Setelah lulus SMK jurusan bangunan, berakhir menjadi pengaduk semen. Lalu, apa gunanya menghabiskan waktu selama tiga tahun dan uang tidak sedikit hanya untuk berakhir menjadi pengaduk semen. Jurusan di SMK lainnya juga mengalami lulusan yang demikian. Berakhir menjadi cleaning service. Pada intinya, SMK tidak menghasilkan lulusan terampil sesuai dengan yang dicanangkan. Prihatin! Penulis mencoba mengutip mantan pimpinan dulu.
Itulah yang mengemuka dalam sebuah kesempatan berdiskusi dengan beberapa guru SMK di Banda Aceh di sela-sela lokakarya terkait program Sekolah Aman pada 22 Agustus 2017. Keprihatinan guru-guru SMK itu, ternyata menjadi keprihatinan Presiden Jokowi juga.
Bertolak dari visi meningkatkan daya saing bangsa, Jokowi berharap lulusan SMK dapat menjadi penggerak pembangunan. Seperti tujuan dari pendirian SMK dengan berbagai jurusannya: jurusan bangunan, listrik, parawisata, tata boga dan tata rias. Di beberapa kota besar, jurusan disain visual dan komputer juga diselenggarakan.
Lalu, jika semuanya berakhir menjadi pekerja "kasar" seperti digambarkan di atas, apakah perlu pendidikan selama tiga tahun? Apa yang salah dengan hal di atas, terutama lulusan SMK jurusan bangunan, yang setelah lulus hanya menjadi pengaduk semen? Apakah karena tidak adanya lapangan pekerjaan? Apakah lulusan itu dididik di sekolah kejuruan yang tidak memiliki bengkel kerja? Prihatin! Penulis masih mencoba mengutip mantan pimpinan dulu.
Banyak pertanyaan yang bisa diutarakan terkait fenomena lulusan SMK yang berakhir menjadi pekerja kasar. Mereka harusnya menjadi praktisi. Tetapi, kecenderungan pasar mensyaratkan lulusan dengan gelar sarjana. Jadi, tidak nyambung antara proses mencetak lulusan yang siap kerja dengan dunia kerja senyatanya.
Menjawab kondisi ini, Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015, terkait revitalisasi pendidikan SMK. Dalam peraturan itu disebutkan upaya-upaya untuk meningkatkan akses kerja bagi lulusan SMK semua jurusan. Tidak cukup hanya disitu, Presiden Jokowi juga mencanangkan program magang nasional di Karawang pada bulan April 2017.
Pada acara tersebut yang juga dihadiri kalangan dunia industri, Jokowi meminta komitmen dari para pengusaha untuk memberikan peluang magang. Hal ini diharapkan dapat menjembatani pengembangan kemampuan lulusan SMK untuk dapat bekerja setelah lulus sekolah. Zaman dulu biasa disebut link and match. Tetapi dulu berakhir dengan tidak nge-link dan tidak nge-match.
Banyak jurusan yang mendapat tempat di berbagai industri tersebut. Tetap ada satu jurusan yang tidak mendapat perhatian yakni jurusan bangunan. Di Inpress No. 9 itu pun, jurusan bangunan tidak disebutkan. Pada acara pencanangan program magang itu jurusan bangunan kurang mendapat tempat. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk berlaku adil bagi lulusan SMK jurusan bangunan? Program Sekolah Aman dapat menjadi titik tolak pengembangan kemampuan calon lulusan dan peluang bekerja setelah menyelesaikan masa belajar di SMK. Bagaimana itu bisa direalisasikan?
Program Sekolah Aman
Sebuah kampanye global bertajuk One Million Safe Schools and Hospitals dicanangkan oleh UNISDR pada tahun 2009. Tujuan kampanye ini salah satunya meningkatkan kesadaran para pemangku kepentingan sektor pendidikan di seluruh dunia untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang aman.
Maknanya adalah bangunan sekolah harus menjadi tempat yang aman dan mampu menahan risiko bencana. Sekolah yang aman berarti tidak mengalami kerusakan yang parah ketika bencana terjadi. Tidak ada kerusakan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Dalam banyak tempat, sekolah sekaligus juga digunakan sebagai tempat tempat penampungan sementara bagi para pengungsi yang terdampak bencana. Dengan demikian, bangunan sekolah harus aman.
Indonesia tahun 2010, sebagai dukungan program sekolah aman global, meluncurkan program Sekolah dan Rumah Sakit Aman nasional. BNPB, Kementerian Pendidikan dan juga Kementerian Koordinasi Kesejhateraan Rakyat dan berbagai organisasi turut serta mencanangkan gerakan ini dan berkomitmen untuk memastikan sekolah-sekolah di Indonesia mengikuti standar sekolah aman. Pada tahapan awal, Kementerian Pendidikan berencana membangun hingga 3000 sekolah aman pada tahun pertama.
Dalam praktiknya, sekolah aman memiliki dua elemen penting, yakni elemen struktural dan non-struktural. Elemen struktural berkaitan dengan struktur bangunan sekolah. Sementara elemen non-struktural berkaitan dengan segala hal di luar bangunan sekolah seperti warga sekolah, organisasi siaga bencana, pelatihan dan simulasi serta koordinasi dengan berbagai pihak yang terkait. Terkait dengan budaya aman. Pihak rumah sakit, polisi dan juga pemadam kebakaran sering menjadi rekan kerja dalam pelaksanaan elemen non-struktural sekolah aman ini.
Peran dan pengembangan dari SMK dapat diarahkan pada elemen struktural dari program sekolah aman.
.
Dalam prosesnya, setidaknya terdapat berbagai tugas yang harus dilaksanakan meliputi penilaian kondisi bangunan yang tujuannya untuk memastikan kondisi bangunan dan tingkat kerusakannya saat ini. Setidaknya harus dilihat tiga kondisi bangunannya: bangunan yang sudah berdiri, bangunan sekolah yang akan dibangun dan juga bangunan yang direhablitasi atau pun dibangun ulang pasca kejadian bencana. Dari data ini, kemudian dilakukan perencanaan. Setelah itu, pelaksanaan rehabilitasi dengan perkuatan dilakukan dengan pengawasan pembangunan yang ketat dan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam tahap perencanaan. Setelah selesai dibangun, dilakukan pemeriksaan sebelum benar-benar diserahkan kepada pihak pemilik, yakni Kementerian Pendidikan atau Dinas Pendidikan di daerah.
Peran perencanaan hingga pemeriksaan setelah pembangunan membutuhkan sumber tenaga kerja yang luar biasa banyak. Ini sesuai dengan kondisi sektor pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data pokok pendidikan pada Kementerian Pendidikan, jumlah ruang kelas di Indoneisa mencapai 1,8 juta ruangan dari sekitar 184 ribu sekolah di kurang lebih 6.600 pulau. Dengan luasnya cakupan dan jumlah yang besar, maka proses yang dilakukan dari pusat akan memakan waktu dan biaya yang sangat besar. Tidak masalah dengan jumlah uang yang besar, tetapi bagaimana mengefisienkan penggunaannya dengan kondisi yang ada.
Pada tahun 2010, Kementerian Pendidikan melakukan penilaian kondisi sekolah. Setidaknya, untuk Sumatera dan Jawa, pada saat itu, diperlukan biaya hampir 100 milyar rupiah. Angka ini fantastis. Di samping biaya yang besar tersebut, ternyata prosesnya pun mengalami ganggung karena terjadi korupsi. Terakhir diberitakan bahwa direktur perusahaan yang melakukan assessment tersebut ditangkap. Terjadi korupsi mencapai hingga 55 milyar.
Pada kondisi ini, diperlukan sebaran sumber daya untuk mencakup jumlah sekolah dan juga tantangan penyebaran geografisnya. Sekolah-sekolah harus mendapatkan proses penilaian yang sama. Untuk itu, peran SMK menjadi penting. Dengan adanya 611 SMK di 524 Kabupaten di Indonesia, setidaknya setiap SMK bertanggung-jawab pada sekolah-sekolah yang ada di sekitarnya. Melihat proses yang diperlukan, maka program sekolah aman ini bisa menjadi peluang pekerjaan dan karir bagi lulusan SMK.
Memang ada pihak-pihak yang meragukan kemampuan dan kapasitas lulusan SMK untuk melakukan pekerjaan penilaian (assessment) bangunan, perencanaan (planning), pengawasan (supervision), pemeriksaan (evaluation) satu bangunan sekolah. Akan tetapi pembangunan bangunan sekolah satu lantai tidaklah serumit bangunan bertingkat banyak (engineering building). Jika memang kapasitas mereka yang masih kurang, perlu diupayakan program untuk mengatasi kekurangan tersebut.
Sayang sekali jika waktu yang banyak dan uang tidak sedikit hanya berakhir menjadi kuli bangunan. Belum lagi ekspektasi lulusan SMK adalah langsung dapat bekerja setelah lulus. Jenis sekolah yang praktis ini tentunya diharapkan untuk langsung berkontribusi bagi pembangunan. Sebagai angkatan kerja yang seharusnya memiliki kapasitas, tidak baik jika sumber daya ini terbuang sia-sia.
Di tengah kebutuhan yang tinggi dalam rangka memastikan pendidikan anak-anak Indonesia berlangsung aman demi masa depan dan daya saing ke depan, maka pemerintah sudah seharusnya melihat peluang untuk pemanfaatan tenaga-tenaga lulusan SMK. Cakupannya yang luas secara geografis bisa memastikan semua sekolah dapat tertangani dengan baik.
Untuk mencapai tingkat kemampuan yang dimiliki pemerintah harus melakukan revisi kurikulum yang lebih praktis dan lebih mampu menjawab kebutuhan sektor pendidikan kejuruan ini. Kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dapat dilakukan untuk memastikan kualifikasi terpenuhi.
Jika ini terwujud, SMK jurusan bangunan akan bangkit kembali. Para lulusannya, tidak akan menjadi kuli bangunan yang pada kenyataannya tidak memerlukan pendidikan. Sejatinya, uang dan waktu yang mereka habiskan tidak akan menjadi sia-sia. Negara ini tidak boleh menyia-nyiakan peluang ini. Presiden Jokowi telah mendorong upaya ini. Praktiknya ada di tangan para pejabat terkait.
Janganlah lagi keringat mereka terbuang sia-sia. Tiga tahun terbuang begitu saja, jika para lulusan SMK jurusan bangunan ini berakhir menjadi kuli bangunan. Peluangnya sudah ada. Lewat program sekolah aman yang telah menjadi komitmen dari anak-anak bangsa terutama pemangku kepentingan utamanya yakni kementerian pendidikan dan banyak lagi organisasi kemasyarakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H