Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gembel, Mimpinya Tidak Seperti Namanya (Bagian 2)

14 April 2017   21:57 Diperbarui: 15 April 2017   07:00 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penanda Seladang Cafe hanyalah sebentuk papan ini, sangat mudah terlewatkan di kerumunan pohon-pohon. Sumber: Rinsan Tobing

Hanya begitu saja penjelasan dari Gembel soal Winey Coffee ini. Ini menjadi kopi termahal di Seladang Café. Tetapi, meskipin di hargai Rp. 30 ribu per gelas, tetap saja untuk rasa dan aromya, harga segitu terbilang murah. Apalagi untuk ukuran orang Jakarta. Minuman kopi lainnya pun juga sangat murah. Bisa jadi kombinasi harga, rasa, suasana, dan dinginnya angin pegunungan menarik minat para penikmat kopi untuk datang ke Seladang Café.

Tidak terasa waktu 2 jam berlalu begitu saja. Jam telah menunjukkan pukul 19.00 ketika kami akan meninggalkan Seladang. Masih tersisa sedikit erang dari sore. Di ujung pulau Sumatera ini, malam sepertinya terlambat tiba. Nikmat kopi Arabika yang kuat masih tersisa di tenggorokan. Dua gelas sanger kopi Arabika meninggalkan kesan betapa kopi Aceh memberikan sensasi berbeda.

Malam mulai jatuh dan dingin semakin menusuk kulit. Perlahan, Seladang kelihatan mengecil, tertinggal di belakang. Tetapi ada satu ucapan yang terbawa selain rasa kuat kopi Arabika yang disajikan. Ucapan Gembel yang menggambarkan gelisahnya.

“Itulah, Australia tidak punya kopi, tetapi mereka menentukan standar kopi” ujar Gembel dalam ceritanya ketika suatu waktu seorang barista dari kota besar tiba di warungnya dan mencoba mengajari Gembel bagaimana membuat cappucino.Cerita Gembel ini sangatlah dalam.

Dalam banyak hal, aturan dan standar ditentukan oleh mereka yang sama sekali tidak memiliki kekayaan seperti kita. Sementara kita yang di darahnya mengalir kopi, hanya manut dengan selera yang tertera dalam standar mereka.

Disitulah, sebuah tantangan yang harus dihadapi, ketika milik kita sendiri menjadi milik orang lain, hanya karena mereka mempelajarinya dengan seksama. Sementara, petani-petani kopi yang telah dari bayinya sudah disajikan kopi, hanya bisa manut saja dengan standar yang diciptakan oleh mereka yang hanya mengenal kopi dari hasil kiriman dan buku-buku, yang lagi-lagi ditulis bukan oleh mereka yang sejak lahir hingga mati berada di kebun kopi.

Sebagai oleh-oleh, kami membeli Kopi Arabika asli Aksa Gayo dari Kampung Kopi Simpang Teritit Bener Meriah. Dijual dengan harga Rp. 60 ribu untuk 200 gram, fine grinding. Kopi olahan masyarakat sekitar yang dijual di Seladang Café. Berharap, ketika menyeduh kopi ini, kenangan akan Seladang dan rasa yang dimunculkan, tercipta.

Seladang adalah sebuah keinginan dan mimpi. Sebuah kenangan akan rasa kopi. Sebuah kewarasan yang mencoba muncul ke permukaan. Sebuah perlawanan akan standar yang diciptakan para asing yang di darahnya tidak mengalir ‘darah kopi’. Kebun kopi Seladang, telah menorehkan sebuah rasa dalam pustaka rasa kopi kami. Pastinya jika memungkinkan, kami akan kembali. Masih banyak yang harus dilakukan Gembel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun