Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Partai Politik Berlindung di Balik Demokrasi

26 Maret 2017   21:39 Diperbarui: 27 Maret 2017   16:00 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kuliah umum, seorang dosen pernah mengatakan, lebih tepatnya menasehati mahasiswanya. Sang dosen mengatakan, jika membaca buku jangan hanya bagian depannya saja. Tetapi bacalah hingga akhir. Karena biasanya intisarinya ada di tengah hingga akhir buku. Dengan membaca hanya awalnya saja, mahasiswa hanya mendapatkan permukaan. Hal-hal yang umum, dangkal dan tidak prinsipil. Mengetahui sesuatu tetapi tidak mendalam. Pemahamannya dangkal Sehingga prinsip-prinsip yang utama terlewatkan.

Faktanya banyak mahasiswa hanya membaca di awal. Membaca sampai habis menjadi tantangan tersendiri. Mungkin bukunya terlalu tebal. Mungkin bukunya berbahasa Inggris. Buku yang mengundang kantuk ketika membacanya. Acapkali hal seperti ini terjadi di masyarakat kita. Bahkan saat ini dimana banjir informasi yang luar biasa, membaca hanya judulnya menjadi lumrah. Padahal judul sebuah berita belum bisa menggambarkan secara jelas makna dan kandungan dari berita tersebut.

Perkara hanya memahami permukaannya saja dan tidak termasuk prinsip-prinsip dasarnya, ternyata tidak hanya terjadi di masyarakat, tetapi juga di anggota dewan yang notabene adalah anggota partai.

Korupsi Anggota Dewan

Saat ini, partai dan orang-orangnya cenderung mementingkan diri sendiri. Proses perekrutan yang tidak terbuka dan didasarkan pada kedekatan menjadi kendala dari tumbuh kembangnya sebuah partai politik.

Kekuatan partai digunakan untuk mempengaruhi dan menciptakan peluang yang menguntungkan secara ekonomis. Meskipun ini disangkal dan susah dibuktikan, tetapi kejadian yang masif dan berulang dapat mengkonfirmasi. Kita lihat fakta yang menunjukkan anggota partai politik banyak terjerat hukum karena pelanggaran yang sangat serius.

Kasus korupsi yang melibatkan kader-kader partai di DPR yang paling disoroti saat ini yakni korupsi kasus KTP-el. Kasus yang melibatkan anggota DPR di Komisi II periode 2009-2014 dicurigai melibatkan juga partai politik. Hampir semua anggota Komisi II ini ditenggarai menerima uang dari kasus korupsi yang dirancang dengan sangat baik. Korupsi dirancang sejak masih dalam tahap perencanaan.

Aliran uang juga sampai hingga ke partai, seperti berita yang beredar. Dicurigai permainan para anggota ini diketahui partai. Bisa jadi, uang partai tidak mencukupi. Setoran anggota dan sumbangan APBN juga sangat minim. Sementara politik di Indonesia terlanjur berbiaya mahal. Ini mengakibatkan keuangan partai mengalami pendarahan. Uang setoran anggota partai juga sangat kecil untuk memastikan operasional partai berjalan dengan baik. Dukungan anggota partai yang ada di DPR diwujudkan dalam bentuk pemotongan gaji yang disetorkan ke partai. Cara ini pun tetap tidak juga menolong partai dapat beroperasi.

Dalam prakteknya lagi, DPR Indonesia yang anggotanya berasal dari partai juga tidak berkinerja baik. Dalam catatan media, banyak sekali tuntutan yang diajukan anggota DPR ini tetapi lemah dalam bekerja. Undang-undang yang diciptakan sangat minim dan tidak mencerminkan berjalannya fungsi DPR selayaknya.

Suara Membubarkan Partai Politik

Partai politik selama ini diaggap gagal dalam melaksanakan kerjanya. Tuduhan ini setidaknya dialaskan pada fakta bahwa partai politik tidak berhasil melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi pemimpin bangsa. Malah kecenderungannya partai politik hanya sebagai sebuah alat yang digunakan orang-orang tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Monetasi dari kegiatan berpolitik dapat dilakukan dalam berbagai cara dan kesempatan.

Gambaran nyata dari partai politik Indonesia menunjukkan arah yang berbeda dari seharusnya partai politik. Alih-alih menjadi penyeimbang pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk kemaslahatan masyarakat, anggota partai politik di DPR malah terjebak dalam berbagai transaksi curang. Partai politik tidak tumbuh menjadi seperti yang diharapkan dalam suatu proses yang alami.

Partai politik Indonesia belum tumbuh sebagaimana seharusnya partai politik. Jika diperhatikan partai politik seperti mengalami stunting.Partai politik belum memiliki proses kaderisasi yang benar dan alami. Pimpinan partai politik dipegang oleh tokoh tertentu hingga batas waktu yang tidak tentu. Pemimpin partai tidak ditentukan berdasarkan keunggulan dan kecakapan dalam menjalankan partai politik.

Tingkah laku partai politik sangatlah ditentukan oleh pemimpinnya sendiri. Meskipun ada mekanisme yang digunakan untuk memastikan jalan dan arah partai berjalan, tetapi mekanisme itu diokupasi oleh kelompok kuat partai. Pergantian ketua partai seperti tidak dimungkinkan, sehingga beberapa tokoh partai yang kecewa membentuk partai sendiri untuk memastikan mendapatkan posisi ketua partai, tentunya di partainya sendiri.

Muaranya, terjadi distorsi fungsi dan nilai-nilai yang selalu diagungkan. Pada titik tertentu, partai politik cenderung sebagai organisasi yang bersentrifugal ke dalam. Keberadaan partai politik di Indonesia justru mendistorsi demokrasi itu sendiri dan nilai-nilai di dalamnya.

Hal ini berujung pada suara-suara yang menginginkan partai dibubarkan. Fungsi partai itu sudah sangat melenceng dari yang seharusnya. Parade koruptor dari anggota partai di DPR dan juga kepala daerah yang mungkin juga anggota partai, telah membulatkan adanya suara-suara gelisah yang mendorong pembubaran partai. Suara ini kecewa dengan perilaku anggota partai yang ada di DPR.

Demokrasi Tempat Berlindung

Ketika suara-suara itu muncul ke permukaan, anggota partai di DPR itu bersuara kencang membela. Tentunya partai yang diwakili oleh anggotanya di DPR, setidaknya yang bersuara, menentang usulan atas nama demokrasi. Mereka bersuara lantang mengatakan bahwa partai adalah pilar demokrasi. Dengan demikian partai harus ada selama negara masih ingin disebut negara demokratis. Demokrasi tidak ada jika partai tidak ada. Berulang itu disampaikan.

Tetapi, seperti yang diutarakan di atas, pembelaan akan pentingnya partai karena merupakan prasyarat dari demokrasi, hanya dimaknai permukaannya saja. Setidaknya melihat gambaran di atas. Prinsip-prinsip partai sebagai pilar demokrasi sama sekali tidak dipahami.

Pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya partai itu berperilaku dan bertindak hingga layak disebut sebagai pilar demokrasi? Apa prinsip-prinsip yang dianut sebuah partai sehingga layak disebut pilar demokrasi?

Menurut Nederland Institue for Multiparty Demokrasi, yang dituangkan dalam Multi-annual Plan tahun 2007-2010 dengan judul Political Parties: Pillars of Democary, bahwa partai politik dalam alam demokrasi seharusnya menjadi penyeimbang pemerintah untuk menjalankan fungsinya. Lebih lanjut, dokumen yang dikeluarkan pada tahun 2005 ini di Hague, Belanda, partai sebagai penyeimbang dalam pengertian sebagai bagian dari oposisi yang mengawasi jalannya pemerintahan.

Dengan demikian partai politik memiliki peran dan tanggung-jawab yang sangat besar untuk memastikan bahwa sistem politik berjalan sebagaimana mestinya. Partai politik yang baik akan membuat masyarakat merasa terwakili dan kepentingannya dapat disampaikan kepada pemerintah. Dalam demokrasi, partai politik diharapkan bertindak sebagai negosiator dalam perdebatan dan pembicaraan terkait pilihan-pilihan kebijakan dan perubahannya.

Partai politik diperlukan untuk menciptakan konsensus di antara berbagai kepentingan yang ada dan menciptakan koalisi yang perlu untuk mengatur atau membentuk oposisi. Partai juga perlu dalam menciptakan politisi dan memperhatikan kebijakan yang diterapkan atau akan dibuat. Partai politik yang terinstitusionalisasi akan menjadi tempat lahirnya sistem politik yang mumpuni.

Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Karena partai politik gagal melakukan fungsinya sebagai pilar demokrasi termasuk menanamkan nilai-nilai luhur dan prinsip demokrasi, maka kejadian ditangkapnya anggota DPR karena korupsi akan selalu terulang. Meskipun demikian, anggota DPR yang merupakan perpanjangan dari partai itu sendiri masih dengan percaya diri mengatakan bahwa partai perlu dalam alam demokrasi. Mereka berlindung dibalik demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dipahami secara superfisial.

Demikianlah adanya demokrasi itu.  Demokrasi menerima semua atas nama persamaan dan kebebasan. Meskipun kebebasan dan persamaan itu menimbulkan suatu keadaan yang aneh. Socrates mengatakan, dalam konteks demokrasi setiap orang menjadi sama dan setiap orang dapat melakukan apa pun yang diinginkannya.

Dari waktu ke waktu, demokrasi itu akan bertumbuh dan bertumbuh, dan pada titik tertentu akan melahirkan tirani, lanjut Socrates. Mungkin anggota DPR yang mengecewakan itu, menganggap dirinya penting adalah hasil dari demokrasi itu sendiri. Mereka berteriak tentang partai sebagai pilar demokrasi, tanpa memahami prinsip dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun