Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngopi di Kafe Memperpanjang Malam di Bireuen

22 April 2017   21:48 Diperbarui: 23 April 2017   07:00 1877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kafe ini masih ramai di Jumat malam 31 Maret 2017. Pengunjung sebagian besar anak-anak muda Bireuen. Foto: Rinsan Tobing


Jarum jam sudah menunjukkan angka 22.44. Suasana di kafe itu masih ramai. Seluruh meja dan kursi yang tersedia masih penuh. Semua penggemar kopi seperti berkumpul di kafe itu. Pelanggan datang berkelompok. Masing-masing menikmati suasana yang tersaji malam itu. Angin sudah mulai dingin. Tetapi suasana tidak kunjung mereda. Hangat, dengan alunan musik khas kafe dan riuhnya gelak tawa serta suara-suara dari mereka yang berbincang.  

Sekelompok remaja, yang belakangan diketahui komunitas fotografi, masih asyik membicarakan sesi foto berikutnya. Terdengar dari suara keras yang meluncur. Di sudut lain, beberapa anak muda menikmati waktu sendiri dengan laptop masing-masing. Memanfaatkan jaringan internet nirkabel yang disediakan kafe secara gratis. Ini salah satu trik kafe untuk menarik lebih banyak pelanggan.

Jika suasana itu di kota-kota besar, sebutlah Yogyakarta, Jakarta dan Bandung, maka akan nampak wajar saja. Tetapi pemandangan itu ada di kafe D’Coffee Break di Bireuen, Gayo, Aceh. Kafe ini berupa bangunan dua ruko yang digabungkan.

Interior dan meja serta kursinya meniru kafe-kafe pada umumnya. Meja dan kursi kayu berwarna coklat muda dikombinasikan dengan dinding dan plafon yang ‘raw’. Dinding hanya di cat hitam dan putih ‘pecah’. Lalu grafittidengan pesan-pesan tentang kopi menghiasi dinding. Gambar-gambar abstrak juga turut memberi suasana kafe yang cenderung hidup.  

Menariknya, kafe ini menggabungkan konsep tradisional dan modern dalam proses pengolahan kopi. Pengolahan tradisional artinya menggunakan kopi saring yang khas Aceh. Dulu sekali para pekerja NGO yang bekerja di Aceh pasca tsunami menyebutnya kopi kaus kaki. Saringannya panjang dan kopi yang direbus dilewatkan melalui ‘kaus kaki’ ini. Proses modernnya menggunakan mesin expresso layaknya kafe-kafe di kota besar. Jajanannya juga sangat tradisional.

Kombinasi trandisional dan modern ini justru memberikan daya tarik sendiri. Soal harga, jangan ditanya. Untuk ukuran kantong orang Jakarta, sangat murah. Variasi kopi, sangat lengkap. Di menunya tertera 60 jenis minuman. Sebagian besarnya kopi dan olahannya. Sebagian kecil minuman teh dan coklat.

Kopi Robusta diproses dengan cara tradisional. Sementara kopi Arabika diproses dengan mesin expresso. Proses kombinasi ini melahirkan dua jenis minuman sanger. Sanger dengan kopi Robusta yang cenderung encer, seperti kopi Aceh pada umumnya. Sementara sanger Arabika diproses dengan mesin. Sanger dipastikan selalu ada di setiap kedai kopi di Aceh. Minuman berupa kopi yang dicampur susu.

Sanger Arabika dan sanger Robusta. Proses tradisional dan modern dikombinasikan di kafe ini. Foto; RInsan Tobing
Sanger Arabika dan sanger Robusta. Proses tradisional dan modern dikombinasikan di kafe ini. Foto; RInsan Tobing
Sudah sejak lama, fenomena meminum kopi memang menjadi ikon aktivitas masyarakat Aceh. Tetapi ikon aktivitas orang tua saja. Orang tua biasanya memulai hari dengan minum kopi. Meskipun sudah ngopi di rumah, kunjungan ke kedai kopi tetap menjadi sebuah kewajiban. Kewajiban di pagi hari dan sore hari. Wajar saja kedai kopi sangat menjamur di Aceh. Tetapi, meminum kopi di kafe seperti di kota-kota besar lainnya, masih relatif baru. Terlebih di Bireuen.

Bireuen Berkafe

Jika di Aceh pasca tsunami kafe sudah mulai berkembang, di Bireuen sendiri baru mulai. Taufik, pemilik kafe D’Coffee Break yang sekaligus barista kopi tradisional menjelaskan bahwa usahanya baru berumur satu tahun. Menghadirkan minum kopi dengan konsep kafe meniru kota besar merupakan tindakan berani. Taufik berpartner dengan rekannya yang juga menjadi barista untuk proses kopi modern.

Taufik berani mengambul risiko karena keyakinannya bahwa ini akan berkembang. Pemahaman bahwa hal-hal baru akan menarik minat coba dijabarkan di bisnis kafenya. Saat ini saja di Bireuen, kota yang relatif kecil, sudah ada 12 kafe sejenis. Menurut Taufik masyarakat yang terpapar informasi yang sangat masif, pasti ingin mengikuti trend yang terjadi kota-kota besar.

Taufik, yang pernah bekerja di kafe di Banda Aceh juga yakin, kafenya akan berkembang meskipun persaingan meningkat. Pelanggannya tidak terbatas pada anak muda. Orang tua juga menjadi bagian dari kafenya. Tampak memang malam itu, pelanggan yang datang tidak hanya anak muda, tetapi keluarga dan orang tua juga hadir.

Zulfan, seorang konsultan dari Banda Aceh yang malam itu ditemui di kafe D’Coffee Break, menuturkan bahwa informasi yang luas tentang kota-kota besar juga mempengaruhi cara pandang dan gaya hidup generasi muda Bireuen. Warung kopi tradisional akan tetap ada karena itu menjadi langganan orang tua. Tetapi, anak-anak muda akan menyerbu kafe-kafe yang jumlahnya bertambah terus setiap tahun.

“Pilihan tempat hiburan yang sangat sedikit juga menjadi pendorong berkembangnya gaya hidup berkafe ini” tambah Zulfan. Rekannya yang datang bersamanya mengamininya.  

Perempuannya Pun Ngafe

Ica dan rekan-rekannya menikmati kopi dan menghabiskan malam di kafe yang semakin menjamur di Bireuen. Foto: Rinsan Tobing
Ica dan rekan-rekannya menikmati kopi dan menghabiskan malam di kafe yang semakin menjamur di Bireuen. Foto: Rinsan Tobing
Di samping proses tradisional dan modernnya, ada satu pemandangan yang menarik malam itu.  Di malam yang sudah agak larut itu, sekelompok perempuan masih asyik menikmati kopi. Senda guraunya bisa terdengar. Lengkap dengan gadget-nya, mereka asyik berbagi cerita di kafe itu.

Pemandangan itu tak ayal menarik perhatian. Terutama untuk mereka yang berasal dari luar Aceh. Keberadaan pelanggan perempuan itu juga menarik perhatian penulis. Tidak biasa melihat perempuan nangkring di kafe malam-malam di Aceh, apalagi di Bireuen.

Ica, salah satu pelanggan perempuan itu, mengatakan dia terbiasa dengan kopi sejak dulu. Dia yang datang dengan tiga rekan wanitanya itu menjelaskan bahwa kebiasaan itu sudah lama dilakoninya. Sejak mahasiswa di Banda Aceh, kebiasaan ngopi di kafe sering dilakukannya. Kafe juga menjadi tempat mengerjakan tugas-tugas kampus.

“Orang tua tidak melarang” ujar Ica ketika ditanya mengapa sudah larut tetapi masih di kafe. “Orang tua sudah maklum, kok” tambahnya lagi. Seorang rekannya yang juga teman sekantor Ica menyampaikan bahwa ngopi-ngopi di kafe sesuatu yang rutin dilakukan. Malam tidak menjadi penghalang. Di samping masyarakat juga sudah terbiasa, waktu yang mereka miliki juga hanya malam.  “Siangnya harus bekerja” tukas Ica, yang baru setahun bekerja di sebuah bank di kota kelahirannya itu.  

Faktor yang melahirkan kebiasaan ngopi di kafe juga sama seperti disampaikan sebelumnya, yakni kurangnya tempat hiburan. Sementara itu kebiasaan mengikuti trend kota besar juga faktor pendorong lainnya. Ica dan rekan-rekannya mengaku kalau mereka mengikut trend-trend di kota-kota besar lainnya. Informasi sudah sangat mudah didapatkan. Masyarakat pun memandang wajar saja jika perempuan yang nangkring di kafe malam hari dan cukup larut.

Malam itu sudah semakin malam. Malam yang panjang di kafe D’Coffee Break juga menandakan sebuah kehidupan yang berubah di kota kecil itu.  Pada masa konflik, Bireuen adalah salah satu kota yang sangat terdampak. Kehidupan mati. Hari dimulai jam 08.00 ketika matahari sudah relatif tinggi. Pada jam 05 petang, kota sudah sangat sepi. Masyarakat tidak berani keluar rumah jika tidak benar-benar diperlukan.

Tetapi, malam Sabtu dan malam berikutnya, menjelang tengah malam di penghujung Maret 2017 di Kafe D’Coffee Break menggambarkan suasana yang berbeda. Kopi dengan berbagai olahannya dan pengunjung yang beragam; orang tua, keluarga, anak muda termasuk perempuan menyajikan suasana yang hidup khas kota besar di sebuah kota kecil.

Pesanan kopi masih mengalir. Pelayan masih sibuk memberikan daftar menu ke pelanggan yang masih berdatangan. Tampaknya kopi menjadi sebentuk ‘kehidupan’ yang memperpanjang malam di Bireuen.

Dingin yang mulai menusuk, di malam yang larut, kami beringsut. Suasana kafe masih ramai. Toko disebelah kafe sudah mulai menutup pintunya. Katanya, malam panjang itu bisa hingga jam 02 subuh. Untuk yang masih di kafe itu, rasanya kopi itu menghentikan waktu dan malam-malam pun semakin tidak berujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun