Sebelumnya, disampaikan juga bahwa stigmatisasi masih kental di masyarakat di tengah ketakutan akan dampak covid 19. Kengerian membayang di pelupuk mata. Sekolah bisa jadi distigmakan sebagai sekolah covid 19. Anak-anak didiknya bisa 'diejek' anak sekolah covid 19. Kondisi emosi anak yang masih sangat polos, dapat mengakibatkan tekanan kepada anak jika diejek seperti itu. Terlebih, covid 19 ditangkap sebagai sesuatu yang sangat negatif.
Dampak lainnya, sekolah yang digunakan tentunya harus dikembalikan ke bentuk semula. Ini akan memakan waktu, yang berimplikasi pada tertundanya kembali proses belajar mengajar di sekolah, yang sudah sangat dirindukan oleh anak-anak pelajar di seentaro negeri. Proses sterilisasi juga harus dilakukan secara seksama.
Penerapan isolasi 14 hari tentunya harus diberlakukan kepada sekolah yang dipakai. Tidak bisa langsung digunakan setelah disemprot cairan desinfektan. Jika hanya seperti itu, risiko masih akan tetap tinggi. Dampak ikutannya, bertambah lagi waktu yang hilang untuk belajar dan waktu kembali ke sekolah akan lebih lama. Lalu, seperti apa prosedur, mekanisme dan tim untuk melakukan penilaian dan memberikan stempel clean and clear untuk setiap sekolah yang digunakan dan dinilai?
Tentunya, harapan dan anjuran dari berbagai pemangku kepentingan ini didengarkan Pemerintah DKI Jakarta, khususnya gubernur. Dengan provinsi raksasa, dari segi APBD, banyaknya sarana publik dan non-publik yang dapat dimobilisasi serta sumber daya manusia yang mumpuni yang mengelilingi gubernur, seharusnya usulan pemakaian sekolah jadi tempat isolasi dan akomodasi tenaga medis dihentikan.
Pilihan-pilihannya banyak sekali. Beberapa sarana olah raga yang tidak terpakai pasca Asian Games dapat diberdayakan tentunya lewat koordinasi dengan pemerintah pusat. Tempat-tempat pelatihan milik pemerintah dan swasta dapat diupayakan, pastinya lewat kesepaktan dalam semangat mendukung penanggulangan covid 19 ini.
Memaksimalkan fungsi-fungsi puskesmas di kecamatan-kecamatan bisa jadi alternatif yang paling masuk akal. Rumah susun yang belum dimanfaatkan seperti yang ada di Pasar Rumput, mungkin bisa jadi pilihan. Untuk semuanya, memang perlu kerjasama, koordinasi dan saling terbuka dan membantu di tingkat pemerintahan pusat dan daerah serta dengan berbagai pemangku kepentingan. Tidak mudah, tetapi doable.
Jadi, tidak mencari gampangannya saja dengan mengorbankan banyak hal, khususnya nasib anak-anak kita yang akan menjadi penerus bangsa ini. Hari ini merupakan masa depan anak-anak kita yang kita pinjam. Sudah banyak sumber daya yang seharusnya digunakan di masa depan anak-anak kita, tetapi sudah kita gunakan hari ini.
Jangan lagi diambil ruang belajar mereka di sekolah. Biarlah itu tetap menjadi ruang semai bagi pengembangan diri dan pengetahuan mereka dalam menuju masa depan dan menjadi mercusuar bagi dirinya dan juga masyarakatnya. Cukup! Hentikan upaya pemakaian sekolah menjadi ruang isolasi covid 19 dan akomodasi tenaga medisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H