaan sekolah menjadi fasilitas pendukung krisis atau darurat bencana harus menjadi pilihan terakhir. Narasi yang digunakan dalam standar internasional itu yakni tidak dianjurkan. Masih boleh, tetapi harus menjadi pilihan terakhir (last resort). Pastinya dengan kriteria dan mekanisme yang ketat.
Untuk konteks DKI Jakarta, yang merupakan episentrum dari krisis Covid 19 ini, usulan memakai sekolah untuk ruang isolasi menjadi absurd dan cenderung tidak masuk akal. Ini seperti hanya menggampangkan saja urusan pengadaan fasilitasi covid 19 ini.
Bahkan dalam ruang publik tidak kurang dari pihak internal pemerintah DKI Jakarta sendiri yakni Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta pada 21 April 2020 menentang usulan ini. Sekolah tidak elok dan pas untuk lokasi isolasi covid 19. Alasan kuatnya, ruang-ruang sekolah tidak dirancang untuk standar kesehatan dan rumah sakit. Butuh banyak biaya upgrading. Selain itu, memunculkan polemik di masyarakat. Alasan ini pastinya masuk akal.
Segendang sepenarian, pada 23 April 2020, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi meminta agar usualan ini ditinjau kembali. Tentunya, terma ditinjau kembali cenderung pada menghentikan. Alasannya, ini akan menciptakan kluster-kluster baru, tersebab sekolah berada di loksai pemukiman ramai penduduk.
Di masyarakat yang sangat dinamis, dengan variasi pemahaman, budaya, pengertian dan kondisi sosioekonomisnya, akan bereaksi negatif. Sudah cukup banyak informasi terkait ini, penolakan perawat di kosan, penolakan pemakaman mayat pasien Covid 19 dan pengusiran keluarga yang anggota keluarganya positif terinfeksi Corona. Stigmatisasi masih kuat di masyarakat.
Diskusi di dunia maya tidak berbeda, setali tiga uang. Masyarakat cenderung lebih 'sangar' dengan narasi dan terma yang lebih tajam dari anggota DPRD DKI Jakarta itu. 'Mau dikemanakan APBD Jakarta yang besar itu?", ujar seorang netizen di sebuah media sosial. Tidak kurang, para kepala sekolah yang sekolahnya menjadi calon isolasi pasien covid 19 juga was-was.
Netizen ini mempertanyakan usulan kebijakan ini yang seharusnya tidak menjadi pilihan. Dalam pandangannya, DKI Jakarta mampu untuk memobiliasi berbagai fasilitas publik dan swasta yang bejibun tersebar di berbagai wilayah. Pihak swasta yang saat ini tertekan, seperti pemilik hotel dan penginanapan, dapat digandeng untuk berkolaborasi mengatasi kebutuhan ruang untuk isolasi ini. Keuntungan berada di kedua belah pihak.
Pada kenyataannya memang demikian. Ruang kelas tidak harus menjadi pilihan untuk isolasi covid 19 dan akomodasi tim medis di DKI Jakarta. Banyak risiko yang muncul jika ini diterapkan. Dapat dijabarkan disini. Risiko pertama ruang sekolah tidak dirancang untuk perawan pasien, terlebih lagi covid 19 yang daya tularnya sangat tinggi. Ini dapat berdampak bagi pasien itu sendiri dan tenaga medisnya. Alih-alih mengisolasi malah mentransmisi alias menularkan. Selain itu, jika harus memfungsikannya, akan ada upgrade besar-besaran bagunan sekolah..
Sebelumnya, disampaikan juga bahwa stigmatisasi masih kental di masyarakat di tengah ketakutan akan dampak covid 19. Kengerian membayang di pelupuk mata. Sekolah bisa jadi distigmakan sebagai sekolah covid 19. Anak-anak didiknya bisa 'diejek' anak sekolah covid 19. Kondisi emosi anak yang masih sangat polos, dapat mengakibatkan tekanan kepada anak jika diejek seperti itu. Terlebih, covid 19 ditangkap sebagai sesuatu yang sangat negatif.
Dampak lainnya, sekolah yang digunakan tentunya harus dikembalikan ke bentuk semula. Ini akan memakan waktu, yang berimplikasi pada tertundanya kembali proses belajar mengajar di sekolah, yang sudah sangat dirindukan oleh anak-anak pelajar di seentaro negeri. Proses sterilisasi juga harus dilakukan secara seksama.
Penerapan isolasi 14 hari tentunya harus diberlakukan kepada sekolah yang dipakai. Tidak bisa langsung digunakan setelah disemprot cairan desinfektan. Jika hanya seperti itu, risiko masih akan tetap tinggi. Dampak ikutannya, bertambah lagi waktu yang hilang untuk belajar dan waktu kembali ke sekolah akan lebih lama. Lalu, seperti apa prosedur, mekanisme dan tim untuk melakukan penilaian dan memberikan stempel clean and clear untuk setiap sekolah yang digunakan dan dinilai?
Tentunya, harapan dan anjuran dari berbagai pemangku kepentingan ini didengarkan Pemerintah DKI Jakarta, khususnya gubernur. Dengan provinsi raksasa, dari segi APBD, banyaknya sarana publik dan non-publik yang dapat dimobilisasi serta sumber daya manusia yang mumpuni yang mengelilingi gubernur, seharusnya usulan pemakaian sekolah jadi tempat isolasi dan akomodasi tenaga medis dihentikan.
Pilihan-pilihannya banyak sekali. Beberapa sarana olah raga yang tidak terpakai pasca Asian Games dapat diberdayakan tentunya lewat koordinasi dengan pemerintah pusat. Tempat-tempat pelatihan milik pemerintah dan swasta dapat diupayakan, pastinya lewat kesepaktan dalam semangat mendukung penanggulangan covid 19 ini.
Memaksimalkan fungsi-fungsi puskesmas di kecamatan-kecamatan bisa jadi alternatif yang paling masuk akal. Rumah susun yang belum dimanfaatkan seperti yang ada di Pasar Rumput, mungkin bisa jadi pilihan. Untuk semuanya, memang perlu kerjasama, koordinasi dan saling terbuka dan membantu di tingkat pemerintahan pusat dan daerah serta dengan berbagai pemangku kepentingan. Tidak mudah, tetapi doable.
Jadi, tidak mencari gampangannya saja dengan mengorbankan banyak hal, khususnya nasib anak-anak kita yang akan menjadi penerus bangsa ini. Hari ini merupakan masa depan anak-anak kita yang kita pinjam. Sudah banyak sumber daya yang seharusnya digunakan di masa depan anak-anak kita, tetapi sudah kita gunakan hari ini.
Jangan lagi diambil ruang belajar mereka di sekolah. Biarlah itu tetap menjadi ruang semai bagi pengembangan diri dan pengetahuan mereka dalam menuju masa depan dan menjadi mercusuar bagi dirinya dan juga masyarakatnya. Cukup! Hentikan upaya pemakaian sekolah menjadi ruang isolasi covid 19 dan akomodasi tenaga medisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H