Bali telah lama menjadi tujuan wisata domestik dan dunia. Sering sekali, karena over promotion, di banyak negara Bali malah lebih dikenal dibandingkan Indonesia. Kondisi ini ternyata membuat gerah pemerintah yang dikomandani Jokowi.
Melihat banyaknya potensi parawisata yang dapat digalakkan untuk memperbanyak 'Bali' lainnya, telah ditetapkan 10 prioritas tujuan wisata baru. Salah satunya Danau Toba.
Keindahan Danau Toba tidak kalah dengan kota turis di tepi Danau Montroex di Swiss. Pulau Samosir yang dipotong agar benar-benar terpisah dari Pulau Sumatera itu punya daya magis yang tinggi.
Penciptaan lokasi wisata baru ini diwujudkan dengan membangun berbagai syarat pendukung termasuk peningkatan infrastruktur dan aksesibilitas, fasilitas bandara, pelabuhan, jalan, maupun energi, serta promosi besar-besaran.
Bayangan akan kunjungan wisatawan bertambah yang menambah pundi-pundi pemerintah berkembang. Â Dulunya diperkirakan, Danau Toba hanya dikunjungi tidak lebih dari 10.000 wisatawan per tahun. Nantinya, diharapkan akan berlipat-lipat. Tentunya, masyarakat di sekitar juga akan menikmati madu pembangunan sektor parawisata ini.
Untuk Danau Toba sendiri, infrastruktur yang sudah dibangun atau ditingkatkan termasuk bandar udara Silangit di Tapanuli Utara. Akses yang mudah diharapkan meningkatkan kunjungan. Jokowi dalam peresmian Silangit sebagai bandara internasional pada Jumat (24/11/2017) berharap terjadi loncatan parawisata di Danau Toba.
Infrastruktur pendukung lainnya adalah pembangunan jalan hingga Parapat dari Medan. Tidak tanggung-tanggung, jalan tol yang akan dibangun. Rencananya rel kereta api juga akan mencapai Danau Toba. Akses dibuka seluas-luasnya.
Pemerintah pusat dengan komando Arief Yahya sebagai Menteri Parawisata harus menggerakkan irama 7 pemerintah kabupaten yang 'memiliki' Danau Toba. Jika tidak bersinergi, maka upaya meledakkan parawisata Danau Toba ini akan sia-sia belaka.
Tak hanya itu, unsur-unsur pendukung non-struktural juga digerakkan. Kerja sama tidak hanya triple helix, tetapi sudah mencapai pentahelix, meliputi akademisi, komunitas, pelaku bisnis, pemerintah dan media. Para pemangku kepentingan ini harus digerakkan untuk mencapai tujuan tadi.
Tetapi, dari semua unsur yang disiapkan di atas, rasanya ada satu hal yang menjadi penghalang ledakan tadi. Ledakan tadi hanya akan menjadi bunyi yang sangat pelan jika unsur penting ini tidak dibangun, yakni masyarakatnya.
Kemampuan dalam bentuk hospitality-nya menjadi sebuah syarat mutlak. Tak bisa ditawar-tawar. Tidak cukup hanya komunitas, tetapi seluruh masyarakat. Pertanyaannya, apakah masyarakat Danau Toba memiliki tourism personality dalam bentuk hospitality,  keramahtamahan dan kemampuan melayani tamu-tamu?
Tampaknya Masyarakatnya Belum Siap
Pengalaman berkunjung ke Parapat kurang lebih 6 tahun lalu menggambarkan betapa masyarakat Danau Toba belum siap dengan dunia keparawisataan.
Ketika itu, penulis dengan keluarga besar yang sedang berwisata ke Danau Toba, sehabis menikmati kesegaran airnya, mencoba mencari oleh-oleh yang bisa dibawa pulang. Oleh-oleh yang juga menjadi penanda telah mengunjungi Danau Toba.
Tibalah saatnya berbelanja di kios-kios yang ramai berjejer di jalan raya menuju salah satu pantai di Danau Toba dari Parapat. Rencananya membeli kaus oblong sebagai oleh-oleh dengan tulisan Toba Lake, Samosir Island. Kok pakai bahasa Inggris yah?
"Kalo tidak punya uang, jangan tanya-tanya!". Tiba-tiba sebuah suara kencang meluncur dari seorang Inang penjual pakaian. Â Berbahasa Batak tentunya. Â Dari kiosnya, dia berteriak kencang. Kami yang terdiri dari beberapa orang, yang juga kampung halamannya juga tidak jauh dari Parapat, kaget dengan kata-kata ibu tadi.
Sebelumnya, kami masuk kiosnya dan bertanya-tanya harga berbagai kaos yang kira-kira bisa dibawa pulang. Sambil melihat-lihat, kami mencoba menawar harganya. Karena harga tidak cocok dan masih merupakan kios pertama, kami tinggalkan tanpa beli.
Ternyata, perlakuan yang sama juga diterima dari kios yang berbeda. "Kalau sudah pegang, harus beli!", ujar ibu lain di kios berbeda yang didatangi. "Pokoknya, kalau udah pegang harus beli!', ujar ibu itu lagi. Kami pun terpaksa beli satu dua potong. Rasanya sudah tidak nyaman lagi.
"Boasa ndang boi tawaron, Inang?" balas kakak tertua saya dengan suaranya yang lembut. Melembut karena sudah puluhan tahun di tinggal Papua. "Halak Batak do hami, par Siantar", lanjut kakak saya. Tetapi si ibu tidak juga bergeming. "Ndang adong Batak-Batak. Molo ditiop ingkon dituhor!" Semburan berikutnya mengalir kencang dari mulutnya. Perlahan omelannya menghilang setelah kami menjauh. "Ndang na lakku i. Parsahalian doi. Betama mulak!" ajak kakak saya itu. Sebab telah dongkol, akhirnya oleh-oleh yang terbeli hanya dua baju.
Pengalaman sedemikian tidak kami alami sendirian. Banyak pengunjung juga yang merasa tidak nyaman. Belum lagi tukang parkir yang galak-galak dan menetapkan parkir dengan harga tinggi. Tidak ada sama sekali karakteristik yang mencirikan bahwa Danau Toba terutama Parapat sebuah daerah tujuan wisata internasional.
Masyarakatnya tidak siap untuk menjadi pelaku parawisata. Sikap-sikap yang harus ditunjukkan termasuk keramahtamahan, senyum, suara lembut dan juga perilaku sopan santun dan menghargai tamu, tidak ada sama sekali.
Bahkan cerita buruk juga ada. Sebuah cerita lama yang menjadi cerita umum. Pernah di Tomok turis Prancis harta bendanya dicuri. Belum lagi ketika mandi juga diintip. Sialnya, turis Prancis itu melihatnya.
Sikap-sikap seperti itu masih berlaku hingga kini. Masyarakat Batak juga memiliki persepsi negatif dari masyarakat lainnya. Orang Batak cenderung dianggap kasar. Meskipun banyak yang mengakui jika hatinya baik.
Tetapi dalam konteks parawisata, tampak luar juga penting menjadi penarik tamu. Bicara yang keras-keras dengan nada tiga hingga empat oktaf tentunya membuat turis takut. Akan sangat beda dengan suara lembut di Bali. Suara lembut juga ada di bumi Priangan. Belum lagi ekspresi yang sangat jelas. Tidak bisa disembunyikan, layaknya seorang salesman.
Jika perilaku kasar, suara keras seperti berantem, tidak ramah kepada pembeli dan juga merasa diri paling benar, tidak dihilangkan, impian Jokowi untuk meledakkan parawisata di Danau Toba akan sia-sia saja.
Tentunya di samping fasilitas fisik pendukungnya, masyarakatnya juga harus disiapkan menjadi ujung tombak parawisata. Karakter yang ada tidak akan sinergis dengan dunia yang identik dengan pelayanan dan keramahtamahan ini. Ini namanya menggantang asap.
Keramahtamahan, sering disebut hospitality, harus ditingkatkan. Kemampuan masyarakat tidak terbatas hanya untuk  melakukan proses parawisata, tetapi harus memiliki kepribadian parawisata. Kepribadian yang mau memberikan pelayanan kepada para tamu.
Jika ini tidak ada, maka tidak akan ada namanya parawisata di Danau Toba. Jangan-jangan, selama ini, parawisata Danau Toba mandek bukan karena infrastrukturnya yang tidak ada. Bisa jadi, karena masyarakatnya tidak siap dengan dunia yang penuh keramahtamahan ini.
Dalam konteks sinergi dalam konsep pentahelix tadi, komunitas disini haruslah seluruh masyarakat di Danau Toba, Tapanuli Utara dan Sumatera Utara pada umumnya. Impian ledakan itu mungkin masih perlu waktu puluhan tahun, hingga masyarakat Danau Toba, Tapanuli Utara benar-benar mampu dan memiliki kepribadian parawisata.
Jadi, jika suatu saat kelak inang-inang penjual pakaian di kios di sekitar Parapat itu sudah tersenyum dengan ramah dan membalas dengan lembut ketika barangnya tidak jadi dibeli, maka pada saat itulah bisa dikatakan masyarakatnya sudah siap. Ndang parsahalian.
Catatan:
- Boasa ndang boi tawaron, Inang?" -- Kenapa tidak bisa ditawar, Bu?
- Halak Batak do hami, par Siantar --Kami orang Batak, dari Siantar
- Ndang adong Batak-Batak. Molo ditiop ingkon dituhor --Gak ada Batak-Batak. Kalau pegang harus bayar
- Ndang na lakku i. Parsahalian doi. Betama mulak --Gak bakal laku itu. Hanya sekali saja. Ayolah pulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H