Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Memaknai Harga Sebuah Persepsi

13 Desember 2017   20:04 Diperbarui: 14 Desember 2017   13:27 2691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pelelangan Lukisan Leonardo da Vinci berjudul Salvator Mundi yang terjual denan harga Rp. 6,1 triyun di Pelelangan Christie's New York pada awal Desember lalu. Sumber: reuters.com

Jika lukisan Salvator Mundi tergeletak begitu saja di kawasan aquariaum di Jakarta Utara, berapakah nilainya? Sedikit informasi. Salvator Mundi merupakan lukisan Leonardo da Vinci yang baru-baru ini dilelang di Balai Lelang Christie's di New York.

Nilai lukisan ini mencapai harga USD 450,3 juta. Jika dirupiahkan, kurang lebih Rp. 6,1 trilyun. Ini merupakan lukisan termahal yang ada saat ini. Seperti dirilis kompas.id (11/12). Melihat lukisannya sendiri, rasanya tidak ada yang luar biasa. Lalu, mengapa nilainya menjadi sebegitu fantastis?

Kembali ke pertanyaan awal, berapakah nilainya? Jawabannya bisa berapa saja. Bahkan nol rupiah sekalipun. Lalu, mengapa bisa semahal itu? Sederhana saja. Bukan lukisannya yang mahal. Tetapi persepsinya. Jelas, itu soal persepsi. Itu soal kesepakatan atas persepsi yang dibentuk.

Persepsi itu bisa dibentuk dengan sengaja. Bisa terbentuk secara alami. Lalu bagaimana itu konsep persepi? Bagaimana terbentuknya? Apa faktor-faktor pembentuknya?

Robbins (2003) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberikan makna kepada segala sesuatu dalam lingkungannya. Bisa diartikan juga sebagai suatu cara seseorang memandang dan memaknai segala sesuatu di lingkungannya.

Dalam konteks ini terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi persepsi, yakni sikap, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu dan ekspektasi. Dalam sebuah persepsi setidaknya terdapat tiga hal yang berkaitan yakni orang yang punya persepsi, sasaran persepsi dan situasi atau lingkungannya.

Persepsi Bisa Dibentuk

Sejalan dengan asumsi bahwa persepsi bisa dibentuk, demikian juga dengan segala faktor yang di dalamnya. Sikap dapat diarahkan sedemikian rupa. Motif terbentuk dari sikap. Kepentingan bisa diselaraskan dengan tujuan yang diagendakan. Pengalaman masa lalu memang tidak bisa diubah lagi tetapi harapan bisa dibentuk. Lingkungan juga bisa direkayasa.

Lewat informasi yang dibentuk serta narasi-narasi yang dikembangkan dan memiliki makna di suatu lingkungan tertentu maka nilai sesuatu benda dapat ditentukan secara sengaja. Informasi-informasi yang dikembangkan dan juga diberikan atribut-atribut tertentu, membuat suatu benda memiliki nilai tertentu yang ditargetkan.

Nilai  atau harga benda itu dapat dinaikkan, diturunkan bahkan dinolkan. Tergantung pada tujuan pembentukan persepsi tadi.

Cerita-cerita yang beredar beberapa waktu lalu terkait penghancuran kota Palmyra di Irak dengan berbagai arsitektur bernilai tinggi menurut dunia internasional, bisa mewakili sebagai misal. Kota kuno itu dihancurkan oleh kelompok radikal karena tidak sesuai dengan persepsi yang dibentuk di dalam kepalanya.

Persepsinya yang tentunya didasarkan pada nilai-nilai yang dianut. Bangunan harus diratakan dengan tanah karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Dengan mudah  saja orang-orang  itu menghancurkannya.

Sementara ada pihak lain yang memiliki persepsi bahwa peninggalan kuno di Palmyra merupakan kekayaan yang luar biasa. Peninggalan itu, yang menurut persepsi mereka, memiliki nilai-nilai budaya tinggi yang tidak ternilai.

Bangunan-bangunan yang berusia ribuan tahun itu juga dapat menjadi sumber ilmu tentang kehidupan manusia di zaman dulu termasuk cara-cara hidup dan berjuang. Mereka bahkan menghabiskan uang yang tidak terkira jumlahnya hanya untuk menyelamatkan bangunan-bangunan itu hingga dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

Dua perilaku yang berbeda atas bangunan tua di kota itu terbentuk dari persepsi yang dimiliki masing-masing pihak. Sama halnya juga dengan karya seni, semacam Salvator Mundi-nya Leonardo da Vinci.

Berbincang dengan orang banyak, ditemukan bahwa satu lukisan itu tidak bernilai, karena 'katanya' tidak memiliki nilai seni. Keindahan tidak ditemukan dalam sebuah lukisan itu sehingga tidak ditemukan nilai tertentu lukisan tersebut.

Tetapi, nilai sebuah lukisan yang tidak ada apa-apa sebenarnya dapat menjadi sangat tinggi. Ini hanya bisa terjadi jika persepsi dibangun secara sengaja untuk menaikkan harganya. Ada kemungkinan juga begitu dengan lukisan Salvator Mundi yang dikabarkan dibeli oleh Muhammad Bin Salman, anak Raja Salman dari Arab Saudi dengan nilai fantastis.

Jika lukisan itu tergeletak begitu saja di jalanan, bisa jadi nilainya nol. Akan tetapi bisa jadi secara sengaja lukisan tersebut diberikan narasi-narasi yang membuat nilainya semakin tinggi. Lingkungan dan ekosistem pecinta seni dibentuk sedemikian rupa sehingga persepsi atas sebuah nilai lukisan dapat dipertahankan bahkan ditinggikan.

Bolehlah sedikit berburuk sangka dengan kemungkinan seperti ini. Untuk mendapatkan keuntungan finansial dan menyadari bahwa secara psikologis manusia dapat dibentuk, maka kelompok ini menciptakan suatu lingkaran yang membentuk persepsi atas sebuah lukisan.

Lingkaran yang secara terus menerus menghembuskan informasi dan nilai-nilai yang membentuk persepsi. Diperlengkapi dengan institusi dan juga proses-proses transaksi artifisialnya. Sekedar untuk meyakinkan. Layaknya proses hipnotis.

Berbagai kegiatan dilakukan untuk terus memelihara sebuah persepsi tersebut. Komunitasnya dibangun. Diminta persetujuan dari para mereka yang sangat bonafid termasuk universitas-universitas. Lalu, dibenamkan dalam-dalam bahwa karya lukis Leonardo da Vinci dan banyak pelukis lainnya adalah karya seni yang tiada tara nilainya. Maka, banyaklah yang berebut membelinya. Bahkan dalam proses lelangnya pun, bisa saja sebuah permainan dibentuk.

Kemungkinan ini sangat bisa terjadi. Bukankah para pelukis itu meninggal dalam kemiskinan. Jika memang dari awalnya harga lukisan itu sangat mahal, sudah pasti para pelukis itu hidup dalam gelimang harga. Nyatanya, tentunya menurut sejarah, mereka di akhir hidupnya adalah mahluk yang menderita. Miskin dan tidak memiliki harta.

Lalu, setelah sekian tahun, mungkin puluh tahun bahkan ratusan tahun, tiba-tiba lukisan itu menjadi luar biasa mahal. Apakah lukisan itu asli? Apakah lukisan itu benar-benar milik Leonardo da Vinci. Siapakah pemilik wewenang menentukan itu? Mungkin karena mereka sudah mengatakan demikian, maka orang lain percaya begitu saja. Mereka yang membentuk ekosistem yang memungkinkan untuk menciptakan persepsi soal lukisan ini.

Ini tidak lebih dari propaganda yang diciptakan untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah benda yang nilainya bisa didongkrak berapa saja dengan proses pembentukan persepsi atas benda tersebut. Kelompok ini bisa saja berada di lapisan-lapisan masyarakat terhormat yang bergelimang harta karena berhasil membentuk sebuah persepsi dan menjual segala sesuatu yang telah mereka bentuk persepsinya.

Bukankah demikian kehidupan itu? Segala sesuatu dibentuk oleh persepsi kita. Persepsi yang dibentuk oleh banyak hal dan juga pengalaman serta nilai-nilai yang ditanamkan di kepala. Meskipun Amerika Serikat mengkelasduakan kaum migran, tetapi tidak berhenti mereka datang ke sana dengan berbagai cara. American Dream telah lama dibenamkan ke dalam pikiran warga dunia.

Para pekerja asing selalu mendapatkan tempat yang lebih tinggi di negeri ini, karena bangsa ini telah dengan pasrah menerima persepsi bahwa mereka jauh lebih 'dahsyat' dan lebih superior. Jika berhadapan dengan mereka, karena persepsi yang salah, bangsa ini pun keok.

Bukankah kecantikan itu selalu identik dengan putih? Setidaknya itu yang dipahami oleh banyak wanita Indonesia, sehingga produk-produk pemutih menjadi barang yang sangat laku. Tidak perduli harga. Karena demi putih, apa pun dilakukan. Terbentuk persepsi seperti gadis Korea yang memang dari sono-nya sudah kinclong.

Untuk itu, setidaknya saat ini harga persepsi yang termahal adalah USD 450 juta. Nilai yang setara dengan Rp. 6,1 trilyun . Nilai sebuah lukisan Leonardo da Vinci yang usianya lebih dari 500 tahun. Ya, lebih dari 5 abad. Dengan nilai sejumlah itu, apa yang bisa dilakukan? Kalau dikenakan dengan nilai sekarang, bisalah membangun jalan tol sepanjang sekitar 30 kilometer.

Mau bukti lain. Coba, berapa kira-kira nilai intrinsik sebuah celana Jeans Levis 501. Hanya USD 8. Harganya menjadi USD 70. Lebih dari 90 persen adalah nilai persepsinya. Berapa nilai intrinsik sebuah handphone Apple? Lalu berapa yang anda bayar untuk persepsinya? Apakah anda menawar ketika membeli iPhone atau Levis 501? Masa sih pembeli iPhone dan Levis 501 menawar? Tidak mungkin. Karena sudah dipersepsikan sedemikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun