Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngopi di Kafe Memperpanjang Malam di Bireuen

22 April 2017   21:48 Diperbarui: 23 April 2017   07:00 1877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Taufik berani mengambul risiko karena keyakinannya bahwa ini akan berkembang. Pemahaman bahwa hal-hal baru akan menarik minat coba dijabarkan di bisnis kafenya. Saat ini saja di Bireuen, kota yang relatif kecil, sudah ada 12 kafe sejenis. Menurut Taufik masyarakat yang terpapar informasi yang sangat masif, pasti ingin mengikuti trend yang terjadi kota-kota besar.

Taufik, yang pernah bekerja di kafe di Banda Aceh juga yakin, kafenya akan berkembang meskipun persaingan meningkat. Pelanggannya tidak terbatas pada anak muda. Orang tua juga menjadi bagian dari kafenya. Tampak memang malam itu, pelanggan yang datang tidak hanya anak muda, tetapi keluarga dan orang tua juga hadir.

Zulfan, seorang konsultan dari Banda Aceh yang malam itu ditemui di kafe D’Coffee Break, menuturkan bahwa informasi yang luas tentang kota-kota besar juga mempengaruhi cara pandang dan gaya hidup generasi muda Bireuen. Warung kopi tradisional akan tetap ada karena itu menjadi langganan orang tua. Tetapi, anak-anak muda akan menyerbu kafe-kafe yang jumlahnya bertambah terus setiap tahun.

“Pilihan tempat hiburan yang sangat sedikit juga menjadi pendorong berkembangnya gaya hidup berkafe ini” tambah Zulfan. Rekannya yang datang bersamanya mengamininya.  

Perempuannya Pun Ngafe

Ica dan rekan-rekannya menikmati kopi dan menghabiskan malam di kafe yang semakin menjamur di Bireuen. Foto: Rinsan Tobing
Ica dan rekan-rekannya menikmati kopi dan menghabiskan malam di kafe yang semakin menjamur di Bireuen. Foto: Rinsan Tobing
Di samping proses tradisional dan modernnya, ada satu pemandangan yang menarik malam itu.  Di malam yang sudah agak larut itu, sekelompok perempuan masih asyik menikmati kopi. Senda guraunya bisa terdengar. Lengkap dengan gadget-nya, mereka asyik berbagi cerita di kafe itu.

Pemandangan itu tak ayal menarik perhatian. Terutama untuk mereka yang berasal dari luar Aceh. Keberadaan pelanggan perempuan itu juga menarik perhatian penulis. Tidak biasa melihat perempuan nangkring di kafe malam-malam di Aceh, apalagi di Bireuen.

Ica, salah satu pelanggan perempuan itu, mengatakan dia terbiasa dengan kopi sejak dulu. Dia yang datang dengan tiga rekan wanitanya itu menjelaskan bahwa kebiasaan itu sudah lama dilakoninya. Sejak mahasiswa di Banda Aceh, kebiasaan ngopi di kafe sering dilakukannya. Kafe juga menjadi tempat mengerjakan tugas-tugas kampus.

“Orang tua tidak melarang” ujar Ica ketika ditanya mengapa sudah larut tetapi masih di kafe. “Orang tua sudah maklum, kok” tambahnya lagi. Seorang rekannya yang juga teman sekantor Ica menyampaikan bahwa ngopi-ngopi di kafe sesuatu yang rutin dilakukan. Malam tidak menjadi penghalang. Di samping masyarakat juga sudah terbiasa, waktu yang mereka miliki juga hanya malam.  “Siangnya harus bekerja” tukas Ica, yang baru setahun bekerja di sebuah bank di kota kelahirannya itu.  

Faktor yang melahirkan kebiasaan ngopi di kafe juga sama seperti disampaikan sebelumnya, yakni kurangnya tempat hiburan. Sementara itu kebiasaan mengikuti trend kota besar juga faktor pendorong lainnya. Ica dan rekan-rekannya mengaku kalau mereka mengikut trend-trend di kota-kota besar lainnya. Informasi sudah sangat mudah didapatkan. Masyarakat pun memandang wajar saja jika perempuan yang nangkring di kafe malam hari dan cukup larut.

Malam itu sudah semakin malam. Malam yang panjang di kafe D’Coffee Break juga menandakan sebuah kehidupan yang berubah di kota kecil itu.  Pada masa konflik, Bireuen adalah salah satu kota yang sangat terdampak. Kehidupan mati. Hari dimulai jam 08.00 ketika matahari sudah relatif tinggi. Pada jam 05 petang, kota sudah sangat sepi. Masyarakat tidak berani keluar rumah jika tidak benar-benar diperlukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun