Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Keberadaan Alexis sebagai Bagian Peradaban Manusia

1 November 2017   23:19 Diperbarui: 1 November 2017   23:22 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah mendengar sebuah pernyataan, prostitusi merupakan pekerjaan yang paling tua.. Prostitusi sudah ada pada tahun 2400 sebelum Masehi. Praktek ini, seperti ditulis Herodotus seorang sejarawan Yunani dalam bukunya The Histories, berada di tempat yang suci. Di tempat-tempat pemujaan.

Prostitusi bahkan pada zaman batu juga sudah ada, meskipun belum ada alat bayar yang sah seperti uang. Jasa 'kenikmatan' ini dibayarkan dengan sistem barter. Layaknya perdagangan di masa-masa awal. Disinyalir dari sebuah artikel di Psychology Today oleh Christoper Ryan. Ph.D, usia profesi prostitusi jauh lebih tua, 10 ribu tahun lamanya.

Pertanyaannya adalah mengapa kegiatan prostitusi ini yang sudah sangat tua dan masih sangat berlangsung hingga sekarang. Artinya, kegiatan ini tidak mati. Tidak meredup. Di Indonesia sendiri lokasi-lokasi dan lokalisasi seperti ini sudah mencapai sudut-sudut bahkan pedalaman negeri.

Menyebar kemana-mana. Sehingga, menyadari betapa aktivitas seperti ini tidak akan mati, ditindak seperti apa pun caranya, ada beberapa pemerintahan yang melokalisasinya. Tujuan mulianya untuk lebih mengontrol dan tidak mebiarkan menjadi liar. Mengontrol mungkin dianggap lebih baik dari pada upaya memusnahkan. Tidak akan musnah soalnya, hanya mewujud dalam bentuk lain.

Cakupan kegiatan ini tidak berada pada tingkatan masyarakat kelas menengah atas saja. Karena kebutuhan biologis ini terjadi pada setiap manusia disetiap lapisan. Sehingga sebaran berada mulai dari hotel kelas atas hingga kelas melati dan kelas melata, bahkan menganeksasi gerbong-gerbong rusak di stasiun dan pinggiran rel. Semua tempat menjadi bisa digunakan, karena tekanan bawah yang sangat kuat sehingga meng-overwrite rasa yang lain soal tempat nyaman dan bersih.

Adanya 'demand' yang tidak pernah mati ini mendapatkan respon dari kalangan bisnis. Banyak cerita soal ini. Bisa kita lihat di film-film juga, baik film mafia semacam Godfather dan sequelnya serta film-film Coboy. Prostitusi menjadi bagian dari bisnis para gembong mafia. Mereka mendapatkan keuntungan berlipat dari kebutuhan penyaluran kebutuhan purba ini. Di film Coboy, tempat-tempat seperti ini menjadi sarana pelepasan segala ketegangan dalam kelana yang tiada henti. Bahkan digambarkan prosesnya berlangsung meskipun si Coboy itu tidak mandi dan aromanya sangat asem.

Dorongan kebutuhan biologis ini dalam konteks prostitusi, alih-alih menjadi 'berkat', malah cenderung menjadi seperti kutukan. Hubungan yang dieratkan dalam perkawinan untuk melegalkan penyaluran kebutuhan ini baik dari sisi perempuan maupun laki-laki, ternyata tidak cukup untuk menghentikan proses pencarian pelepasannya.

Ini terkait juga dengan sifat dari kebutuhan itu sendiri. Kebutuhan yang membutuhkan kebaruan, karena terkait dengan triggeryang juga diciptakan oleh kebaruan. Sehingga, banyak terjadi kegiatan pelepasannya di luar pernikahan. Extra marital sex, sering disebut istilahnya. Rumput tetangga lebih hijau. Begitulah kira-kira gambarannya.

Sering sekali, seiring waktu, proses pelepasan dengan pasangan yang diikat oleh kesucian menjadi hambar dan tidak menggairahkan lagi. Ketertarikan kepada pasangan menjadi kurang. Konteks kebaruan dan petualangan dan juga tekanan kebutuhan pelepasan, mendorong, biasanya lelaki, untuk mencari saluran diluar jalur resmi, pernikahan.

Kebutuhan ini pun berkelindan dengan naluri bisnis yang bebas nilai. Jika dikaitkan dengan nilai-nilai, maka jasa prostitusi tidak akan terjadi. Tetapi, kembali lagi seperti disampaikan di atas, tekanan pelepasan kebutuhan ini mampu meng-overwrite, termasuk nilai-nilai bahkan perjanjian suci dalam sebuah pernikahan.

Dengan demikian, gairah seksualitas ini menjadi 'kutukan' tersendiri bagi umat manusia. Kekuatan diri dan nilai-nilai ternyata diperlukan untuk tetap tidak meng-offside-kan proses pelepasannya. Nyatanya, banyak juga yang off-side.

Fakta bahwa prostitusi tetap berada di tengah-tengah masyarakat, menunjukkan suatu kondisi terjadi penyaluran tekanan di luar garis. Banyak faktor yang mendorong ini. Bisa faktor kebaruan tadi, tidak selalu berada dalam kondisi tersedia di jalur resmi, godaan yang luar biasa, pergaulan dan petualangan, bahkan pertandingan serta kontentasi. Ingatkan arisan brondong.

Bisnis prostitusi tidak melulu transaksi persetubuhan. Bisa juga semacam jasa pijat-pijat dengan tambahan menu intimasi yang membuat melayang. Tarian polos juga masuk dalam kategori ini. Jualan seperti ini, tetap menyala dan berkembang di segala tingkatan dan juga di sudut mana pun di dunia ini.

Kebiasaan jajan ini dalam konteks prostitusi dimana lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, seperti diungkapan Christhoper Ryan di Psyhology Today, cenderung untuk melepaskan kebutuhan tanpa ada embel-embel. Dalam bahasa para 'penikmat' bisnis ini dikatakan jika ingin makan sate kambing, beli satenya saja. Jangan beli kambingnya.

Lebih lanjut dikatakan, cinta sekilas ini lebih aman bagi laki-laki dari pada sebuah affair yang melibatkan kebutuhan biologis ini. Akan banyak yang hancur jika terlibat dalam sebuah affair bagi seorang laki-laki; kekayaan, kekuasaannya, keluarga. Sementara, transaksi dengan penyedia jasa 'kenikmatan' ini dianggap lebih kecil risikonya. Kecil risikonya, bukan berarti tidak ada risiko.

Artinya, jika sekedar ingin melepas tekanan tidak melibatkan emosi, maka lakukan beli putus. Cari penyedia jasa prostitusi dan eksekusi. Tidak ada string attached-nya. Tidak ada tanggung-jawab. Tidak ada akibat yang ditanggung, misalkan kekhawatiran hamil. Meskipun jika tidak hati-hati dan bersih serta melakukannya dengan 'aman', sering ada bonus sexual transmitted disease seperti sipilis dan sejenisnya. Penyakit yang sekali terkena, akan abadi di dalam tubuh.

Alexis Menciptakan Wadah

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang purba melintasi jaman yang terbentang dalam ribuan tahun itulah, Alexis, seperti yang banyak diketahui masyarakat, bisa dikatakan menciptakan wadah. Wadah pertemuan kebutuhan dan penyedianya.

Dalam konteks bisnis, ini merupakan bisnis yang menarik, karena tidak akan pernah mati. Di lingkungan masyarakat seperti Jakarta, dengan tingkat nilai yang relatif lebih longgar, proses ini berkelanjutan dan berkembang.

Alexis terutama pebisnisnya hanya melihat peluang semata-mata. Dalam keliaran dan kebaruan, menu-menu yang disediakan pun semakin beragam. Istilah Uzbek juga muncul dengan nama Alexis. Ada rumor yang mengatakan bahwa Alexis menyediakan jasa 'pelayanan' ini dengan pekerja berasal dari negara Uzbekistan. Mulus, putih, cantik, dan bening. Begitu gambaran yang dibenamkan ke kalangan pengguna. Imajinasi melayang. Kocek dirogoh lebih dalam. Di kalangan penikmat jasa ini, pengalaman dengan penyedia jasa dari perempuan Uzbek ini menjadi semacam penanda kelas tersendiri.

Wajar saja. Harganya saja jauh dari lokalan, bahkan impor dari daratan Cina, menu lain yang ditawarkan. Penyedia yang lokalan, dipastikan damage cost-nya, istilah yang digunakan para "petualang" itu,  pastinya akan jauh lebih rendah.

Lalu, kini nama Alexis muncul ke permukaan. Ini seperti penanda bahwa semua kalangan masyarakat sadar akan keberadaan Alexis sebagai penyedia jasa "kenikmatan" ini. Alexis menjadi mendapat tempat, karena tiba-tiba isu-isu yang berputar di tataran politik lokal Jakarta, memasukkan Alexis ini.

Isu yang tiba-tiba masuk hanya karena sejauh mana gubernur Jakarta berada di luar tekanan para pebisnis  jalur ini. Hanya itu. Tidak lebih.  Tidak semata-mata bahwa bisnis ini tidak layak ada di Jakarta. Karena, bisnis seperti ini tidak hanya ada di Alexis. Masih banyak tempat lain. Sialnya, bisnis ini menjadi salah satu pemasukan bagi pemerintah.

Alexis, yang menjadi bagian dari peradaban "gelap" manusia, tiba-tiba mendapat perhatian di tengah isu-isu lain yang beredar. Isu upah minimum buruh sekalipun kalah jauh dengan Alexis ini. Bisa jadi, karena ini bukan soal bisnis prostitusinya. Ini soal peradaban manusia yang setengah hati harus menerima keberadaan prostitusi. Keberadaan Alexis mendapat tempat di tengah kegiatan menjalankan budaya sehari-hari.

Lalu, Alexis pun memuncaki isu-isu politik di Jakarta. Muncul tanya. Ini bukan soal prostitusikan, kah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun