Lelaki kurus berbaju hitam itu berlari kencang. Dia meninggalkan teman-temannya yang masih nongkrong di pagar beton sebuah kantor di bilangan Diponegoro tidak jauh dari Megaria. Suatu sore awal minggu ini. Dia, sambil menenteng gitar kecilnya, memburu metro mini yang memburu datang dari arah berlawanan. Dengan sigap dia naik. Langsung beraksi. Melantunkan lagu-lagu perjuangan hidup. Mengharapkan beberapa rupiah dari penumpang yang jumlahnya tidak seberapa.
Tidak jauh dari lokasi itu, sepotong trotoar yang sudah ditata, kini mulai diisi lagi. Pedagang-pedagang makanan dengan alat gotongnya dan juga sepeda, mulai menata dagangannya. Para pembeli mulai berdatangan. Mengerubunginya. Sementara beberapa anak-anak kecil berkeliaran. Mereka sepertinya mengemis.
Kejadian yang relatif sama sudah beberapa bulan ini mulai bermunculan. Tidak hanya di pinggir jalan, di trotoar, di jembatan penyeberangan dan juga di halte-halte bus. Tempat-tempat itu mulai diokupasi kembali.
Pemandangan itu sudah lama tidak pernah muncul di Jakarta. Pengamen-pengamen sudah lama hilang dari lampu-lampu merah. Tempat favorit para penyanyi jalanan ini. Ketika bus berhenti terkena lampu merah, mulailah mereka bernyanyi. Jika tidak mendapat respon dari satu mobil, dengan segera pindah ke mobil lain.
Pengemis juga sudah lama tidak berkeliaran. Mereka hilang dari jalanan ibukota. Mereka di pulangkan ke kampung halamannya jika tidak mau masuk rumah susun. Dulu, pemerintahnya katanya galak. Tidak memberikan ruang bagi para pendatang dengan keahlian yang minimal. Kekurangan keahlian yang mengakibatkan mereka harus mencari makan dengan cara-cara seperti di atas. Mengamen, mengemis, menjadi tukang parkir liar dan juga pedagang-pedangang berpindah.
Dulu pemeritahnya mencoba menghilangkan hal-hal seperti itu dari Jakarta. Jakarta menjadi kota yang berwajah sangar bagi kelompok ini. Tetapi, tentunya diberikan berbagai jalan keluar untuk setiap tindakan 'pembersihan'. Bagi yang mampu, diberikan pekerjaan sebagai tenaga kerja harian dengan gaji dan fasilitas yang menggiurkan. Bekerja sebagai tenaga harian, uang Rp. 3,1 juta sudah bersih masuk kantong. Tidak disunat. Jika memiliki anak, pendidikannya gratis dan masih mendapatkan KJP. Nilainya Rp. 700 ribu.
Bagi yang tidak ada rumah, diberikan rusun dengan syarat menyewa. Ada yang minta gratisan. Tetapi ditolak. Kejam memang. Tapi, jika digratiskan mereka tidak akan berusaha untuk bekerja. Tidak bagus juga memberi ikan. Kasih saja pancingnya. Mungkin itu pemikiran pemerintah yang dulu.
Bus-bus yang seenaknya menyerobot lampu merah itu pun sering sekali tidak berani bergerak dari kandang. Soalnya, banyak yang bodong. Lulus tes KIR tetapi rem blong. Akhirnya, dari pada dikandangkan pemerintah, lebih baik mengkandangkan bus sendiri.
Di tempat lain, sebuah pasar yang terkenal karena miliknya abang-abang, Tanah Abang, lalu lintasnya menjadi rapi dan macet hilang. Kejam. Pemerintahnya mengusir para pedagang kaki lima dan menempatkannya di Blok G. Tempat itu ditata dan diperbaiki. Trotoar di perluas agar pembeli lebih nyaman. Jika pembeli nyaman, tentunya akan lebih banyak yang datang. Transaksi Rp. 250 milyar per hari pasti tidak akan kurang.
Kini Berbeda, Lebih Ramah
Tetapi, itu cerita dulu. Semuanya serba diatur tidak boleh. Tidak boleh mengamen. Dilarang berjualan di trotoar dan jembatan penyeberangan. Didenda jika mobil parkir sembarangan. Lahan parkir dipasangi mesin. Tidak ada lagi uang tunai di tangan petugas parkir. Semuanya menjadi serba teratur dan pemasukan jelas.
Sekarang, itu semua tidak berlaku. Jakarta lebih ramah dan tersenyum baik bagi mereka yang mencoba bertarung di rimba raya kota ini. Lihatlah pengamen-pengamen yang sudah mulai menyerbu di jalanan. Lampu-lampu merah pun sudah mulai meriah dengan kehadiran merka.
Trotoar pun diijinkan untuk dilalui motor. Bukankah wakil gubernurnya menyampaikan narasi 'sakti'. "Kemacetan disebabkan pejalan kaki", ujarnya mantap. Bahkan kemacetan Jakarta harus diselesaikan secara simbolis. Tidak perlu overspekulasi. Biarkan mereka menaiki trotoar. Jalan raya sudah tidak cukup lagi mengakomodir jumlahnya.
Motor pun mulai dilepasliarkan. Padahal tujuan pembatasan motor adalah untuk penataan dan pengurangan kendaraan pribadi. Sehingga lebih banyak masyarakat menjadi penumpang transportasi publik. Jalan Thamrin dan Sudirman yang merupakan etalase ibukota akan kembali diramaikan motor. Alasannya, supaya tidak terjadi diskriminasi. Silahkan melewati segala jalan yang bisa dilewati. "Kami akan hanya tersenyum", ujar sang pelaksana pelayanan publik.
Pengamen-pengamen juga akan disambut. Bukankah mereka berhak untuk mendapatkan rejeki di kota ini. Anak-anak tidak masalah tidak sekolah. Yang penting mereka bahagia di jalan raya untuk membantu orang tuanya bekerja. Mereka tentunya lebih menghasilkan dari pada harus menghabiskan waktu di ruang-ruang sekolah yang belum tentu menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Tidak hanya pengemis dan pengamen yang disambut. Sampah-sampah juga sudah mulai dihadirkan. Selokan-selokan dulu yang bersih dan genangan yang lebih jernih, sekarang sudah berbeda. Sampah sudah dibiarkan berenang. Selokan penuh dengan sampah. Bukankah lebih baik di selokan dari pada di jalan raya. Mungkin itu argumentasi yang digunakan. Biarlah sampah mendapat tempat di ibukota. Kota ramah harus juga menyambut sampah di kotanya. Siapa pun dan apa pun berhak untuk tinggal di kota yang memiliki gubernur dengan semboyan maju kotanya bahagia warganya.
Penerjemahan ini tentunya bisa menjadi apa saja. Bahagia warganya bisa dijabarkan dalam pembiaran warganya melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Penataan trotoar di tanah abang bukanlah perwujudan dari slogan ini.
Pedagang kali lima dibiarkan saja disana. Mereka bahagia dengan berjualan lebih dekat kepada pembeli. Meski pembeli harus bahagia bersaing dengan mobil, motor dan angkot di badan jalan. Tidak penting keteraturan. Kota dengan wajah yang ramah harus bisa membahagiakan warganya. Keteraturan dan kebahagian warga tidak berjalan linier. Â
Tidak masalah pelayanan publik menurun. Fasilitas rusak di beberapa halte Transjakarta. Itu tidak masalah. Biarkan masyarakat bahagia mengantre hanya untuk masuk halte. Antrian makin panjang karena hari sudah sore. Gate yang seharusnya ada tiga menyusut jadi  dua bahkan satu saja. Jangan memusingkan direktur Transjakarta dengan urusan gate yang tidak penting itu. Biarkan saja. Kurangi tanggung-jawabnya. Tidak perlu ngecekkondisi seperti halte di depan Polda Metro Jaya. Nanti direkturnya tidak bahagia.
Dengan cita-cita membahagiakan warganya, Jakarta harus dibuat ramah. Jakarta harus menerima segala sesuatu. Â Gubernurnya yang pernah menerobos jalus Transjakarta juga tiba-tiba teriak soal bahwa jalur itu harus steril. Supaya rakyat senang mendengarnya, tetapi tampaknya makin banyak yang menerobos jalur ini.
Menjadi aneh kemudian jika aturan-aturan itu ditegakkan kembali. Di samping harus berbeda dengan yang dahulu, wajah Jakarta harus ditampilkan ramah. Tidak boleh lagi Jakarta yang kejam. Tidak boleh lagi pelarangan yang mengurangi kenikmatan warga. Jangan sampai warga yang tinggal di pinggir sungai minta dipindahkan di rusun. Mereka sudah bahagia tinggal disana. Menikmati banjir yang katanya mendatangkan banyak bantuan.
Kota Jakarta harus berbeda. Kota Jakarta kini sudah ramah kembali. Mari kita majukan warganya dengan keramahan Jakarta baru. Jakarta yang akan maju melesat meninggalkan yang tidak ingin bahagi. Jadi, untuk semuanya, selamat datang di Jakarta yang kini telah kembali ke sifat aslinya. Kota Jakarta yang ramah.
Satu lagi. Tapi ini rahasia. Pemerintah Jakarta baru ini pun menerima dan terbuka bagi preman. Simak saja opini Kompas cetak hari ini berjudul Politik yang Kumuh. Penulisnya Max Regus. Dia juga ternyata mengutip Kompas.com (2/11/2017). Mengutip ucapan wakil gubernur. "Semua masuk dalam diskusi ini, termasuk mohon maaf, termasuk preman-premannya. Jadi, kami bicara juga sama preman-premannya. Ya, tentu nggak di Balai Kota, tetapi di tempat-tempat yang mereka biasa kumpul". Nah, Jakarta ramahkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H