Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sebentuk Kebhinekaan di Pojok Sinabung

20 September 2017   22:08 Diperbarui: 20 September 2017   23:01 1666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Udara dingin menyelimuti Balai Kampung Desa Surbakti, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Hujan yang turun sepanjang hari di daerah dengan ketinggian 1200-an meter itu, mengurangi derajat suhu udara. Malam hampir menjelang. Masyarakat berkumpul di tempat yang dalam bahasa lokal disebut jambur. Semua peserta rapat yang terdiri dari masyarakat dan pengurus desa mengenakan jaket. Memberikan pertahanan serangan dingin yang semakin menggigit kulit. Angin yang bertiup kencang menyempurnakan suhu udara yang bisa membuat seseorang ingin menarik selimut dan bersembunyi di baliknya.

Rapat yang dilakukan terkait perencanaan desa. Program percontohan dari pemerintah pusat di Desa Surbakti. Satu dari desa yang terdampak erupsi Gunung Sinabung sejak 2014. Programnya membantu masyarakat untuk memformulasikan Rencana Pembangunan Desa (RPP). Di dalam bahasa Inggrisnya sering disebut CSP. Terjemahannya, Community Settlement Plan.

Pada intinya program pendampingan masyarakat ini bertujuan memformulasikan perencanaan pembangunan masyarakat Desa Surbakti yang didasarkan kepada permusyarawatan di dalam masyarakat. Program-program yang akan dimasukkan dalam perencanaan ini harus digali dari kebutuhan nyata masyarakat. Formulasi program digunakan dengan mekanisme rembug atau runggudalam Bahasa Karo.

Formulasi program-program ini dapat menjadi masukan kepada Rembug Desa, Rembug Kecamatan, Rembug Kabupaten dan seterusnya hingga Rembug Nasional.

Rembub-rembug yang bertingkat ini sering dilakuan secara seremonial saja. Kebutuhan real masyarakat sering absen. Persoalannya, tidak ada proses berdiskusi dan berdialog dengan masyarakat. Jika pun ada seringnya terjadi elite capture. Artinya, hanya petinggi desa yang dipanggil untuk melakukan perencanaan. Artinya juga, hanya kebutuhan elit desa yang tertangkap. Ini yang menyebabkan kebutuhan real masyarakat sering tidak terformulasikan secara jelas.

Melalui program formulasi RPP ini, masyarakat dilibatkan termasuk perempuan. Dalam konteks ini, pelibatan Ibu Rumah Tangga menjadi sentral. Dalam bahasa pembangunan, gender balance diupayakan terjadi.

Setelah sholat Maghrib, dari pengeras suara yang suaranya timbul tenggelam, berisik dan tidak terlalu jelas kedengaran, pembawa acara menyapa warga dan mengajak supaya berkumpul semuanya. Acara sudah akan dimulai.

Dan, tidak berapa lama kemudian, dalam balutan jaketnya yang tampak tebal, ditambah topi yang dikenakan untuk menghindari dingin ke kepala, pria pembawa acara kemudian berkata, "Bapak dan Ibu sekalian, acara ini akan dibuka dengan doa agama Islam dan ditutup nanti dengan doa agama Kristen."

Suaranya memang agak tenggelam, tetapi pesan yang ingin disampaikan tersampaikan. Acara yang dihadiri masyarakat dengan agama yang berbeda itu, mengakomodir pendekatan pembukaan acara dengan kepercayaan masing-masing. Sebuah keajaiban. Kejadian yang bagi banyak orang adalah langka.

Kejadian itu menjadi sangat penting dalam konteks banyak peristiwa negatif yang terjadi beberapa waktu belakangan di Indonesia. Di tengah kayanya Indonesia dengan berbagai keragaman agama, suku bangsa, bahasa, kebiasaan, kepercayaan, aliran politik dan adat-istiadat, ada sekelompok masyarakat yang tidak ingin dan merasa tidak nyaman dengan segala perbedaan itu.

Banyak yang mengatakan bahwa perbedaan ini adalah unik. Karena tidak semua bangsa di dunia memiliki kekayaan yang sedemikian rupa. Sewajarnya, perbedaan tidak harus menjadi masalah jika ada penerimaan atas kenyataan ini. Kebhinekaan menjadi kata kunci yang tidak bisa dielakkan melihat kodrat bangsa ini.

Menjadi berbeda adalah sebuah keniscayaan. Tidak bisa ditolak. Itu sudah merupakan berkat dari sang Pencipta. Perbedaan bisa ditonjolkan, karena masing-masing memiliki keunikan. Tetapi perbedaan tidak harus menonjolkan keutamaan. Bahwa hanya satu kepercayaan yang utama. Hanya satu suku yang pertama. Bahkan, berfikiran hanya satu aliran politik yang ada.

Jika diperlihara, hal ini bisa mendorong negara ke tubir jurang perpecahan. Pemaksaan kehendak, dalam bentuk apa pun tidak relevan dengan dasar negara kita Pancasila. Disana ada nilai-nilai luhur yang dapat menjadi batu penjuru untuk menyelaraskan perbedaan yang ada.

Perbedaan yang ada harus dirayakan sebagai sebuah keunikan bangsa ini. Tidak ada yang menjadi paling menonjol. Tidak ada yang harus menjadi takut, cemas dan tidak nyaman sebab perbedaan ini. Tidak ada tekanan dari pihak yang mayoritas atas minoritas. Bahwa semuanya berkontribusi dalam membangun bangsa. Sehingga tidak perlu memaksakan pemikiran, kepercayaan dan nilai-nilai yang cenderung men-suppresi gologan masyarakat lainnya.

Sangat tidak nyaman hidup dalam perbedaan yang ditajamkan. Semangat hidup sebenarnya akan lebih baik ketika perbedaan ini digunakan sebagai modalitas membangun bangsa. Tidak melulu perbedaan diarahkan pada penegasan akan terbaik, terbenar, termulia dan juga terutama. Semuanya setara dan bersatu dalam nilai-nilai kebhinekatunggalikaan.

Apa yang terjadi sore itu di jambur Desa Surbakti di kaki Gunung Sinabung menjadi gambaran betapa warna-warna yang ada mampu diterima dengan baik. Tidak ada yang merasa lebih menonjol. Semua tunduk terpaku dalam doa pembukaan yang menurut agama Islam. Lalu selanjutnya nanti ditutup doa dengan cara agama Kristen.

Tidak terasa, diskusi yang saling terbuka, hangat dan saling memberikan dukungan dan semangat berlangsung kurang lebih satu setengah jam. Banyak persoalan yang dirasa muncul, tetapi saat itu yang diajukan adalah pembangunan sarana air bersih. Sarana yang sangat diperlukan masyarakat.

Di sumber-sumber air bersih, tetapi masyarakat tidak menikmati air bersih. Karena sumbernya jauh dari permukiman masyarakat. Sehingga harus dibuatkan saluran. Saluran dari sumber mata air ke penampungan utama, lalu saluran dari penampung ke rumah-rumah masyarakat.

Diskusi selanjutnya masih harus dilakukan. Program detailnya harus dijabarkan. Sumber pendanannya harus diupayakan. Pelibatan masyarakat harus ditegaskan. Perempuan harus disertakan.

Perlahan, dalam kekaguman, dalam tunduk menyecap dingin, penulis perlahan mendengar doa menurut agama Nasrani dalam bahasa Karo. Doa terdengar lamat-lamat di deru angin yang semakin melesakkan dingin ke tubuh. Acara rapat selesai.

Tetapi, masyarakat masih tetap di jambur itu melanjutkan gurauan dan bicara hal-hal lain. Mungkin tentang letusan Sinabung yang tak kunjung reda. Tidak ada rasa tidak nyaman atas apa yang terjadi, soal doa yang berbeda.

Terlintas renungan tentang Indonesia yang indah jika sebentuk toleransi seperti yang tersaji di depan mata saat ini, bisa terjadi di tempat lain di Indonesia. Tidak ada kebaikan yang muncul dari keberagaman yang disamakan. Keberagaman seharusnya menjadi sebuah kunci pendewasaan masyarakat dalam proses toleransi yang harus terus menerus diupayakan.

Sore ini, sebuah pelajaran indah dari pojok Gunung Sinabung, yang masih setia memberikan ancaman bagi masyarakat di sekitarnya, tentang betapa indahnya jika keberagaman itu tidak menjadi sumber permasalahan. Tidak ada yang menyamakan, apalagi memaksakan satu warna dari banyak warna yang memberi keindahan itu sendiri.

Soal toleransi ini, ternyata di Provinsi Sumatera Utara tidak hanya di Kabupaten Karo, Terdapat juga di tempat lain di provinsi dimana Danau Toba berada. Banyak terdapat bukti-buktinya.

Di Kabupaten Dairi tepatnya di Sidikalang terdapat Taman Wisata Iman Sitinjo. Konsep Taman Wisata Iman ini yakni kerukunan antar agama. Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha memiliki kompleks di taman yang memiliki luas 130 ribu meter persegi ini.

Masih terkait toleransi di Provinsi yang beribukota Medan ini, dalam laporan yang dikeluarkan Setara Institute pada tahun 2016 tentang Kota yang paling toleran dan intoleran, ada beberapa prestasi yang dimiliki.

Dua kotanya menduduki daftar 10 kota paling toleran di Indonesia. Nomor urut pertama Pematang Siantar. Kota kedua Sibolga di urutan ke 6. Tidak ada satu kota pun dari provinsi ini yang masuk dalam daftar 10 kota yang paling intoleran.

Gelar bagi kota Pematang Siantar itu telah dipegang beberapa tahun ke belakang. Setidaknya menurut Setara Institute dengan laporannya yang dikeluarkan setiap November. Pertanda bahwa kerukunan beragama yang muncul dari rasa toleransi yang tinggi dari masyarakatnya yang beragam, terpelihara secara terus menerus.

Selayaknya, keragaman harus dirayakan. Toleransi harus dijaga dan dipertahankan. Intoleransi harus dimusnahkan. Lewat sebentuk rembug masyarakat di Desa Surbakti itu, harapan akan Indonesia yang damai dan toleran mendadak membuncah. Seperti permintaan yang sampaikan kepada Yang Maha Suci lewat doa-doa yang diucapkan.

Penulis pun beringsut, pergi bersama rombongan untuk kembali ke penginapan. Terbekas dalam di ingatan betapa Desa Surbakti yang mengalami derita dari erupsi Gunung Sinabung yang tiada henti menyajikan keindahan Indonesia. Keindahan yang tidak selayaknya dirusak oleh sekelompok orang. Biarlah sebentuk kebhinekaan itu menjadi setitik cahaya dalam perjuangan menjaga toleransi di negara tercinta ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun