Secara umum warga negara Asia memiliki inferioritas terhadap Barat. Segala yang berbau Barat relevan dengan segala sesuatu yang hebat. Mind set seperti ini sudah tertanam baik. Mungkin anda pernah menyaksikan wanita Asia yang kelihatan bangga karena berjalan dengan seorang pria bule. Itu bentuk inferioritas tadi. Tidak luput juga warga negara Indonesia.
Menyedihkan. Itulah situasi yang terjadi terkait bagaimana bangsa Indonesia memandang dirinya di hadapan bangsa asing terutama Barat. Kaum yang di Indonesia sering disebut bule ini dianggap lebih tinggi derajatnya dalam segala hal dibandingkan dengan orang Indonesia.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat biasa, tetapi bahkan juga di kalangan elit sekalipun. Dalam banyak pertemuan sering terlihat bagaimana 'lemahnya' bangsa kita di depan bangsa asing.
Otak dan pikiran kita telah dicekoki dengan pandangan akan superioritas mereka. Bahwa mereka bangsa yang lebih unggul dalam segala hal. Bahkan dalam warna kulit pun, mereka merasa ras kulit putihlah yang terbaik.
Padahal, saya pernah agak mual ketika duduk di sebelah seorang bule yang kulitnya putih di angkot di Bandung sekitar tahun 1990-an. Kulitnya itu agak berbintik dan bulu tangannya putih. Maklum, itu the first and the closest encounter dengan bule dalam hidup saya, ketika itu, setelah merantau dari sebuah kampung, berjarak 45 kilometer dari Danau Toba ke arah Medan.
Tetapi, memang faktanya, banyak keunggulan yang mereka miliki dalam bermacam hal. Soal pendidikan, misalnya, sekolah mereka menjadi yang terbaik. Soal teknologi, kita bisa dikatakan berada 100 tahun di belakang mereka.
Lalu mereka menciptakan lingua franca internasional, bahasa Inggris. Untuk menguasai teknologi dan hal lain dari mereka, kita harus belajar dulu bahasa Inggris itu. Dalam konteks belajar lingua franca itu pun kita masih keteteran.
Bagaimana kemudian mempelajari secara ajeg teknologi yang dijabarkan dengan bangsa Inggris. Orang Indonesia berjuang dua kali lipat untuk belajar ilmu mereka. Pertama, belajar bahasa Inggris dan kedua belajar substansinya. Otak sudah capek belajar bahasa itu, hanya tersisa sedikit untuk belajar teknologi itu. Hasilnya, tidak mantap.
Kondisi ini menciptakan permasalahan serius. Kita menjadi tunduk di segala suasana. Lemah dihadapan mereka. Terbuka dan polos ketika berinteraksi. Proses pelemahan ini terus dikumandangkan dalam berbagai aspek termasuk produk budaya. Film-film, buku-buku, musik-musik dan berbagai media budaya lainnya, menciptakan gelombang pesan-pesan yang mengatakan bahwa bangsa Barat itu lebih unggul dari bangsa Indonesia.
Akibatnya dalam banyak hal kita kalah dan kita tidak bisa bangkit. Dampak luasnya, kita akan menjadi bangsa paria di hadapan bangsa-bangsa barat yang terus berkreasi untuk menjaga superioritas ini berkelanjutan. Sementara kita terlena tetap sebagai bangsa pemakai dan penikmat dengan mentalitas rendah. Bangsa yang inferior.
Bolehlah kita banggakan satu dua orang yang hebat. Bolehlah kita bercerita bahwa nenek moyang kita jauh lebih unggul dari nenek moyang mereka. Tetapi romantisme masa lalu tidak berguna jika realitasnya kemudian, kita kalah dan bertekuk, menjadi bangsa yang inferior di banyak sisi.