Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Melirik Isu PKI Zaman "Now" dari Kisah Kang Kribo

28 September 2017   14:39 Diperbarui: 28 September 2017   18:20 2800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: dok.pribadi

Riding the wave. Mungkin ini istilah yang tepat disematkan kepada aktivitas Kang Kribo. Kang Kribo, demikian dia disebut, karena rambutnya kribo tidak terurus. Kang Kribo ini pedagang di trotoar di Jalan Suci di Kota Bandung, tidak jauh dari Islamic Center. Ketika itu menjelang Y2K. Zaman dimana ketakukan muncul karena sistem penanggalan di komputer hanya hingga 1999. Khawatir dunia kiamat.

Kang Kribo menjual buah. Buah yang dijual segala yang sedang in. Buah yang sedang musim, itulah yang dijajakannya. Mangga harum manis, durian, rambutan, lengkeng, langsat, dan bermacam buah tropis lainnya menjadi komoditas bisnisnya.

Jualannya laku keras. Sebabnya, harga tidak mahal. Dibandingkan yang lain, harga dagangannya selalu di bawah harga pesaing. Tidak ada yang berani protes, karena tampangnya sangat sangar. Gendut, kumuh, gondrong dan selalu berbau alkohol. Begitulah tampilannya setiap jualan. Bisa dipastikan, dia juga jarang mandi. Selalu seperti itu.

Biasanya dia jualan sore menjelang malam. Ibu-ibu 'mencintainya'. Bagaimana tidak? Bila belanja di Kang Kribo, buah yang ditenteng jauh lebih banyak dibandingkan di pedagang lain. Dia sangat sosialis. Tidak mengambil banyak dari pelanggannya. Cenderung malah memberi, sebab harganya yang murah. Bolehlah kita mengatakan dia seorang sosialis pemabuk. Atau seorang pemabuk yang sosialis.

Tetapi, begitulah kiat dagangnya. Dia ikut menjual segala jenis buah yang laku di pasaran. Buah yang lagi musim. Riding the wave. Menunggangi gelombang, menggapai keuntungan untuk hidup berlanjut, tetap di atas trotoar.

Gelombang Isu PKI

Saat ini, ada pihak yang sedang giat-giatnya mengudarakan isu PKI. PKI yang Partai Komunis Indonesia. Semakin hari, isu kebangkitan PKI ini semakin nyaring terdengar. Di gendang disana, disambut disini. Bersahut-sahutan seolah-olah besok akan pecah pemberontakan PKI. Seolah-olah peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 akan terulang.

Isu ini digulirkan sedemikian rupa dengan sosok menonjol Kivlan Zein dan Amin Rais. Ujaran-ujaran soal kebangkitan PKI ini diuarkan secara terus menerus. Demonstrasi menentang pembahasan tentang nasib mereka yang menjadi korban, diganyang dan dituduh membangkitkan PKI. Apakah mereka dengan lantang meneriakkan isu PKI karena memang PKI akan bangkit lagi?

Menyimak ocehannya, sepertinya mereka sangat khawatir akan ada kebangkitan PKI yang akan segera. Menurut versi mereka. Bayangkan saja, saat ini, menurut versi duo Kivlan dan Amin, ada 15 juta anggota PKI di Indoneisa. Mereka bermain dalam senyap. Mereka bermain seperti siluman. Jumlah 15 juta anggota sangat fantastis untuk sebuah organisasi.

Tetapi ucapan-ucapan ini tidak dihadirkan dengan bukti-bukti. Kantor PKI-nya dimana? Pengurusnya siapa? Ketuanya siapa? Sekjennya siapa? Dimana konsentrasi anggotanya? Seperti apa kartu anggotanya? Yel-yelnya bagaimana? Seragamnya warna apa? Rapat-rapatnya dilakukan dimana?

Banyak pertanyaan soal ini. Tetapi, tidak ada jawaban dari pihak yang selalu teriak. Masa, massa yang jumlahnya hampir tiga kali lipat penduduk Singapura itu, tidak kelihatan satu pun batang hidungnya? Sedemikian silumankah mereka sehingga tidak ada satu pihak pun yang dapat melacak keberadaannya?

Drama lanjutannya masih diteruskan. Tidak kurang pemerintah sekarang dituduh membiarkan PKI bangkit. Seperti apa penjabarannya? Tidak jelas. Tidak penting juga bagi kelompok penguar isu itu. Pokoknya teriak bahwa kebangkitan PKI akan segera muncul. PKI seperti sudah siap menerkam. Tinggal diperintahkan, maka hancurlah negara ini.

PKI menjadi trend teriakan mereka. Sahut menyahut? Bahkan presiden sendiri harus terikut dalam arus pusaran yang dimainkan entah siapa. Presiden berkomentar harus ada film PKI versi milenial. Mungkin presiden sedang bercanda.

Generasi milenial tentunya tidak peduli. Mereka lebih peduli drama Korea Decendant of the Sun dengan bintangnya Song Joong Ki dan Song Hye Kyo. Tetapi, sekarang mereka lagi diajak-ajak untuk menonton film itu. Emangnya, mengapa harus menonton? Masihkah kualitas fisik filmnya bagus?

Lalu, apa yang hendak didapat dari proses yang sekarang lagi dipolarisasikan? Gelombang apa yang sedang mereka ciptakan?

 Pesan yang Terbaca

Kira-kira apa pesan yang hendak dikirimkan ke benak setiap orang saat ini? Ini kemungkinannya menurut analisa kasar penulis. Kemungkinannya yakni menunjukkan kekejaman PKI dalam membunuh jenderal-jenderal pahlawan revolusi itu. Lalu, militer keluar sebagai pembebas. Dengan demikian, dalam konteks kebangkitan PKI saat ini, maka militer harus dimajukan. Selanjutnya, militer atau sosok militer harus memegang kekuasaan negeri ini. Militer harus menjadi pengendali negeri. Sosok militer harus menjadi presiden.

Ada upaya juga mendiskreditkan presiden Jokowi. Sebelumnya dalam buku Jokowi Undercover Jokowi diikaitkan dengan PKI. Sekarang Jokowi kembali lagi dilekatkan dengan PKI. Sepertinya ini operasi tersusun mereka para pencari kekuasaan ini.

"Tidak lihat, Jokowi mengundang dana-dana dari Cina untuk membangun berbagai infrastruktur di Indonesia". Begitu kira-kira narasi yang disorongkan ke benak masyarakat. Dengan demikian, Jokowi antek PKI. Jokowi harus 'disingkirkan'. Sipil tidak cocok memimpin di negeri ini. Narasi tidak langsung yang dimajukan.

Bisa jadi, ambisi yang belum kesampaian dari calon yang setia mengikuti kontestasi mencari presiden di negeri ini, mendorongnya untuk tetap mencoba hingga tahap akhir. Mungkin pemilihan presiden kali ini yang terakhir baginya. Hingga upayanya juga harus pamungkas. Lalu, jika isu-isu yang lain tidak bisa dilekatkan kepada pesaing, maka citra dirilah yang diperbaiki.

Caranya, ya itu tadi mencoba mendorong isu PKI yang katanya akan menghancurkan Indonesia. Lalu, militer yang harus membebaskan negara ini. Lalu, militer yang harus memimpin negara ini. Sehingga pertemuan mereka yang berambisi berduo dalam konteks memunculkan pemimpin bangsa berlatar belakang militer mulai giat akhir-akhir ini.

Mungkin mereka juga terinspirasi dengan film Three Idiots. Dalam film itu digambarkan cara untuk menjadi juara, yakni berusaha memperkuat diri sendiri. Bila cara ini dirasa tidak berhasil, maka perlemahlah lawan.

Dengan segala prestasi Jokowi yang luar biasa, agak susah untuk memperlemah Jokowi. Dibilang tidak berhasil, banyak infrastruktur yang berhasil dibangun. Dikatakan memimpin dengan buruk, ternyata terjadi perbaikan dalam konteks pemerintahan dan capaian peningkatan kinerja. Dibilang tidak memperhatikan rakyat, Jokowi justru mengembalikan banyak ke masyarakat yang kekurangan melalui Kartu Indonesia Pintar dan berbagai fasilitas membantu masyarakat miskin. Dibilang tidak merakyat, kok rasanya beliau hadir hampir setiap hari di tengah rakyat.

Playmakerisu kinerja buruk Jokowi sudah jelas, duo Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Semua yang dilakukan Jokowi dinilai buruk di mata mereka. Takkala mereka berkinerja buruk, yang disalahkan Jokowi juga. Katanya, karena Jokowi tidak menciptakan suasana kondusif. Ngeles tingkat dewa.

Dengan kondisi tidak bisa melemahkan lawan lewat 'merusak' reputasinya, maka citra dirilah yang harus diperkuat. Citra bahwa negara ini memerlukan sosok yang tegas dan harus berlatar belakang militer. Dengan mendorongkan isu kebangkitan PKI, ide yang disorongkan adalah sosok militer perlu bagi bangsa ini.

Gayungnya bersambut. Pastinya. Sebenarnya bukan gayung yang bersambut, tetapi ini merupakan sebuah skenario besar yang disiapkan untuk merebut kekuasaan tertinggi bangsa ini. Tinggal selangkah, kira-kira begitu pandangan mereka. Sebab DKI 1 sudah di tangan.

Sekarang gelombang itu terus diciptakan. Diayun di satu sisi dan sisi lainnya. Dari DPR keluar Fadli Zon dengan pesan-pesan yang sama. PKI makin dibiarkan berkembang di Indonesia. Dari luar DPR, Amien Rais menyambutnya. Jagoan tua ini tidak jelas juga mengapa ikut-ikutan meneriakkan kemunculan PKI. Benci dengan Jokowi tampaknya. Padahal, seharusnya sebagai seorang profesor sendiri harusnya paham jika PKI tidak akan laku lagi di Indonesia.

Anak penguasa orde baru dalam acara jalan santai juga memberikan pesan yang sama. Sahut menyahut. Tetapi, kok yang teriak itu-itu saja. Pemainnya itu-itu saja. Tidak ada pemain baru. Peserta demo besar dulu juga akan berdemo lagi. Tema yang dibawa termasuk kebangkitan PKI ini. Mantap jiwo. Isunya bebas, palu gada. Ape lu mau, gue ada.

Tetapi, itulah politik mereka. Politik mereka menciptakan gelombang. Gelombang harus dinaiki untuk bisa sampai ke seberang. Amplitudo diperbesar. Di jual terus-menerus. Disuruh-suruh nonton filmnya. Mengambil keuntungan dari gelombang yang diciptakan untuk meraih kemungkinan menjadi pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa yang berlatar-belakang militer. Kontestasi tinggal sekali ini bagi dia. Karena berikutnya, kemungkinan besar tidak fresh lagi. Tidak menjual lagi barang itu, dalam bahasa Alm. Batugana. 

Untuk menciptakan, melanggengkan dan memperbesar gelombang ini, berbagai kalangan digalang. Banyak tulisan bermunculan di berbagai media online, blog dan juga pesan-pesan tentang pentingnya membumihanguskan PKI karena kekejamanya terhadap bangsa. Video anak muda yang lahir jauh dari 1965 menyerukan mengganyang PKI dan Jokowi sekaligus. Cerdas sekali, memanfaatkan generasi milenial yang lagi 'mencari jati diri'.

Melihat gejala yang dijabarkan di atas, tampaknya, ada yang benar-benar meniru Kang Kribo. Mereka harus melakukan riding the wave. Kang Kribo, si sosialis pemabuk, melakukan riding the wave dimana wave-nya itu alami. Natual. Tidak dibuat-buat. Tidak direkayasa. Tidak disuruh-suruh. Tetapi terkait isu kebangkitan PKI ini, gelombangnya diciptakan. Gelombang diciptakan oleh sekelompok orang yang berkepentingan dengan impian yang belum tercapai. Lalu, ada yang dinaikkan ke puncak gelombang itu. Mengendarainya.

Pertanyaannya, akankah gelombang itu membesar dan laku dijual di masyarakat. Upaya untuk memperbesar gelombang itu akan terus diupayakan dengan pesan-pesan yang keras. Tokoh yang ingin maju bergerak kesana kemari menjual ide ini.

Musimnya sedang pas. Nanti tanggal 30 September 2017, akan ada peringatan hari kebangkitan Pancasila yang lekat dengan peristiwa G 30 S PKI. Gelombang diciptakan, musim sedang ada, jualan diciptakan, pesan dilesakkan untuk menciptakam momentum meraih kepemimpinan.

Kalau Kang Kribo melakukan riding the wave untuk sekedar memperpanjang hidup, maka duo penunggang gelombang ciptaan ini melakukannya untuk sebuah keinginan memimpin negeri ini. Sebabnya, kekuasaan itu nikmat. Soalnya, sebelum menjadi pemimpin, tidurnya tidak akan nyenyak. Apakah ibu-ibu "mencitainya"? Mungkin, karena katanya orangnya ganteng dan tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun