Rapat paripurna DPR Rabu (14/2) nampak lengang. Kejadian ini tidak aneh. Di tengah banyak fasilitas yang didapatkan DPR, anggota dewan ini malah lebih sering tidak hadir di rapat paripurna. Terlebih jika itu bukan terkait urusan mereka.
Kali ini, Undang-Undang MD3 yang sangat berkaitan dengan kehidupan 'kedewanan' mereka pun, tidak juga menarik perhatiannya. Dilangsir dari detiknews.com (12/02/2018), dari 560 anggota DPR Â 349 absen. Lebih dari setengahnya.
Tetapi ada yang menarik dari Sidang Paripurna yang membahas Revisi UU MD3 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD ini. Kompas (15/02/2018) memberitakan ketua DPR Bambang Soesatyo menggunakan baju hitam-hitam.
Pasalnya, Bambang yang baru beberapa waktu lalu diangkat menjadi ketua DPR menggantikan Setya Novanto, mengatakan keputusannya menggunakan warna itu merupakan bentuk protes. Protesnya terkait protes masyarakat dan khalayak luas yang mengkritisi isi dari UU MD3 tersebut.
Undang-Undang ini dicurigai memiliki pasal-pasal yang memberikan kewenangan besar kepada DPR, menjadi kebal hukum, bisa memaksa orang yang tidak hadir jika dipanggil DPR. Satu lagi yang membuat anggota dewan itu merasa jumawa yakni putusan MK yang menempatkan KPK sebagai bagian dari eksekutif. Ini artinya KPK bisa diatur oleh DPR. DPR juga bisa menggunakan berbagai haknya terhadap KPK.
Tetapi yang lebih menggelikan dari Sidang Paripurna itu adalah di layar besar terpampang tulisan Kami Butuh Kritik. Seolah-olah DPR mau mendengarkan suara rakyat. Bukankah penangkapan anggota DPR oleh KPK karena korupsi dan suap merupakan sebuah kritik keras kepada KPK? Toh, alih-alih memperbaiki diri, malah semangat sekali meremukkan KPK.
Bambang juga mengklaim bahwa prosesnya dilakukan dengan transparan dan terbuka. Di sisi lain, diberitakan kompas (14/02/2018) proses revisi UU MD3 terasa janggal sejak awal. Pasalnya, informasi yang tertutup, draft yang tidak bisa diakses dan juga isu yang disampaikan bahwa revisi hanya terkait penambahan ketua DPR.
Ketika kemudian disahkan, banyak khalayak yang tertipu dan merasa DPR telah melakukan kebohongan publik yang parah. Banyak yang mengatakan bahwa DPR menghambat proses demokrasi.
Suara masyarakat yang diwakilinya menjadi terpantul pada dinding yang dibangun oleh DPR dengan logika bahwa selama ini DPR dikriminalisasi. Lalu ada lagi alasan kehorrmatan DPR rendah di mata masyarakat. DPR banyak mendapat kecaman.
Logika ini sangat tidak dimengerti oleh banyak kalangan. Seperti disampaikan Jerry Sumampow koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI). "UU MD3 ini logikanya sudah salah kaprah sama sekali dan kita jadi gagal paham bagaimana memahami cara berpikir DPR". Seperti diberitakan kompas.com (14/02/2018).
Sulit untuk mengerti memang mengapa DPR harus membentengi dirinya dengan UU MD3 yang cenderung menjadikan mereka memiliki imunitas, anti kritik dan mengatur sesuatu yang tidak seharusnya seperti KPK.
Terlebih lagi, DPR saat ini sedang meminta kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk menambah pengamanan dalam (Pamdal) berjumlah 1.194 personil polisi yang dikomandani seorang Brigadir Jenderal.
Lengkaplah sudah disaat DPR mengatakan kami butuh kritik, justru sikap, tindakan, perilaku dan keputusannya dalam UU MD3 menyatakan sebaliknya. Bertolak belakang sama sekali. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H