Buruh selalu memiliki posisi tersendiri dalam sebuah negara. Tandanya, di banyak negara banyak berdiri partai buruh. Partai yang bertujuan memperjuangkan nasib buruh. Buruh telah menjadi sosok yang seksi. Seksi dari sisi isu yang bisa dimainkan. Seksi dari segi jumlah untuk dimobilisasi. Buruh sering berdemonstrasi untuk memperjuangkan nasib. Buruh pernah juga berdemonstrasi untuk isu yang dititipkan pihak yang berkepentingan.Â
Instrumen upah buruh melekat dalam politik buruh tersebut. Buruh tidak mau dihargai murah. Buruh berjuang untuk mendapatkan jasanya diberikan harga yang sewajarnya. Ini terkait dengan kesejahteraan.Â
Di sisi lain, para pengusaha berteriak ketika buruh berteriak. Dalam konteks memperjuangkan upahnya, buruh menerapkan pola maximizing. Upaya untuk meminta upah yang setinggi-tingginya. Di bandul yang lain, pengusaha bermain dengan pola minimizing. Upaya untuk menekan pengeluaran sebesar-besarnya.Â
Ada satu cerita soal upah buruh ini. Cerita ini di masa penjajahan dulu, tetapi masih relevan hingga sekarang. Suatu ketika, pemerintahan penjajahan Belanda mengalami kesulitan membayar upah buruh yang 8,5 sen sehari. Sehingga, upah buruh diturunkan menjadi 2,5 sen.Â
Voila! Ternyata buruh dapat hidup dan tidak ada yang kelaparan. "Ternyata, mereka bisa hidup dengan 2,5 sen sehari" ujar petinggi Belanda ketika itu. Jadi, mari tetapkan upah buruh menjadi 2,5 sen sehari. Hidup bisa dan terpaksa memang beda tipis dalam pandangan pemberi upah, pengusaha, apalagi penguasa. Hanya soal angka semata. Masyarakat sebenarnya terpaksa hidup dengan 2,5 sen sehari itu. Kalau tidak mau diterima, maka mereka akan dipecat.Â
Pandangan ini rasanya masih berlaku hingga sekarang. Kalau tidak percaya coba periksa dompet pekerja asing dan pekerja lokal dengan tingkat yang sama di Indonesia.Â
Pertarungan ini akan selalu abadi. Tarikan antara kepentingan buruh, pengusaha dan penguasa bisa saling berpotongan di konteks permasalahan upah buruh ini. Tetapi, di luar itu, upah buruh bisa juga menjadi alat politik lingkungan yang sakti.Â
Membersihkan Ibukota dari Pabrik
Tampaknya memang tidak manusiawi. Tetapi kebijakan dapat diambil dan diharapkan memberikan kemanfaatan (efficacy) terbesar bagi khalayak. Jakarta akan sangat beruntung jika pabrik direlokasi keluar Jakarta. Setidaknya polusi udara di Jakarta bisa berkurang. Kendaraan-kendaraan raksasa tidak lagi memadati jalan raya ibukota.Â
Sebuah ibukota, sudah seharusnya bebas dari pabrik. Ibukota harus menjadi kota jasa dan pemerintahan. Untuk melakukan penutupan pabrik dengan semena-mena, pemerintah tidak bisa. Bisa-bisa mendapatkan tuntutan hukum. Kebijakan pemerintah yang merugikan pemilik pabrik dapat diperkarakan di pengadilan. Biaya untuk ini, pastilah sangat mahal.Â
Untuk itu, kira-kira apa yang dapat digunakan untuk merelokasi pabrik secara tidak langsung. Relokasi pabrik ini penting bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Terlebih lagi, sebuah ibu kota negara besar tidaklah elok jika masih ada pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap. Seperti masih tampak di Jakarta Timur.Â