Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gembel, Mimpinya Tidak Seperti Namanya (Bagian 2)

14 April 2017   21:57 Diperbarui: 15 April 2017   07:00 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penanda Seladang Cafe hanyalah sebentuk papan ini, sangat mudah terlewatkan di kerumunan pohon-pohon. Sumber: Rinsan Tobing

Menyesap aroma kopi Arabika, mungkin sudah biasa. Tapi, jika menyesapnya di tengah kebun kopi, di sejuknya udara pengunungan, jauh dari kota, tentu memberikan sensasi tersendiri. Suasana menikmati kopi seperti itulah yang dirasakan di Seladang Café. Café yang terletak di ketinggian 1.230 meter dari permukaan laut. Kafe yang berjarak jauh dari Takengon dan Bireuen di Aceh. 

Sore hari itu di Seladang Café, sudah menjelang gelap, pengunjung warung kopi yang unik ini belum juga beringsut dari tempatnya. Padahal udara semakin dingin. Matahari sudah mulai beringsut, memberikan tempat bagi malam. Kursi-kursi masih terisi penuh. Pondok-pondok juga terisi.

Di salah satu meja terlihat satu keluarga menikmati kopi dengan penganan yang disediakan.  Di sudut lain, sekelompok pemuda bersenda gurau sambil menikmati berbagai sajian kopi. Meskipun malam mulai menjelang, pengunjung masih datang saja. Mobil berbaris begitu saja di jalan aspal yang mulus. Tidak ada lahan parkir disediakan.

Beberapa pengujung yang ditemui mengaku menikmati minum kopi di tempat ini. Boy, salah seorang pengunjung, mengaku suka membawa temannya ke tempat ini. Tempat ini bahkan telah lama didengarnya. Boy, seorang konsultan perencana di kota Banda Aceh, mengaku menyukai suasana alam yang disajikan. Udaranya yang sejuk dan dingin menciptakan kesempurnaan suasana minum kopi. Jarak tidak menyurutkan langkahnya untuk menikmati kopi di Seladang Café ini.

Pengujung lain bernama Mirna, seorang mahasiswa dari Bireuen. Mirna memang baru pertama kali ke tempat ini. Informasi tentang Café Seladang dan kenikmatan kopinya telah lama didengarnya. Dengan teman lelakinya, dia datang mengendarai motor dari Bireuen yang berjarak 84 kilometer. Nama Seladang Café dan rasa kopi dan suasana yang digambarkan temannya, telah menariknya untuk datang.

Menu minuman kopi yang disajikan berbagai macam dan rasa. Sebenarnya standar warung kopi dimana pun. Ada Capucino, Americano, Espresso, Cold Brew, Vietnam Drip Wine dan tentunya sanger. Sanger adalah minuman khas Aceh. Di setiap kafe atau warung kopi di Aceh, dapat dipastikan sanger ada di daftar menu. Sebenarnya sanger ini hanya campuran kopi dan susu.

Minuman-minuman itu disajikan bersama dengan jajanan ringan seperti kacang, keripik dan gutel. Gutel merupakan jajanan rakyat khas kampung itu. Bentuknya seperti kapsul. Berukuran dua kali jempol orang dewasa. Gutel ini terbuat dari tepung beras dicampur gula merah dan dikukus. Lalu dilumuri kelapa muda. Rasanya manis dan agak kesat karena tepung berasnya. Gutel selalu disajikan berpasangan dan diikat dengan daun pandan. Daun pandan menambah aroma wangi gutel yang berwarna kecoklatan oleh gula merah.

Barista muda Yanti, seorang perempuan yang masih saudara Gembel, menyajikan berbagai olahan kopi baik dari kopi hasil olahan sendiri maupun olahan petani lainnya. Kemampuannya mengolah berbagai minuman kopi dengan cara tradisional dan menggunakan mesin didapatkan dari belajar secara otodidak. Sama dengan Gembel, ketika memulai bisnis pemberdayaan ini. Tidak memiliki pengetahuan sama sekali.

Karyawan lain yang tugasnya sebagai waiter juga direkrut dari kampung sendiri. Mereka dilatih untuk melayani tamu. Melihat jaraknya yang jauh dari mana-mana, Gembel dan karyawannya tidak tinggal di kafenya. Hanya seorang karyawan yang tinggal setiap harinya. Seladang Café dibiarkan saja terbuka begitu saja.

Salah satu andalan Seladang adalah Winey Coffee. Kopi Arabika dengan aroma dan rasa wine. Ketika disuguhkan sedikit sebagai sajian perkenalan, rasa anggur memang mampir di ujung tenggorokan. Aroma anggur mampir di indera penciuman. Kenikmatan rasa dan aroma itu ternyata memiliki proses yang panjang. Proses yang membutuhkan sebuah perjuangan. Setidaknya dilihat dari kacamata awam.  

Untuk mendapatkan Winey Coffee ini, prosesnya memakan waktu 2 bulan. Setelah diroasting, kopi dibungkus dalam plastik kedap udara dan dijemur di bawah matahari langsung selama 4 jam sehari. Proses yang sama diulang keesokan harinya. Pembungkus kopi diganti, dibuat kedap udara dan dijemur di bawah matahari langsung. Proses ini berlangsung hingga 2 bulan. Proses ini memunculkan aroma dan rasa anggur yang nikmat.

Hanya begitu saja penjelasan dari Gembel soal Winey Coffee ini. Ini menjadi kopi termahal di Seladang Café. Tetapi, meskipin di hargai Rp. 30 ribu per gelas, tetap saja untuk rasa dan aromya, harga segitu terbilang murah. Apalagi untuk ukuran orang Jakarta. Minuman kopi lainnya pun juga sangat murah. Bisa jadi kombinasi harga, rasa, suasana, dan dinginnya angin pegunungan menarik minat para penikmat kopi untuk datang ke Seladang Café.

Tidak terasa waktu 2 jam berlalu begitu saja. Jam telah menunjukkan pukul 19.00 ketika kami akan meninggalkan Seladang. Masih tersisa sedikit erang dari sore. Di ujung pulau Sumatera ini, malam sepertinya terlambat tiba. Nikmat kopi Arabika yang kuat masih tersisa di tenggorokan. Dua gelas sanger kopi Arabika meninggalkan kesan betapa kopi Aceh memberikan sensasi berbeda.

Malam mulai jatuh dan dingin semakin menusuk kulit. Perlahan, Seladang kelihatan mengecil, tertinggal di belakang. Tetapi ada satu ucapan yang terbawa selain rasa kuat kopi Arabika yang disajikan. Ucapan Gembel yang menggambarkan gelisahnya.

“Itulah, Australia tidak punya kopi, tetapi mereka menentukan standar kopi” ujar Gembel dalam ceritanya ketika suatu waktu seorang barista dari kota besar tiba di warungnya dan mencoba mengajari Gembel bagaimana membuat cappucino.Cerita Gembel ini sangatlah dalam.

Dalam banyak hal, aturan dan standar ditentukan oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki kekayaan seperti kita. Sementara kita yang di darahnya mengalir kopi, hanya manut dengan selera yang tertera dalam standar mereka.

Disitulah, sebuah tantangan yang harus dihadapi, ketika milik kita sendiri menjadi milik orang lain, hanya karena mereka mempelajarinya dengan seksama. Sementara, petani-petani kopi yang telah dari bayinya sudah disajikan kopi, hanya bisa manut saja dengan standar yang diciptakan oleh mereka yang hanya mengenal kopi dari hasil kiriman dan buku-buku, yang lagi-lagi ditulis bukan oleh mereka yang sejak lahir hingga mati berada di kebun kopi.

Sebagai oleh-oleh, kami membeli Kopi Arabika asli Aksa Gayo dari Kampung Kopi Simpang Teritit Bener Meriah. Dijual dengan harga Rp. 60 ribu untuk 200 gram, fine grinding. Kopi olahan masyarakat sekitar yang dijual di Seladang Café. Berharap, ketika menyeduh kopi ini, kenangan akan Seladang dan rasa yang dimunculkan, tercipta.

Seladang adalah sebuah keinginan dan mimpi. Sebuah kenangan akan rasa kopi. Sebuah kewarasan yang mencoba muncul ke permukaan. Sebuah perlawanan akan standar yang diciptakan para asing yang di darahnya tidak mengalir ‘darah kopi’. Kebun kopi Seladang, telah menorehkan sebuah rasa dalam pustaka rasa kopi kami. Pastinya jika memungkinkan, kami akan kembali. Masih banyak yang harus dilakukan Gembel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun