Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kemiskinan, Pembiaran, dan Kebencanaan

10 Februari 2020   17:38 Diperbarui: 12 Februari 2020   13:08 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah-rumah seperti memanjati bukit-bukit dan punggung gunung. Sepanjang mata memandang, di tengah hamparan hijau yang luas dan lembah-lembah, berdiri kampung-kampung. 

Rumah-rumah di perkampungan itu berdekatan satu sama lain, menyisakan sedikit ruang antar rumah yang membentuk akses di luar satu akses jalan utama yang dapat dilewati dua mobil. Tidak berbeda dengan wilayah padat di kawasan perkotaan.

Jalan raya menuju perkampungan itu tampak mulus dan beraspal. Layanan listrik dari pemerintah juga mencapai desa-desa tersebut. Air bersih tampaknya diupayakan secara mandiri oleh masyarakat. 

Perusahaan air minum daerah tidak akan mampu memompa air ke atas untuk melayani. Rata-rata ketinggian lokasi itu berada pada 600 - 800 meter di atas permukaan laut.

Dari kejauhan, tampak bangunan tertata rapi. Ketika mendekat dan memasuki kampung, ada kesan lain. Terlihat jelas masyarakat itu sebenarnya tidak bisa dikatakan mampu. 

Rumah-rumah dengan bangunan beton tampak berdiri di beberapa tempat di antara banyaknya bangunan yang masih terbuat dari bahan bambu, kayu dan semen yang tidak berplaster.

Tetapi, yang lebih mengkhawatirkan bukanlah kekuatan bangunan itu atau rancangannya. Bangunan itu berlokasi di daerah dengan kemiringan curam. 

Jalan menuju desa itu pun hanya dibatasi oleh jurang yang dalam dan dinding bukit. Rumah-rumah, jika tidak menempel di dinding bukit, maka akan melayang di atas jurang dengan kaki-kaki kayu atau beton yang menghujam bumi.

Jurang di bawahnya tidak menjadi halangan masyarakat untuk membangun hunian. Dinding-dinding bukit yang sewaktu-waktu bisa longsor seperti tidak dihiraukan. 

Pilihan mendirikan rumah di wilayah dengan kerawanan yang tinggi sepertinya menjadi pilihan sadar masyarakat yang tinggal di daerah itu. Setidaknya tampak dari banyaknya perkampungan di wilayah itu, Gunung Halimun Salak di Kabupaten Bogor.

Mengapa Daerah Rawan Bencana?

Secara umum dapat dipastikan tidak ada seorang manusia pun yang ingin hidup dengan risiko. Setiap orang ingin hidup dengan situasi dan kondisi yang nyaman dan aman. 

Tetapi, dengan jumlah sumber daya yang terbatas, sementara permintaan yang tinggi, mengarah pada lahirnya persaingan yang akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki kapasitas lebih dari yang lainnya.

Pemilihan wilayah di daerah yang rawan longsor dapat dipastikan karena kurangnya kapasitas untuk bersaing dan untuk meningkatkan keamaan dari risiko, dalam hal ini, ancaman bencana alam khususnya tanah longsor, dengan mencari kawasan yang relatif datar dan aman.  

Di banyak desa-desa di Kecamatan Sukajaya dan Kecamanan Nanggung, setidaknya yang dalam amatan penulis, masyarakat memang tampaknya kurang memiliki kapasitas untuk mendapatkan wilayah yang relatif aman. 

Daerah yang relatif aman juga identik dengan sumber-sumber penghidupan yang tidak dapat dijangkau.

Kaki-kaki dan punggung bukit menjadi pilihan tempat tinggal. Punggung-punggung bukit menjadi rumah dan sumber penghidupan dan ketergantungan banyak masyarakat di desa-desa di Kecamatan Sukajaya dan Nanggung. 

Kaki gunung dan punggung gunung di Halimun Salak menjadi tempat kehidupan banyak masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan lokasi permukiman dan penghidupan di wilayah yang aman dari ancaman bencana.

Mereka memiliki kapasitas rendah secara ekonomi untuk menjangkau wilayah yang relatif aman. Bangunan-bangunan yang bersebelahan dengan jurang dan dinding bukit menjadi sebuah keniscayaan. 

Bangunan-bangunan di lahan dengan kemiringan curam menjadi pemandangan biasa. Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan, lahan-lahan miring itu diolah. Vegetasinya diganti menjadi sayuran.

Dari kejauhan memang tampak hijau dan segar terutama di musim hujan ini. Tetapi tutupan lahannya terdiri dari bambu yang tidak pas untuk daerah miring dan pohon-pohon yang kecil-kecil. Tidak tampak pohon dengan batang-batang besar layaknya hutan-hutan yang masih perawan.

Kampung Merambah Bukit, Mengapa?

Secara logis, pembangunan rumah dan pemukiman harus mempertimbangkan kawasan. Ada aturan rencana tata ruang dan wilayah yang harus dipatuhi. Rencana Tata ruang pastinya mengatur peruntukan untuk berbagai wilayah di republik ini. 

Dapat dipastikan, bahwa kawasan perbukitan dan pengunungan pastinya tidak menjadi wilayah yang diperuntukkan untuk permukiman. Kondisi lahan yang cenderung miring dan perlunya menjaga hutan sebagai bagian dari keseimbangan ekosistem serta ketahanan air, menjadi beberapa faktor yang menjauhkannya dari pemukiman.

Akan tetapi fakta lapangan bercerita sebaliknya. Perkampungan tumbuh di punggung bukit dan kaki gunung. Semakin tinggi wilayahnya dari permukaan laut, bukannya semakin sedikit penduduk. 

Seperti di Desa Cileuksa, penduduknya mencapai 8.000 orang, kurang lebih 3.000 kepala keluarga. Setidaknya seperti disampaikan kepala desa, Jaro Ujang, Kepala Desa Cileuksa. Desa Cileuksa salah satu desa tertinggi di Kecamatan Sukajaya.

Adanya layanan listrik dari perusahaan listrik negara dapat bercerita bahwa pemukiman ini mendapat pengakuan dari pemerintah. Jalan-jalan yang sudah relatif beraspal juga menjadi indikasi dari adanya dukungan pemerintah terhadap permukiman di atas gunung ini. 

Struktur pemerintah di tingkat desa juga terbentuk. Semuanya menjadi semacam penanda adanya pengakuan pemerintah atas terjadinya pembiaran terhadap pelanggaran peruntukan wilayah ini.

Harganya Mahal 

Kombinasi dari ancaman bencana, kemiskinan dan pembiaran menghasilkan bencana yang melanda setidaknya Kecamatan Sukajaya, Kecamatan Nanggung dan Kecamana Jasinga di Kabupaten Bogor yang terjadi pada awal tahun baru.

Bukit-bukit yang longsor, rumah-rumah yang tersapu banjir bandang, pertanian yang tertimbun tanah-tanah coklat, jalan-jalan yang terputus, lumbung-lumbung desa yang tersapu, sarana air bersih yang hilang.

Jembatan yang hilang entah kemana, sekolah-sekolah yang terpaksa meliburkan diri lebih lama karena terdampak, dan pengungsi yang terpaksa harus melawan dinginnya malam ditenda-tenda terpal yang tipis dan sebagian warga yang terpaksa berbagai ruang sempit dengan masyarakat lainnya. 

Nyawa yang melayang berjumlah 67 orang. Secara statistik memang kecil, sehingga menjadi faktor yang mengecilkan skala bencana ini.

Kawasan permukiman di landa banjir bandang di Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Air membawa batu-batu besar yang menghancurkan rumah-rumah warga dan lumbung penyimpanan padi mereka. Photo: Rinsan Tobing
Kawasan permukiman di landa banjir bandang di Desa Urug, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Air membawa batu-batu besar yang menghancurkan rumah-rumah warga dan lumbung penyimpanan padi mereka. Photo: Rinsan Tobing
Semuanya hal di atas menjadi gambaran yang tampak akibat dari kombinasi faktor yakni rendahnya kemampuan masyarakat, pembiaran dari pemangku pemerintah dan tentunya ancaman bencana. 

Kejadian yang ada tidak hanya di Kabupaten Bogor, tetapi juga di daerah-daerah lain yang mengalami bencana longsor dan banjir bandang seperti di Kabupante Lebak Banten, Tapanuli Tengah Sumatera Utara, dan Bondowoso Jawa Timur.

Masyarakat yang terdampak bencana di Kabupaten Bogor harus memulai kehidupan lagi dari nol. Rumah-rumah yang dibangun seadanya menjadi mula lagi dari sebuah kehidupan keluarga yang terhempas bencana. 

Sumber daya mengecil, dengan longsoran tanah yang menutupi lahan pertanian dan ladang. Kemungkinan, hutan menjadi sasaran sumber pendapatan.

Kayu-kayu dengan lingkar batang yang kecil bisa jadi incaran untuk mendapatkan penghidupan. Bambu-bambu yang tumbuh disana bisa jadi sumber penghidupan.

Jika itu dilakukan, ancaman tanah longsor akan muncul lagi. Lahan-lahan miring dan gundul di perbukitan dan punggung gunung, menjadi breeding ground bencana tanah longsor.

Hal yang lebih mahal lagi, bahkan cenderung tidak mungkin, yakni mengembalikan ke kondisi semula. Masyarakat harus direlokasi ke lokasi yang relatif aman. Sayangnya lahannya tidak ada. Penghidupan mereka sudah sangat tergantung pada lokasi tempat tinggal.

Tidak mungkin ketergantungan ini diputuskan dengan mengubah penghidupan. Pengalaman relokasi di Sleman pasca letusan Merapi 2010 membuktikannnya. Masyarakat tidak bisa diputuskan begitu saja dari akar penghidupannya.

Terlebih lagi, jumlah penduduknya sudah sangat banyak. Kecamatan Sukajaya saja, berdasarkan data 2017, berpenduduk 57.840 jiwa. Memindahkan orang dengan jumlah itu pastinya sangat sulit. 

Jika jumlahnya ditambah dengan penduduk Nanggung yang berada di perbukitan, akan menjadi misi yang mustahil. Kemiskinan dan pembiaran oleh pemerintah menciptakan tragedi bagi kemanusiaan kita. 

Sekarang hanya beberapa nyawa. Besok, di lain waktu, jika tidak ada intervensi sama sekali, dampak bencana yang jauh lebih besar mungkin tidak terhindarkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun