Dengan segala prestasi Jokowi yang luar biasa, agak susah untuk memperlemah Jokowi. Dibilang tidak berhasil, banyak infrastruktur yang berhasil dibangun. Dikatakan memimpin dengan buruk, ternyata terjadi perbaikan dalam konteks pemerintahan dan capaian peningkatan kinerja. Dibilang tidak memperhatikan rakyat, Jokowi justru mengembalikan banyak ke masyarakat yang kekurangan melalui Kartu Indonesia Pintar dan berbagai fasilitas membantu masyarakat miskin. Dibilang tidak merakyat, kok rasanya beliau hadir hampir setiap hari di tengah rakyat.
Playmakerisu kinerja buruk Jokowi sudah jelas, duo Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Semua yang dilakukan Jokowi dinilai buruk di mata mereka. Takkala mereka berkinerja buruk, yang disalahkan Jokowi juga. Katanya, karena Jokowi tidak menciptakan suasana kondusif. Ngeles tingkat dewa.
Dengan kondisi tidak bisa melemahkan lawan lewat 'merusak' reputasinya, maka citra dirilah yang harus diperkuat. Citra bahwa negara ini memerlukan sosok yang tegas dan harus berlatar belakang militer. Dengan mendorongkan isu kebangkitan PKI, ide yang disorongkan adalah sosok militer perlu bagi bangsa ini.
Gayungnya bersambut. Pastinya. Sebenarnya bukan gayung yang bersambut, tetapi ini merupakan sebuah skenario besar yang disiapkan untuk merebut kekuasaan tertinggi bangsa ini. Tinggal selangkah, kira-kira begitu pandangan mereka. Sebab DKI 1 sudah di tangan.
Sekarang gelombang itu terus diciptakan. Diayun di satu sisi dan sisi lainnya. Dari DPR keluar Fadli Zon dengan pesan-pesan yang sama. PKI makin dibiarkan berkembang di Indonesia. Dari luar DPR, Amien Rais menyambutnya. Jagoan tua ini tidak jelas juga mengapa ikut-ikutan meneriakkan kemunculan PKI. Benci dengan Jokowi tampaknya. Padahal, seharusnya sebagai seorang profesor sendiri harusnya paham jika PKI tidak akan laku lagi di Indonesia.
Anak penguasa orde baru dalam acara jalan santai juga memberikan pesan yang sama. Sahut menyahut. Tetapi, kok yang teriak itu-itu saja. Pemainnya itu-itu saja. Tidak ada pemain baru. Peserta demo besar dulu juga akan berdemo lagi. Tema yang dibawa termasuk kebangkitan PKI ini. Mantap jiwo. Isunya bebas, palu gada. Ape lu mau, gue ada.
Tetapi, itulah politik mereka. Politik mereka menciptakan gelombang. Gelombang harus dinaiki untuk bisa sampai ke seberang. Amplitudo diperbesar. Di jual terus-menerus. Disuruh-suruh nonton filmnya. Mengambil keuntungan dari gelombang yang diciptakan untuk meraih kemungkinan menjadi pemimpin bangsa. Pemimpin bangsa yang berlatar-belakang militer. Kontestasi tinggal sekali ini bagi dia. Karena berikutnya, kemungkinan besar tidak fresh lagi. Tidak menjual lagi barang itu, dalam bahasa Alm. Batugana.Â
Untuk menciptakan, melanggengkan dan memperbesar gelombang ini, berbagai kalangan digalang. Banyak tulisan bermunculan di berbagai media online, blog dan juga pesan-pesan tentang pentingnya membumihanguskan PKI karena kekejamanya terhadap bangsa. Video anak muda yang lahir jauh dari 1965 menyerukan mengganyang PKI dan Jokowi sekaligus. Cerdas sekali, memanfaatkan generasi milenial yang lagi 'mencari jati diri'.
Melihat gejala yang dijabarkan di atas, tampaknya, ada yang benar-benar meniru Kang Kribo. Mereka harus melakukan riding the wave. Kang Kribo, si sosialis pemabuk, melakukan riding the wave dimana wave-nya itu alami. Natual. Tidak dibuat-buat. Tidak direkayasa. Tidak disuruh-suruh. Tetapi terkait isu kebangkitan PKI ini, gelombangnya diciptakan. Gelombang diciptakan oleh sekelompok orang yang berkepentingan dengan impian yang belum tercapai. Lalu, ada yang dinaikkan ke puncak gelombang itu. Mengendarainya.
Pertanyaannya, akankah gelombang itu membesar dan laku dijual di masyarakat. Upaya untuk memperbesar gelombang itu akan terus diupayakan dengan pesan-pesan yang keras. Tokoh yang ingin maju bergerak kesana kemari menjual ide ini.
Musimnya sedang pas. Nanti tanggal 30 September 2017, akan ada peringatan hari kebangkitan Pancasila yang lekat dengan peristiwa G 30 S PKI. Gelombang diciptakan, musim sedang ada, jualan diciptakan, pesan dilesakkan untuk menciptakam momentum meraih kepemimpinan.