Perasaan ini bergejolak setiap ditugaskan ke Aceh. Pengalaman tinggal di Aceh selama dua tahun pasca tsunami meninggalkan banyak kesan yang mendalam. Terkait dengan orang-orang yang terdampak dan juga alam Aceh yang sangat indah. Barisan pantai di pesisir Barat dan pegunungan yang masih perlu dijelajahi. Di Aceh juga aku awalnya ‘menemukan’ keindahan langit. Langit berwarna biru cerah ketika siang hari dan langit berwarna-warni di senja dan menjelang pagi. Setelah pindah ke Jakarta, teman-teman kantor sering merasa aneh dengan sikapku. Suka memandangi langit Jakarta, lalu protes. Sebab langit yang selalu kelabu karena polusi yang tinggi.
Tidak demikian dengan Aceh. Langitnya masih biru, alamnya masih segar dan tentunya sudut-sudut pulau yang menyajikan keindahan, sebut saja Sabang. Pantai-pantai yang putih bersih dan karang-karang yang indah akan segera menyambut jika berkelana ke Pantai Iboih, tidak jauh dari titik nol Indonesia.
Dan, di penghujung Maret itu, saya ditugaskan kembali ke Aceh. Sebagai pecinta foto landscape, saya langsung membayangkan peralatan yang harus dibawa. Soal tugas sudah kebayanglah, gampang. Soal membingkai keindahan alam Aceh, terutama Banda Aceh, persiapan harus disiapkan. Kamera, tripod, baterei esktra dan filter. Semuanya harus dipastikan masuk ke tas kamera. Ketinggalan laptop kerja dan celana dalam, tidak masalah. Ketinggalan alat foto itu alamat moodmengejar keindahan bisa berubah.
Banyak yang bisa dibingkai di Banda Aceh. Kotanya yang giat berkembang setelah tsunami, lokasi-lokasi terdampak tsunami dulu, bangunan-bangunan yang masih disisakan sebagai pengingat dan pesawat Dakota RI 001 Seulawah yang bertengger di Blang Padang. Sementara untuk kuliner, tentunya mie Aceh yang nikmat, ayam tangkap dan kopi Aceh yang nikmat. Jangan sampai terlewat.
Setelah menjejakkan kaki di Banda Aceh dan bertemu rekan disana, diskusi bukan soal pekerjaan. Tetapi, lebih pada lokasi foto landscape. Beruntung, salah satu rekan di Banda Aceh itu pecinta fotografi juga. Boy, begitu dia menyebut dirinya, nama asilnya Baihaqi, menyebutkan Ujung Pancu. “Sunrise-nya bagus, Bang” dia meyakinkan saya. Sembari menunjukkan foto-foto dia menjabarkan hal yang menarik di ujung pancu. “Ada pattern nih, Bang” tambahnya lagi sambil menunjukkan pola-pola yang tampak di pasir dari sebuah foto sunrise-nya. “Disana juga ada perahu, batu-batu dan kalau beruntung nelayan yang menangkap ikan, Bang” cerocosnya lagi.
Otak sudah tidak fokus lagi dengan penjabarannya. Terbayang komposisi, warna-warni, drama di langit dan di permukaan air laut yang harus diabadikan. “Bisa nanti ikut bareng saya?” tanyaku pada Boy. “Belum pasti, Bang” jawabnya cepat. Bisa jadi karena dia sudah sangat biasa dengan spot foto alam itu.
Tetapi, yang namanya alam, pastinya tidak pernah sama. Jikapun sering kesana, tidak pernah ada pemandangan dan momen yang sama persis. Aku lebih yakin dia punya kesibukan lain. Di benak masih terus berputar soal menejar matahari terbit di Ujung Pancu, sementara beban tugas juga tidak ringan. Sembilan hari di Aceh, tetapi hanya satu hari di Banda Aceh. Akhirnya aku putuskan membingkai keindahan alam itu di pagi terakhir, yakni di hari ke sembilan. Aku berdoa, semoga tidak hujan.
Batu, Tanaman, Matahari, Perahu dan Air Laut
Bagi pecinta foto landscape, mendapatkan foto sunrise yang indah rasanya sebuah kewajiban. Bagi pecinta landscape, perjuangan mendapatkan keindahan itu memang cukup menantang. Peralatan yang harus siap, mengorbankan waktu tidur karena bangun harus subuh dan menjelajahi alam yang menuntut stamina yang mumpuni.
Pernah temanku harus merelakan kecintaannya pada foto landscape karena persoalan stamina itu. Padahal dia seorang diver. Tetapi menurutnya membingkai alam itu lebih melelahkan dari pada foto bawah laut. Sehingga kameranya harus dijual lagi. Tetapi begitulah adanya proses pembingkaian bentang alam ciptaan sang Mahaesa itu. Persiapannya mungkin tidak terlalu rumit, tetapi ke lokasinya kadang harus berjuang.
Dan subuh itu di 4 April 2017, setelah hanya tidur kurang dari 4 jam, aku terbangun pukul 04.00. Bergegas membawa tas kamera dan tripod yang sudah disiapkan dari malam. Mata masih belum rela terbuka. Badan masih minta untuk dibaringkan. Untunglah, alarm di telepon pintar setia berteriak dengan nyaring hingga aku terbangum. Menyeret badan dan mencuci muka, sikat gigi dan minum air tawar.
Tiga menit kemudian sudah tiba di lobbi hotel. Sopir yang akan membawaku belum muncul. Sedikit gelisah. Takut sunrise-nya terlewat. Setelah menunggu 15 menit, mobil putih innova yang akan membawaku tiba. “Maaf, Bang. Aku telat. Tadi malam mati lampu, jadi terlambat bangun” ujar Bang Riza, sopir yang membawaku. “Tidak apa-apa. Ayo berangkat” jawabku, sedikit ketus. Tapi dalam hati aku minta maaf.
Perjalanan menuju daerah Ujung Pancu itu tidak lama, hanya 30 puluh menit. Tetapi untuk menuju spot yang ditunjukkan Boy itu, perlu upaya lebih dan agak menantang insting. Dulu, aku pernah kesana setelah tsunami. Belum ada bangunan dan perkampungan. Sekarang sudah padat dan banyak gang-gang yang cukup satu mobil menuju lokasi. Salah satu gang itu menuju spot terbaiknya.
Dan yang lebih dahsyatnya, jalanan kampung yang sudah beraspal itu tersebar banyak sekali ‘ranjau darat’. Sapi penduduk yang dibiarkan berkeliaran, pada malam hari tidur di jalan aspal itu. Mungkin lebih hangat dari pada di rumput. Puluhan sapi terpaksa kami bangunkan supaya bisa lewat, tentunya dengan klakson yang nyaring. Tumpukan-tumpukan kotoran sapi yang memenuhi seluruh jalan terpaksa harus dilindas. Rasanya, meskipun di dalam mobil, kaki menginjak kotoran itu, saking banyaknya tumpukannya. Jalan sepanjang hampir dua kilometer itu penuh dengan kotoran sapi. Tidak terbayang dengan penduduk yang tinggal di kampung itu. Jarak jalan dengan rumah hanya 1-2 meter. Jika kering dan debunya beterbangan, bisa dibayangkan dampaknya. Menurut Riza, masyarakatnya belum sadar untuk mengkandangkan sapinya.
Setelah mencari 30 menit berikutnya, dan melewati barisan ranjau darat dengan jeri, tibalah di pantai Ujung Pancu itu. Syukurlah, kami tidak terlambat, padahal jam sudah mendekati pukul 06.00. Di Aceh subuh memang datang terlambat, setidaknya bagiku yang terbiasa dengan jam di Jakarta.
Dengan gegas, aku mengambil kamera, mengeluarkan tripoddan memburu ke pantai. Dalam gelap aku menyaksikan ada beberapa perahu, dan batuan yang agak menjorok ke pantai karena sedang surut. Kamera dengan live view aku siapkan dan menggunakan mode manual dan slow speedtechnique. Terbayang nanti lembutnya permukaan air laut di foto dengan teknik tersebut.
Setelah mencoba beberapa komposisi dengan mengkombinasikan batu, air laut, kemunculan matahari, awan di langit dan perahu serta beberapa tumbuhan di sekitarnya, aku menyiapkan beberapa spot yang menurutku akan tampak cantik. Kamera telah diset di atas tripod. Bukaan, kecepatan rana dan ISO juga dipastikan sudah sesuai untuk menghindari noisedan sekaligus ketajaman foto. Untuk menghindari guncangan ketika memencet tombol rana, terpaksa aku mengorbankan waktu dua detik, menggunakan timer. Sebab lupa bawa shutter release cable. Tapi gak apa-apalah kehilangan dua detik kali sekian foto dari pada foto tidak fokus karena getaran diakibatkan tekanan pada tombol rana.
Setiap detik rasanya ada perubahan pada bentang alam di depan mata. Warna-warna yang ditimbulkan dan pemandangan di depan mata benar-benar membuat kalap. Dengan segera setelah memencet tombol, langsung ambil foto yang lain. Pindah dari satu titik ke titik lain dilakukan dengan cepat. Pegangan pada kamera harus kuat. Jika kamera jatuh, selesailah perjuangan. Belum lagi batu-batu yang licin. Sepatu gunung yang aku pakai cukup membantu.
Tidak berhenti kamera aku bidikkan dengan kecepatan hingga 5 detik. Tidak ingin matahari segera muncul dan menjadikan langit pucat dan kehilangan kontrasnya. Warna-warna di depan mata sangat menakjubkan. Bahkan sebenarnya kamera canggih yang aku bawa pun tidak cukup untuk menangkapnya. Keindahan di depan mata jauh lebih dahsyat.
Untuk sebuah momen singkat ini, persiapannya tentutnya tidak singkat. Kekuatan hati untuk mengejarnya menjadi kunci utama. Sebab, soal teknik foto dan peralatan, itu soal mekanis. Mudah. Tetapi soal mempertahankan keinginan untuk mengejarnya seringnya dipacu oleh sensasi yang didapatkan. Tidak sekedar fotonya.
Itulah kenyataannya. Keindahan itu tersembunyi di tempat-tempat sunyi dan kadang tersembunyi. Perlu upaya dan kekuatan hati untuk mendapatkannya. Itu jugalah yang membedakan fotograferlandscape dan genre lainnya. Meskipun harus diakuigenre lainnya perlu perjuangan juga. Aku rasa, perjuanganku tidak sia-sia. Sebentuk keindahan Ujung Pancu berhasil kusimpan dalam fotoku. Kuabadikan dan sebagian aku bagikan untukmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H