Tidak mungkin menghindar dari pola seperti ini, karena ini tuntutan jaman. Pergerakan masyarakat Jakarta dan Greater Jakarta harus dilihat dalam konsep urban mobility tadi. Seoul sudah menerapkannya dan terbukti dapat memberikan layanan yang layak untuk masyarakatnya.
Jika menolak sama sekali, sama saja dengan mundur. Karena urban mobility harus didukung oleh mode-mode transportasi yang nyaman, ramah, efisien, terprediksi dan murah. Hal yang sedemikian dapat disajikan moda transportasi online.
Bahkan perusahan taksi besar yang dulu menentang melalui demontrasi besar-besaran pun sudah menerima mode online ini. Langkah yang dilakukan yakni menciptakan aplikasi yang relatif sama dengan yang digunakan oleh penyedia transportasi online pionir. Transportasi berbasis online harus diterima sebagai bagian dari pembangunan dan peradaban modern.
Masalah yang terjadi saat ini secara sederhana dapat dilihat sebagai culture shock saja. Gejala yang sama terjadi juga pada waktu lampau. Revolusi industri di Inggris dan Prancis juga mengakibatkan geger budaya yang berujung pada terjadinya revolusi itu sendiri. Otomatisasi pabrik-pabrik juga dulu mendapatkan perlawanan karena mengurangi jumlah tenaga kerja yang diserap industri. Pada akhirnya, semuanya itu diterima karena memang suatu keniscayaan.
Internet dengan segala sisi baik dan sisi buruknya juga pada akhirnya akan diterima untuk menjadi bagian dari kehidupan. Ketika Internet of Things sudah dilemparkan ke pasar, transportasi model konvensional hanya akan menjadi model tua yang tidak laku lagi. Ini hanya soal menunggu waktu. Sementara, nikmati saja keriuhan yang ada, sambil mempersiapkan aturan dan konsep tranportasi online dalam konteks urban mobility dengan pendekatan ToD.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H