Strategi harus dikembangkan untuk mewujudkannya di tengah dinamika dan persoalan energi yang menuju kepada titik yang dapat dikatakan mengkhawatirkan, karena cadangan yang semakin menurun dan semakin mahalnya biaya eksplorasi.
Saat ini, cadangan minyak Indonesia terbukti berkisar 3,7 miliar barel yang hanya cukup untuk 11-12 tahun ke depan. Perhitungan ini dengan asumsi produksi 700.000-800.000 barrel per hari dan konsumsi sekitar 1,5 juta barrel per hari. Dengan asumsi pertumbuhan 6 persen per tahun, pada 2025 kebutuhan menjadi 2,7 juta barrel per hari. Sementara Pertamina hanya memasang target untuk mencapai produksi 1,9 juta barel setara minyak per hari pada 2025. Ini tantangan tersendiri untuk mengisi kekurangannya.
Sebagai perusahaan negara, dengan beban menyediakan pendapatan bagi negara, Pertamina juga dibebani tugas menyediakan energi ke seluruh pelosok negeri dengan harga yang sama. Kondisi geografis Indonesia yang selama ini pembangunannya terkonsentrasi di Jawa, memberikan tantangan yang luar biasa dalam upaya mewujudkan bahan bakar satu harga. Agak kurang masuk akal memang menyamakan harga bahan bakar di Jawa dan Papua. Ongkos distribusi sangat mahal. Akses yang sangat terbatas memaksa Pertamina untuk memutar otak mencari cara dan jalur logistik untuk memastikan program itu terwujud.
Berbagai maneuver dilakukan. Menaikkan minyak ke pesawat terbang seperti di Papua menjadi pilihan. Di Kalimantan, minyak harus dimasukkan ke drum-drum dan kemudian dihanyutkan ke sungai untuk mencapai lokasi. Di Bengkulu, truk-truk Pertamina harus berjibaku melewati jalanan berlumpur dan berlubang yang tidak jarang mengakibatkan truk terbalik. Di Mentawai, minyak harus di angkut dengan ferri ke pelabuhan lalu dimasukkan ke jerigen-jerigen untuk dibawa dengan motor ke desa-desa yang tersembunyi di sudut-sudut pulau.
Mencari Sumber-sumber Baru dan Terbarukan
Di tengah tantangan yang sangat menekan, terkait dengan penyediaan energi dan semakin mahal dan langkanya sumber energi, Pertamina harus mencari sumber-sumber energi baru dan terbarukan, sesuai dengan penjabaran visi baru Pertamina. Â Memang, sementara ini yang diupayakan masih pada fossil-based energi, seperti minyak dan gas bumi.
Akan tetapi, minyak tentunya akan semakin mahal. Di samping cadangan yang semakin menipis, juga eksplorasi yang sangat mahal. Pertamina bekerja keras untuk mencari alternative energi baru dan terbarukan. Energi panas bumi sudah mulai dieksplorasi untuk penyediaan energi bagi kebutuhan listrik.
Energi sinar matahari masih belum masuk tahapan produksi karena masih terkendala skala ekonominya. Pemanfaatan tenaga angin, tenaga air dan tenaga gelombang laut belum juga disentuh. Â Bahkan, energi nuklir belum menjadi wacana di Pertamina. Sudah lama sekali wacana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia, tetapi tidak diwujudkan.
Masalah pembangunan reaktor nuklir di wilayah yang rawan gempa menjadi kekhawatiran utama. Mungkin sumber daya manusia Indonesia pun belum mampu mengelolanya. Bisa jadi, teknologi rekayasa sipil saat ini belum mampu menahan daya rusak gempa yang bisa menjadi penyebab kerusakan reaktor seperti yang terjadi di Jepang pasca gempa 2011.
Sementara itu, masih ada sumber energi lainnya, Torium. Menurut informasi Kementerian Perindustrian, sumber energi ini sangat melimpah di Bangka Belitung dengan cadangan 170.000 ton. Cadangan itu dapat digunakan membangun 170 pembangkit listrik berkapasitas 1000 mega watt selama 1000 tahun.
Menata Pasokan Memodifikasi Permintaan
Terkait dengan persoalan energi terutama pasokan dan permintaan, Pertamina perlu berupaya untuk terus mencari sumber energi baru dan terbarukan. Sementara itu, masyarakat pengguna harus juga dididik untuk menghemat energi. Cadangan minyak akan terus menurun. Sumber-sumber minyak yang ada di daratan, permukaan dan di dalam negeri atau dekat dengan daratan sudah terpakai.