Tiga menit kemudian sudah tiba di lobbi hotel. Sopir yang akan membawaku belum muncul. Sedikit gelisah. Takut sunrise-nya terlewat. Setelah menunggu 15 menit, mobil putih innova yang akan membawaku tiba. “Maaf, Bang. Aku telat. Tadi malam mati lampu, jadi terlambat bangun” ujar Bang Riza, sopir yang membawaku. “Tidak apa-apa. Ayo berangkat” jawabku, sedikit ketus. Tapi dalam hati aku minta maaf.
Perjalanan menuju daerah Ujung Pancu itu tidak lama, hanya 30 puluh menit. Tetapi untuk menuju spot yang ditunjukkan Boy itu, perlu upaya lebih dan agak menantang insting. Dulu, aku pernah kesana setelah tsunami. Belum ada bangunan dan perkampungan. Sekarang sudah padat dan banyak gang-gang yang cukup satu mobil menuju lokasi. Salah satu gang itu menuju spot terbaiknya.
Dan yang lebih dahsyatnya, jalanan kampung yang sudah beraspal itu tersebar banyak sekali ‘ranjau darat’. Sapi penduduk yang dibiarkan berkeliaran, pada malam hari tidur di jalan aspal itu. Mungkin lebih hangat dari pada di rumput. Puluhan sapi terpaksa kami bangunkan supaya bisa lewat, tentunya dengan klakson yang nyaring. Tumpukan-tumpukan kotoran sapi yang memenuhi seluruh jalan terpaksa harus dilindas. Rasanya, meskipun di dalam mobil, kaki menginjak kotoran itu, saking banyaknya tumpukannya. Jalan sepanjang hampir dua kilometer itu penuh dengan kotoran sapi. Tidak terbayang dengan penduduk yang tinggal di kampung itu. Jarak jalan dengan rumah hanya 1-2 meter. Jika kering dan debunya beterbangan, bisa dibayangkan dampaknya. Menurut Riza, masyarakatnya belum sadar untuk mengkandangkan sapinya.
Setelah mencari 30 menit berikutnya, dan melewati barisan ranjau darat dengan jeri, tibalah di pantai Ujung Pancu itu. Syukurlah, kami tidak terlambat, padahal jam sudah mendekati pukul 06.00. Di Aceh subuh memang datang terlambat, setidaknya bagiku yang terbiasa dengan jam di Jakarta.
Dengan gegas, aku mengambil kamera, mengeluarkan tripoddan memburu ke pantai. Dalam gelap aku menyaksikan ada beberapa perahu, dan batuan yang agak menjorok ke pantai karena sedang surut. Kamera dengan live view aku siapkan dan menggunakan mode manual dan slow speedtechnique. Terbayang nanti lembutnya permukaan air laut di foto dengan teknik tersebut.
Setelah mencoba beberapa komposisi dengan mengkombinasikan batu, air laut, kemunculan matahari, awan di langit dan perahu serta beberapa tumbuhan di sekitarnya, aku menyiapkan beberapa spot yang menurutku akan tampak cantik. Kamera telah diset di atas tripod. Bukaan, kecepatan rana dan ISO juga dipastikan sudah sesuai untuk menghindari noisedan sekaligus ketajaman foto. Untuk menghindari guncangan ketika memencet tombol rana, terpaksa aku mengorbankan waktu dua detik, menggunakan timer. Sebab lupa bawa shutter release cable. Tapi gak apa-apalah kehilangan dua detik kali sekian foto dari pada foto tidak fokus karena getaran diakibatkan tekanan pada tombol rana.
Setiap detik rasanya ada perubahan pada bentang alam di depan mata. Warna-warna yang ditimbulkan dan pemandangan di depan mata benar-benar membuat kalap. Dengan segera setelah memencet tombol, langsung ambil foto yang lain. Pindah dari satu titik ke titik lain dilakukan dengan cepat. Pegangan pada kamera harus kuat. Jika kamera jatuh, selesailah perjuangan. Belum lagi batu-batu yang licin. Sepatu gunung yang aku pakai cukup membantu.
Tidak berhenti kamera aku bidikkan dengan kecepatan hingga 5 detik. Tidak ingin matahari segera muncul dan menjadikan langit pucat dan kehilangan kontrasnya. Warna-warna di depan mata sangat menakjubkan. Bahkan sebenarnya kamera canggih yang aku bawa pun tidak cukup untuk menangkapnya. Keindahan di depan mata jauh lebih dahsyat.
Untuk sebuah momen singkat ini, persiapannya tentutnya tidak singkat. Kekuatan hati untuk mengejarnya menjadi kunci utama. Sebab, soal teknik foto dan peralatan, itu soal mekanis. Mudah. Tetapi soal mempertahankan keinginan untuk mengejarnya seringnya dipacu oleh sensasi yang didapatkan. Tidak sekedar fotonya.