“Terimakasih telah membawa kami ke tempat seindah ini. Saya tidak pernah membayangkan bahwa negeri Anda sangat cantik dan indah”. Ucapan itu mengalir begitu saja dari Mulut Jitendra Bothara. Seorang konsultan dari New Zealand yang berkunjung ke Danau Laut Tawar di Takengon, Aceh Tengah. Sambil menatap jauh ke ujung-ujung danau. Melihat bukit yang membiru di kejauhan. Air yang jernih memantulkan warna langit yang biru, ditingkahi awan-awan putih. Awan-awan yang melengkapi keindahan alam. Awan-awan yang menyajikan drama kedamaian.
Ekspresi sama disampaikan oleh Deepansh Khaturia, seorang India yang telah lama tinggal di Amerika. Kesempatan sehari libur dari pekerjaan selama 9 hari di Aceh dimanfaatkannya. Sambil melempar batu di permukaan air yang tenang, dia menyampaikan kekagumannya akan keindahan Danau Laut Tawar. Pemandangan yang indah, udara yang sejuk. Pohon-pohon yang masih rapat melengkapi keindahannya. “Negara anda sangat besar. Pastinya banyak sekali keindahan di sana-sini. Danau Laut Tawar ini tentunya hanya salah satunya”. Begitu dia menyatakan kekagumannnya.
Keindahan alam yang disajikan orkestrasi Danau Laut Tawar, perbukitan yang mengelilingi, ketinggian yang menyejukkan di Takengon itu, tidak kalah dengan Hallstatt dan Danau Hallstatt di Austria sana. Danau yang dikelilingi pegunungannya yang indah memukau. Jiwa serasa melayang melihat keindahan yang disajikan alam. Air yang tenang memanggil-manggil untuk menyelaminya kedalamannya.
Keindahan yang ditawarkan kota yang berada di ketinggian 1.300 meter dari permukaan laut itu, juga tidak kalah dari Montreux dengan Lake Geneva-nya. Keindahan Montreux dan Lake Geneva-nya telah terkenal ke berbagai mancanegara. Keindahan Montreux ini berhasil menarik jutaan kunjungan wisatawan asing. Pemandangan yang sempurna dan fasilitas yang menunjang menjadi kombinasi yang menjadikan Montreux sebagai tujuan wisata bagi banyak orang.
Meskipun Takengon dengan Danau Laut Tawar-nya tidak kalah dengan Hallstatt dengan Hallstatt Lake-nya serta Montreux dengan Lake Geneva-nya, tetapi, nasib kedua kota di Eropa itu dengan Takengon berbeda. Takengon masih belum terjamah. Mungkin sudah pernah dijamah, tetapi kemudian mati. Setidaknya ini terlihat dari hotel yang cukup besar di tepi danau, Renggali, yang tampak mati suri.
Takengon dan Danau Laut Tawar
Takengon yang terletak di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah menawarkan segala sesuatu yang bisa ditawarkan Hallstatt dan Montreux dalam bentuk mentahnya. Keindahan alam yang masih alami, dengan danau Laut Tawar yang jernih dan belum terkontaminasi. Pemandangan yang indah dari titik-titik tertentu memberikan sensasi yang relatif sama.
Keindahannya sangat luar biasa. Airnya masih jernih. Danau ini tidak dikotori dengan keramba-keramba yang mengakibatkan kondisi danau menjadi kotor dan tidak layak dinikmati. Belum terjadi kerusakan di sekitar danau. Pinggir-pinggir danau masih alami dan pohon-pohon pinus masih tumbuh dengan rapat.
Danau Laut Tawar memberikan cerita sendiri. Meskipun hanya danau, penduduk setempat mengatakannya laut. Menjadi aneh ketika menyatukan kata danau dan laut.
Ketika nama ini yang dalam bahasa daerah disebut Lut Tawar ditanyakan asal-usulnya, Lena dan anaknya Elena, pemilik salah satu rumah makan di pinggiran Danau Laut Tawar, agak bingung. Padahal mereka penduduk setempat.
Hanya saja memang, dalam pandangan masyarakat kumpulan air itu sangat luas, maka disebut laut. Danau Laut Tawar sendiri dapat dikelilingi dengan mobil selama 2 jam perjalanan. Tidak sebanding dengan Danau Toba yang membutuhkan setidaknya 12 jam untuk mengelilingi pulau Samosirnya saja. Luasnya kurang lebih 5.472 hektare dengan panjang 17 km dan lebar 3,219 km.
Akan tetapi kelihatan, potensi ekonomi berupa wisata belum diramu. Banyaknya kunjungan ke suatu tempat tidak terlepas dari cara pengemasaannya. Banyak tempat yang sebenarnya sedikit atau bahkan tidak memiliki potensi, tetapi dengan cara yang tepat untuk berpromosi, banyak juga wisatawan datang.
Sebut saja Bandung dan Yogyakarta yang banyak dikunjungi wisatawan. Cerita dan tempatnya diramu sedemikian rupa sehingga menarik. Dengan menargetkan wisatawannya, maka diciptakanlah bentuk-bentuk dan benda-benda tambahan yang menarik.
Bukit-bukit yang mengelilingi Takengon dan Danau Laut Tawar tentunya bisa diciptakan menjadi lokasi wisata yang menarik. Mendaki bukit di Takengon bisa menjadi satu pilihan wisata. Sangat banyak titik-titik yang bisa didatangi untuk menikmati keindahan danau dan kota ini dari ketinggian. Tempat-tempat berkemah bisa diciptakan. Jalur-jalur tracking bisa diciptakan. Kebun-kebun bisa dibentuk. Cerita bisa dirangkai.
Dari fasilitas yang tersedia, belum banyak yang berkunjung. Sementara jalan menuju Panten Terong sudah beraspal mulus. Tetap saja, masyarakat masih enggan datang. Mungkin karena selain melihat pemandangn kota Takengon dan Danau Laut Tawar, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Perlu diberikan sentuhan. Permaian-permainan luar ruang pasti menarik minat masyarakat.
Masih dari ketinggian Panten Terong, di sisi sebelah kanan kelihatan daerah Bener Meriah, yang dibatasi bukit dengan Takengon. Lembah hijau membentang memanjakan mata. Sejauh mata memandang, yang tersaji adalah keindahan alam yang menunggu untuk dieksplorasi.
Atraksi lain yang dapat dinikmati wisawatan di Takengon adalah pacuan kuda. Pacuan kuda yang mirip dengan pacuan jawi di Padang. Jokinya anak-anak kecil berusia sekolah dasar dengan kuda lokal. Pertandingan di laksanakan dua kali setahun. Pelaksanaan pacuan kuda dilakukan untuk memperingati ulang tahun Kota Takengon yang jatuh di setiap bulan Februari. Setiap perayaan hari kemerdekaan, pacuan kuda ini juga menjadi atraksi yang dinanti-nanti pengunjung. Dua bulan itu menjadi waktu yang banyak dikunjungi masyarakat.
Menikmati daerah wisata tentunya tidak lengkap jika tidak ada makanan yang lezat. Makanya yang tersedia memang tidak beragam. Makanan lokal, sama saja dengan makanan pada umumnya dengan olahan makanan bercampur santan. Sesuatu yang lazim di Sumatera. Tetapi menikmati ikan bakar di tepi Danau Laut Tawar menyemaikan sensasi tersendiri. Ikan bakar dan goreng serta nasi yang hangat, menjamin nikmatnya makan sembari angin dari danau membelai tubuh. Ikan yang dibudidayakan di keramba, rasanya lezat dan tidak berbau lumpur.
Ibu Lena, salah satu pemilik warung menceritakan, bahwa kunjungan wisatawan ramai di akhir pekan saja. Di hari-hari biasa, kunjungan ke warungnya hanya dari pegawai kantor yang ada di kota Takengon. Tetapi, melihat hanya ada dua warung makan dengan sajian ikan bakar itu, tampaknya tidak banyak yang datang, bahkan di akhir pekan sekalipun.
Kopi Gayo dan Keindahan
Keindahan yang ditawarkan ketinggian Takengon dan Danau Laut Tawar menjadi semakin sempurna dengan kopi Gayo. Daerah dataran tinggi Gayo memang sangat terkenal dengan kopinya. Coba rasakan segelas kopi Arabika ekspresso di sebuah ketinggian sambil memandang permukaan danau yang tenang. Sementara di ujung sana kerlap-kerlip lampu-lampu tampak dari rumah-rumah di pinggiran danau.
Bisa juga menikmati olahan kopi Arabika dan Robusta Gayo di tepi danau. Dengan udara yang sejuk, air yang dingin, dan secangkir kopi tentunya bisa menjadi sebuah suasana yang layak di jual. Sensasi minum kopi Gayo yang nikmat di tepi danau tentunya akan menarik banyak wisatawan.
Dengan banyaknya kebun kopi, wisata kebun kopi bisa juga menjadi pilihan. Dengan ketinggian seperti itu, bisa disamakan dengan Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah atau Lembang di Bandung, tentunya banyak argowisata yang bisa ditawarkan dan dikembangkan.
Wisata berkebun, memetik strawberry, menikmati alam di gubuk-gubuk seperti di Iboih, Sabang bisa disajikan asalkan dengan pengelolaan yang baik. Tidak perlu sesuatu yang mewah dan luar biasa seperti di Hallstatt dan Montreux, Takengon pasti menarik hati para pelancong.
Kendalanya masih soal akses. Untuk sampai ke Takengon diperlukan perjalanan 2,5 jam dari Bireuen. Sementara dari Banda Aceh sendiri bisa 7-8 jam berkendara. Jika mau terbang, ada penerbangan langsung dari Medan dengan menggunakan Wings Air. Waktu terbang satu jam.
Sebenarnya Takengon, Danau Laut Tawarnya, bukit-bukitnya, bentang alamnya berorkestrasi menciptakan keindahan yang luar biasa. Hanya bisa dinikmati ketika didatangi, tidak lewat gambar. Takengon, kota yang sudah berusia 440 tahun ini, sudah sewajarnya menjadi salah satu keindahan dari seribu tempat yang wajib dikunjungi sebelum mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H