Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mustahil Meledakkan Parawisata Danau Toba Tanpa Keramahtamahan

28 November 2017   10:39 Diperbarui: 28 November 2017   15:55 4214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Didampingi Menko Maritim, Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN, Presiden Jokowi meresmikan Bandara Internasional Silangit di Siborong-borong (Jumat, 24/11/2017). Sumber: cnnindonesia.com

Sikap-sikap seperti itu masih berlaku hingga kini. Masyarakat Batak juga memiliki persepsi negatif dari masyarakat lainnya. Orang Batak cenderung dianggap kasar. Meskipun banyak yang mengakui jika hatinya baik.

Tetapi dalam konteks parawisata, tampak luar juga penting menjadi penarik tamu. Bicara yang keras-keras dengan nada tiga hingga empat oktaf tentunya membuat turis takut. Akan sangat beda dengan suara lembut di Bali. Suara lembut juga ada di bumi Priangan. Belum lagi ekspresi yang sangat jelas. Tidak bisa disembunyikan, layaknya seorang salesman.

Jika perilaku kasar, suara keras seperti berantem, tidak ramah kepada pembeli dan juga merasa diri paling benar, tidak dihilangkan, impian Jokowi untuk meledakkan parawisata di Danau Toba akan sia-sia saja.

Tentunya di samping fasilitas fisik pendukungnya, masyarakatnya juga harus disiapkan menjadi ujung tombak parawisata. Karakter yang ada tidak akan sinergis dengan dunia yang identik dengan pelayanan dan keramahtamahan ini. Ini namanya menggantang asap.

Keramahtamahan, sering disebut hospitality, harus ditingkatkan. Kemampuan masyarakat tidak terbatas hanya untuk  melakukan proses parawisata, tetapi harus memiliki kepribadian parawisata. Kepribadian yang mau memberikan pelayanan kepada para tamu.

Jika ini tidak ada, maka tidak akan ada namanya parawisata di Danau Toba. Jangan-jangan, selama ini, parawisata Danau Toba mandek bukan karena infrastrukturnya yang tidak ada. Bisa jadi, karena masyarakatnya tidak siap dengan dunia yang penuh keramahtamahan ini.

Dalam konteks sinergi dalam konsep pentahelix tadi, komunitas disini haruslah seluruh masyarakat di Danau Toba, Tapanuli Utara dan Sumatera Utara pada umumnya. Impian ledakan itu mungkin masih perlu waktu puluhan tahun, hingga masyarakat Danau Toba, Tapanuli Utara benar-benar mampu dan memiliki kepribadian parawisata.

Jadi, jika suatu saat kelak inang-inang penjual pakaian di kios di sekitar Parapat itu sudah tersenyum dengan ramah dan membalas dengan lembut ketika barangnya tidak jadi dibeli, maka pada saat itulah bisa dikatakan masyarakatnya sudah siap. Ndang parsahalian.

Catatan:

  • Boasa ndang boi tawaron, Inang?" -- Kenapa tidak bisa ditawar, Bu?
  • Halak Batak do hami, par Siantar --Kami orang Batak, dari Siantar
  • Ndang adong Batak-Batak. Molo ditiop ingkon dituhor --Gak ada Batak-Batak. Kalau pegang harus bayar
  • Ndang na lakku i. Parsahalian doi. Betama mulak --Gak bakal laku itu. Hanya sekali saja. Ayolah pulang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun