Tetapi, aku juga melihat, ternyata Indonesia hanya Jakarta. Lihatlah koran dan media sosial. Tidak ada yang banyak bercerita tentang sekolah-sekolah yang rusak diguncang gempa di Aceh pada Desember 2016 lalu. Tidak banyak yang bicara tentang banjir bandang yang meluluhlantakkan banyak rumah di Magelang, di Garut, di Padang dan masih banyak lagi. Jika mereka tidak membincangkan yang cukup dekat, apalagi berbincang tentang Wasior yang terkena air bah di 2010, di ujung Indonesia Timur sana.
Semuanya itu yang aku sebutkan di atas, hanya angka dan sekilas bagi mereka. Tidak berarti. Tidak menarik. Tidak seksi. Tidak mendatangkan nafsu dan air liur. Tetapi, untuk merebut istana dan mengguncang Jakarta, mereka rela berbulan-bulan membincangkannya. Busa di mulut sudah berkali dilap. Belek di mata sudah berulang kali dibasuh. Mereka masih betah berbicara mengenai Jakarta dan tentang merebut kekuasaan. Tentang Rp. 2200 trilyun APBN negeri ini. Tentang 850, mungkin sudah 1000 milyar dolar PDB. Berbicara sambil menikmati equil, dan alkohol, minuman yang mereka tolak di depan rakyatnya, karena katanya tidak sesuai dengan kultur bangsa. Sementara di meja-meja pertemuan mereka sajikan. Mereka sesap dengan nikmat, sambil mengelus dengkul mulus. Membayangkan aliran fulus masuk ke rekening-rekening tambun.
Jakarta hanya Indonesia dan Indonesia hanya Jakarta. Tidak ada keriuhan itu aku temukan di sebuah desa di Kecamatan Mane di Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak ada keriuhan tentang perebutan kekuasaan di sebuah desa di Sikakap, Mentawai Sumatera Barat. Tidak ada keriuhan tentang ‘panasnya’ Jakarta di Teluk Wondamar di Papua Barat sana. Tidak ada kebisingan yang mengganggu jiwa di sebuah desa Randawaya di Distrik Teluk Ampimoi di Yapen Waropen sana. Apakah itu masih Indonesia/
Mereka tidak perduli dengan para mereka yang mengaku pemimpin yang sedang berebut kekuasaan. Terlebih lagi wakil-wakilnya di DPR sana yang sibuk dengan hak angket yang tidak jelas dan tidak bernalar. Hak angket direcehkan. Demi sebentuk kekuasaan dan keinginan serta nafsu duniawi mencuri uang rakyat. Mereka sangat kompak menggerogoti nasib dan daging rakyat Indonesia. Dan mereka masih meminta untuk dipanggil dengan terhormat. Palu begitu saja diketukkan, tanpa merasa itu layak atau tidak. Dimana nalarmu wahai ketua?
Dengan semua lakumu, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa pariah. Yang hanya mampu mengekspor tenaga kerja sangat kasar ke negara-negara lain. Yang ujungnya tidak menghargai para pekerja itu. Yang selanjutnya tidak menghargai negara ini. Lalu menyebut penduduk negara besar ini dengan ‘Indon’. Bahkan terdengar berita, rakyat sebuah negara menuntut seorang pria negaranya bebas dari hukum, padahal kesalahannya memperkosa perempuan Indonesia yang jadi pembantunya.
Saking rendahnya, sehingga kita selalu bangga menjadi teman seorang bule. Seorang bule kere sekalipun masih dianggap, karena bule selalu dianggap lebih hebat. Mereka bekerja seperti kita disini, tetapi selalu beda dengan kita. Mereka telah memandang kita rendah dan memandang diri mereka tinggi. Mereka mencap dirinya superior dan kita inferior. Mereka dihargai di negara ini sama dengan harga di negaranya. Kita di hargai sama dengan di negara kita jika kita bekerja di negara mereka. Yah, tidak sama persis memang, hanya lebih tinggi sedikit. Kita dibodohi, terpaksa kita terima. Karena pemimpin kita tidak perduli dengan mimpi-mimpi besar generasi muda bangsa ini. Sementara, para pemimpin itu menyuruh rakyatnya untuk bermimpi besar. Yah, bermimpi saja terus, mereka pemimpin munafik itu akan merebut kekayaan negeri ini dengan curang.
Lalu, pemimpin bangsa ini tidak perduli dengan kondisi ini. Tokh, bukan tentang anakku, bukan tentang saudaraku, bukan juga tentang cucuku yang menjadi cerita tentang pembantu di luar negeri sana. Memang, bukan saudara kandungmu, tetapi saudara sebangsamu, yang sangat miskin. Lalu, dengan lantang dia mengatakan kemenangan ini adalah kemenangan rakyat miskin. Berbusanya engkau menjual kemiskinan itu demi kekuasaan.
Lalu, untuk apa lagi menjadi Indonesia jika hanya dicap rendah. Coba lihat, cap apa saja yang diberikan kepada negara ini? Negara berkembang, negara dunia ketiga, negara dengan penduduk miskin besar. Lalu, mereka memuja kita untuk mabok lagi. Indonesia negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Lalu mereka mengambil kekayaan negara ini, karena ada pemimpin-pemimpin negara ini yang mau dikangkangi dan diangkat-angkat sehingga negeri ini tergadai.
Sia-sia kita bicara daya saing. Sia-sia kita bicara menjadi negara maju. Sia-sia kita bekerja menjadi negara dengan ekonomi termaju. Karena para virus itu masih ada. Virus di tempat teratas yang rela membius rakyatnya dengan kata-kata yang tidak berdasar. Mungkin karena mereka menganggap rakyatnya masih sangat bodoh. Pernah dengarkan ada calon pemimpin negeri ini yang mengatakan semua rakyat Indonesia bodoh. Hati-hati, dia mau mencalonkan lagi tampaknya untuk 2019.
Lalu dia berujar, ”Mari kita sekarang rekonsiliasi, semua sudah selesai. Saatnya membangun”. Lalu, dia akan ulangi lagi itu di tempat lain, ulangi lagi kericuhan di kota lain, dan setelah selesai dia akan berujar sama lagi. Baginya ini hanya permainan. Bagi rakyat ini soal hidup hari ini dan besok. Bagi dia, ini soal duit hampir seratus milyar yang tercecer ketika pertarungan pilkada itu. Bagi dia dan kelompoknya mudah saja mencap Ridwan Kamil didukung partai pendukung penista agama.
Bahkan ada pemimpin yang pernah bilang, rakyat tidak apa-apa kok, mereka masih tertawa. Padahal rakyat sedang diterjang banjir yang melumpuhkan ibu kota. Lalu ada orang berpelat nomor kecil di negeri ini yang bilang, kalo belum nginap di jalan berarti macetnya belum parah. Lalu mengatakan Indonesia perlu mobil murah dan hemat. Karena dia harus jualan mobil, atau mungkin sekondannya. Dia suka sekali meresmikan pameran mobil itu.