Aku hanya ingin bercerita tentang Indonesia yang indah. Akhir-akhir ini aku dan banyak orang lain khawatir dengan negeri ini. Pertentangan yang muncul di masyarakat katanya semakin tajam. Ada sekelompok orang yang ingin mengubah negara ini menjadi bentuk negara lain.
Aku yang lahir dan besar di negara ini menjadi merasa asing dengan segala kebisingan itu. Suara-suara yang mengatakan aku benar dan kamu salah semakin menggema. Teriakan kamu bukan bagian kami makin sering menguar. Ini menggelisahkan aku dan banyak yang lainnya. Termasuk cerita lain tentang mereka yang di tampuk sana.
Bukankah Indonesia harus dijaga dan dilestarikan? Ya, sangat perlu dilestarikan, tetapi lihatlah, kita masih punya masalah dengan banyak pemimpin kita.
Lihatlah, betapa mereka hidup dalam kemewahan luar biasa sementara di belahan lain Indonesia ada masyarakat yang berjuang hanya untuk menjual karetnya. Jalanan rusak di kampungnya menghambatnya. Biaya angkut yang sebelumnya hanya Rp. 500 per kilogram, kini harus dikali dua. Dan belum tentu ada truk yang datang. Seandainya pesawat pribadi yang diparkir di Bali itu yang seharga Rp. 660 milyar digunakan memperbaiki jalan desanya, mungkin karet Pak Tani tadi tidak akan mangkrak lama dan dapur mereka ngebul lagi.
Memang masih ada pejabat yang korupsi dan jualan berbagai keistimewaan yang mereka miliki untuk sekedar mendapatkan jaminan posisi aman. Pejabat yang menjual jabatan dan harga dirinya. Ada jabatan seharga Rp. 50 juta. Mau? Ada juga jabatan seharga Rp. 100 juta? Sanggup? Ada yang premium, Rp. 450 juta untuk Kepala Dinas. Mantap, jualannya laku keras. Masih ingat Sri Hartini, kan? Mantan Bupati sebuah kabupaten yang murid-murid SMA-nya merayakan kelulusan dengan kebrutalan. Ingat? Dia suka jualan jabatan selayaknya kacang goreng.
Kadang saya berfikir, apakah mereka akan hidup cukup lama untuk menikmati Rp. 2,3 trilyun yang mereka korupsi. Mereka bersandiwara. Mereka menyembunyikan Miryam. Mereka menekan Miryam. Lalu, dengan tampang tak berdosa, mereka mau pecahkan kaca yang memperburuk wajah-wajah berminyak mereka. Sebagian sudah retak. Disiramkan air keras ke kaca itu.
Mereka memainkan emosi rakyatnya. Mereka menghembuskan kebencian di udara hanya untuk sebuah jabatan yang tidak akan lama digengamnya. Keretakan yang terjadi di tengah khalayak sepertinya dia tidak perduli. Lalu setelah kursi itu dia dapatkan, dia mengajak rekonsiliasi. Apakah dia mengganggap semuanya ini tidak ada apa-apanya? Hanya sebatas sebuah perebutan kekuasaan? Yang bagi sekelompok sangat kecil bangsa ini, hanya sebuah permainan. Permainan para raksasa, yang kibasan anginnya sanggup menghilangkan rejeki jutaan orang Indonesia. Ya, jutaan pastinya. Bukankah anda tahu kekayaan 4 orang di negeri ini setara dengan kekayaan 100 juta orang lain?
Aku secara tak sengaja membaca sebuah buku tentang politik ekonomi negara ini sebelum pasca orde reformasi. Sungguh, mereka berusaha menggerogoti negara ini secara sah. Mereka menciptakan aturan-aturan yang memuluskan aksi pencurian mereka. Di daftar itu, ada nama-nama yang tidak asing bagi sebagian orang. Seseorang yang membuat beberapa perusahaan hanya untuk mendapatkan jatah yang lebih besar. Jatah mendatangkan beras. Jatah mendapatkan luas lahan hutan. Jatah untuk mendapatkan jumlah daging yang diimpor. Belum lagi perampokan dana reboisasi. Belum lagi tentang minyak. Tentang otomotif. Tepung Terigu, semuanya, semuanya mereka kuasai. Bahkan ada satu keluraga yang memiliki kekayaan hingga 15 milyar dolar Amerika Serikat, ini menurut IMF. Melihat angka-angkanya, miris rasanya. Mau tahu bukunya? Judulnya Ekonomi Politik dan Kebijakaan Publik, tulisan Bustanul Arifin dan Didik J. Rachbani. Bergetar jiwa membacanya.
Sialnya, ini masih terus berlanjut, hingga pipi mereka tembam dan perut mereka membengkak, menyimpan lipatan-lipatan ‘rejeki curang’ yang didapatkan dengan mengorbankan sepiring nasi dari jutaan anak di bawah tenda di ujung barat Indonesia sana hingga ujung Timur.
Mereka tidak peduli dengan penderitaan rakyat yang dari hari ke hari semakin sulit. Mereka ketakutan tidak akan makan besok hari. Padahal hartanya sangat luar biasa. Tetapi mereka masih terus menggerogoti tanpa perduli. Apakah lumbung-lumbung mereka tidak berdasar? Lalu untuk siapa harta yang mereka timbun itu? Untuk cucu-cucunya? Dia perduli dengan cucu-cucunya yang belum tentu akan dia lihat. Tetapi dia tidak perduli dengan nasib rakyat kebanyakan. Tuli betul nuranimu, hai para perampok negeri ini.
Padahal Indonesia sedang butuh segala sumber daya untuk membangun negeri ini. Negeri yang indah. Negeri yang besar. Negeri yang dipuja sebagai zamrud khatulistiwa. Tidak percaya. Baiklah, mungkin beberapa gambar akan bisa membangunkan kita bersama betapa indah dan luasnya Indonesia dan kayanya Indonesia. Carilah di Mbah Google. Sekelompok orang di sudut bumi sana saja terpesona dengan keindahan Danau Laut Tawar, Danau Toba, Danau Maninjau, Kelimutu, Dieng, senja di Kaimana, dan masih banyak lagi. Aku tidak sedang hapal, karena aku sedang menuliskan ini.
Tetapi, aku juga melihat, ternyata Indonesia hanya Jakarta. Lihatlah koran dan media sosial. Tidak ada yang banyak bercerita tentang sekolah-sekolah yang rusak diguncang gempa di Aceh pada Desember 2016 lalu. Tidak banyak yang bicara tentang banjir bandang yang meluluhlantakkan banyak rumah di Magelang, di Garut, di Padang dan masih banyak lagi. Jika mereka tidak membincangkan yang cukup dekat, apalagi berbincang tentang Wasior yang terkena air bah di 2010, di ujung Indonesia Timur sana.
Semuanya itu yang aku sebutkan di atas, hanya angka dan sekilas bagi mereka. Tidak berarti. Tidak menarik. Tidak seksi. Tidak mendatangkan nafsu dan air liur. Tetapi, untuk merebut istana dan mengguncang Jakarta, mereka rela berbulan-bulan membincangkannya. Busa di mulut sudah berkali dilap. Belek di mata sudah berulang kali dibasuh. Mereka masih betah berbicara mengenai Jakarta dan tentang merebut kekuasaan. Tentang Rp. 2200 trilyun APBN negeri ini. Tentang 850, mungkin sudah 1000 milyar dolar PDB. Berbicara sambil menikmati equil, dan alkohol, minuman yang mereka tolak di depan rakyatnya, karena katanya tidak sesuai dengan kultur bangsa. Sementara di meja-meja pertemuan mereka sajikan. Mereka sesap dengan nikmat, sambil mengelus dengkul mulus. Membayangkan aliran fulus masuk ke rekening-rekening tambun.
Jakarta hanya Indonesia dan Indonesia hanya Jakarta. Tidak ada keriuhan itu aku temukan di sebuah desa di Kecamatan Mane di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak ada keriuhan tentang perebutan kekuasaan di sebuah desa di Sikakap, Mentawai Sumatera Barat. Tidak ada keriuhan tentang ‘panasnya’ Jakarta di Teluk Wondamar di Papua Barat sana. Tidak ada kebisingan yang mengganggu jiwa di sebuah desa Randawaya di Distrik Teluk Ampimoi di Yapen Waropen sana. Apakah itu masih Indonesia/
Mereka tidak perduli dengan para mereka yang mengaku pemimpin yang sedang berebut kekuasaan. Terlebih lagi wakil-wakilnya di DPR sana yang sibuk dengan hak angket yang tidak jelas dan tidak bernalar. Hak angket direcehkan. Demi sebentuk kekuasaan dan keinginan serta nafsu duniawi mencuri uang rakyat. Mereka sangat kompak menggerogoti nasib dan daging rakyat Indonesia. Dan mereka masih meminta untuk dipanggil dengan terhormat. Palu begitu saja diketukkan, tanpa merasa itu layak atau tidak. Dimana nalarmu wahai ketua?
Dengan semua lakumu, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa pariah. Yang hanya mampu mengekspor tenaga kerja sangat kasar ke negara-negara lain. Yang ujungnya tidak menghargai para pekerja itu. Yang selanjutnya tidak menghargai negara ini. Lalu menyebut penduduk negara besar ini dengan ‘Indon’. Bahkan terdengar berita, rakyat sebuah negara menuntut seorang pria negaranya bebas dari hukum, padahal kesalahannya memperkosa perempuan Indonesia yang jadi pembantunya.
Saking rendahnya, sehingga kita selalu bangga menjadi teman seorang bule. Seorang bule kere sekalipun masih dianggap, karena bule selalu dianggap lebih hebat. Mereka bekerja seperti kita disini, tetapi selalu beda dengan kita. Mereka telah memandang kita rendah dan memandang diri mereka tinggi. Mereka mencap dirinya superior dan kita inferior. Mereka dihargai di negara ini sama dengan harga di negaranya. Kita di hargai sama dengan di negara kita jika kita bekerja di negara mereka. Yah, tidak sama persis memang, hanya lebih tinggi sedikit. Kita dibodohi, terpaksa kita terima. Karena pemimpin kita tidak perduli dengan mimpi-mimpi besar generasi muda bangsa ini. Sementara, para pemimpin itu menyuruh rakyatnya untuk bermimpi besar. Yah, bermimpi saja terus, mereka pemimpin munafik itu akan merebut kekayaan negeri ini dengan curang.
Lalu, pemimpin bangsa ini tidak perduli dengan kondisi ini. Tokh, bukan tentang anakku, bukan tentang saudaraku, bukan juga tentang cucuku yang menjadi cerita tentang pembantu di luar negeri sana. Memang, bukan saudara kandungmu, tetapi saudara sebangsamu, yang sangat miskin. Lalu, dengan lantang dia mengatakan kemenangan ini adalah kemenangan rakyat miskin. Berbusanya engkau menjual kemiskinan itu demi kekuasaan.
Lalu, untuk apa lagi menjadi Indonesia jika hanya dicap rendah. Coba lihat, cap apa saja yang diberikan kepada negara ini? Negara berkembang, negara dunia ketiga, negara dengan penduduk miskin besar. Lalu, mereka memuja kita untuk mabok lagi. Indonesia negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Lalu mereka mengambil kekayaan negara ini, karena ada pemimpin-pemimpin negara ini yang mau dikangkangi dan diangkat-angkat sehingga negeri ini tergadai.
Sia-sia kita bicara daya saing. Sia-sia kita bicara menjadi negara maju. Sia-sia kita bekerja menjadi negara dengan ekonomi termaju. Karena para virus itu masih ada. Virus di tempat teratas yang rela membius rakyatnya dengan kata-kata yang tidak berdasar. Mungkin karena mereka menganggap rakyatnya masih sangat bodoh. Pernah dengarkan ada calon pemimpin negeri ini yang mengatakan semua rakyat Indonesia bodoh. Hati-hati, dia mau mencalonkan lagi tampaknya untuk 2019.
Lalu dia berujar, ”Mari kita sekarang rekonsiliasi, semua sudah selesai. Saatnya membangun”. Lalu, dia akan ulangi lagi itu di tempat lain, ulangi lagi kericuhan di kota lain, dan setelah selesai dia akan berujar sama lagi. Baginya ini hanya permainan. Bagi rakyat ini soal hidup hari ini dan besok. Bagi dia, ini soal duit hampir seratus milyar yang tercecer ketika pertarungan pilkada itu. Bagi dia dan kelompoknya mudah saja mencap Ridwan Kamil didukung partai pendukung penista agama.
Bahkan ada pemimpin yang pernah bilang, rakyat tidak apa-apa kok, mereka masih tertawa. Padahal rakyat sedang diterjang banjir yang melumpuhkan ibu kota. Lalu ada orang berpelat nomor kecil di negeri ini yang bilang, kalo belum nginap di jalan berarti macetnya belum parah. Lalu mengatakan Indonesia perlu mobil murah dan hemat. Karena dia harus jualan mobil, atau mungkin sekondannya. Dia suka sekali meresmikan pameran mobil itu.
Mau berharap apa dengan pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Mereka yang menghalalkan segala cara untuk meraih tampuk kekuasaan. Bahkan jualan ajaran radikal dan intoleransi pun dilakukan. Dia tidak sadar, dia akan menjadi yang pertama ditebas, karena radikalisme dan intoleransi juga sedang mengincar kekuasaan. Mereka sedang menyelinap dalam nada-nada yang para pemimpin itu mainkan. Siap-siaplah, jika engkau mainkan lagu itu terus. Kemarin di Jakarta, besok di Jawa Barat. Lain waktu di tempat lain. Hingga istana itu mereka duduki.
Tapi beberapa hari ini karangan bunga mengalir ke Trunojoyo. “Pak Tito, tolong hentikan mereka”, sebuah suara di rangkaian bunga itu, “sebelum mereka menghentikan negara tercinta ini”. Negara ini adalah negara Pancasila, yang telah dibentuk dengan derai air mata dan darah para pejuang bangsa ini. “Pak Tito, jangan biarkan mereka menebas keragaman di negara ini’, nada tercekat pedih merasa bangsa yang hendak diberangus. Negara yang kaya dan beraneka, selayaknya menjadi negara maju di kemudian hari. Jika tidak dihentikan, maka siaplah menyambut pecahan-pecahan bangsa ini dan semuanya menjadi sebuah kesia-siaan.
Pak Tito, bantulah Pak Jokowi menebas para pencuri uang rakyat itu. Kami masih ingin bangsa ini utuh, tanpa para pencuri-pencuri itu, tanpa para penjual radikalisme dan intoleransi itu. Tolonglah Pak Gatot. Jika kalian berdua memalingkan wajah dari Pak Jokowi, hendak kemana lagi negeri ini akan mengadu. Lalu, bagaimana lagi lagu Indonesia Raya akan kami nyanyikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H