Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Pemenuhan Kompensasi Korban Terorisme

17 Maret 2017   14:49 Diperbarui: 17 Maret 2017   14:56 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: megapolitan.kompas.com

Di harian Kompas edisi 17 Maret 2017 terdapat artikel berjudul Penguatan Hak Korban Terorisme,yang ditulis olehHasibullah Satrawi, Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida). Artikel ini terkait dengan proses revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang sedang memasuki fase pembahasan draf di tingkat panitia kerja setelah mendapat masukan dari pihak-pihak terkait melalui DPR.

Hal yang disoroti terkait hak-hak korban terorisme yakni hak kompensasi. Di Undang-Undang No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pemenuhan hak dan kompensasi ini dimasukkan, tetapi aturannya tetap harus di Undang-Undang terkait, yakni Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam argumentasinya, Hasibulah menyampaikan bahwa terorisme terjadi akibat kegagalan negara dalam melaksanakan sistem pembangungan dan kebijakan-kebijakannya. Selanjutnya, kegagalan ini menimbulkan kemarahan di kalangan tertentu, yang diformulasikan dalam tindakan terorisme.

Akibat tindakan terorisme ini, ada korban yang mengalami kerusakan dan kerugian. Kerusakan dan kerugian yang tidak diinginkan. Dalam kalimatnya dinyatakan para korban terorisme telah menanggung akibat kegagalan negara, termasuk dalam menjamin kedamaian dan keamanan bagi segenap warganya. Lalu, argumentasi yang selanjutnya didorong adalah negara harus menanggung kerusakan dan kerugian yang dialami oleh korban terorisme. Dalam konteks ini, sejatinya negara harus memenuhi seluruh hak dan kebutuhan para korban tindak pidana terorisme.

Mengapa Hanya Korban Terorisme?

Jika cakupan akibat dari kegagalan negara ini diperluas, maka sudah seharusnya yang harus dipenuhi oleh negara tidak hanya korban terorisme. Banyak kejadian yang menimbulkan korban baik langsung dan tidak langsung yang harus ditanggung oleh negara, segala kerusakan, kerugian dan pemenuhan kebutuhan dari korban terdampak. Jika menggunakan logika yang disebutkan di atas.

Jika dirunut, daftarnya akan sangat panjang. Kita bisa melihat di jalan raya. Kejadian metromini yang ditabrak oleh kereta api yang mengakibatkan kematian tidak kurang dari 18 orang pada waktu lampau dapat diambil sebagai misal. Jika kita telusuri ini bisa dikaitkan dengan kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya.

Ditemukan dari pemeriksaan polisi, bahwa mobil yang digunakan tidak memenuhi ijin dan pengemudinya juga tidak memiliki ijin untuk mengendarai. Kualitas mobil juga sudah sangat buruk. Proses Kir ditenggarai tidak dilakukan dengan benar. Karena persaingan yang tinggi, terpaksa sopir harus melanggar peraturan. Sopir bisa melanggar peraturan karena pemerintah juga tidak hadir dalam menegakkan peraturan tersebut.

Jika kita simak korban-korban yang berjatuhan di tujuh provinsi tahun 2015 akibat kebakaran hutan, maka bisa dilihat juga sebagai korban kebijakan pemerintah yang gagal. Pemerintah tidak dengan tegas memberikan sanski bagi pihak-pihak yang melakukan pembakaran illegal. Korban-korban longsor di Banjarnegara dapat menuntut pemerintah, karena pemerintah tidak menegakkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Akibatnya, masyarakat bermukim di wilayah yang rawan terhadap bencana longsor. Korban meninggal sangat banyak mencapai 90 orang.

Jika menggunakan logika yang diusung Hasibullah, maka semua kebutuhan korban kebakaran hutan dan tanah longsor yang terjadi itu harus ditanggung pemerintah. Para korban mengalami kerusakan dan kerugian karena kebijakan pemerintah yang tidak benar. Kebakaran yang telah terjadi selama 20 tahun berturut-turut pastinya mengakibatkan kerusakan yang sangat serius. Masa depan terancam.

Menurut Universitas Riau, penyusutan paru-paru bisa terjadi akibat paparan asap dalam jangka waktu yang sangat lama. Apalagi generasi yang sudah berusia 20 tahun pada 2015, dimana setiap tahun sejak lahir paru-parunya diisi oleh asap. Kerusakan dan kerugian lainnya masih dapat dijabarkan dan dicarikan. Kerusakan dan kerugian yang diakibatkan kesalahan pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya.

Tanpa mengurangsi rasa hormat kepada para korban terorisme, kemudian menjadi tidak adil bagi para korban lain kesalahan kebijakan pemerintah ini, jika hanya korban terorisme yang mendapatkan jatah pemenuhan hak kompensasi, restorasi atau rekonstruksi.

Praktek dalam Kebencanaan

Dalam setiap kejadian bencana, pasti ada korban. Bencana bisa jadi karena kesalahan kebijakan pemerintah, bisa juga karena alam. Untuk kejadian bencana ini, maka untuk para korban diberikan bantuan selama masa tanggap darurat. Biasanya ini berupa bantuan jatah hidup dan penampungan sementara. Pengobatan dan juga pemakaman biasanya ditanggung oleh pemerintah. Dana yang selama ini digunakan untuk bantuan bencana ini adalah dana siap pakai (on call fund) yang ada di Kementerian Keuangan.

Sementara untuk kerusakan aset, maka aset pemerintah akan ditanggung oleh masing-masing sektor, yang sebenarnya pemerintah juga. Rumah sakit oleh Kementerian Kesehatan, Sekolah oleh Kementerian Pendidikan dan sebagainya. Lalu, siapa yang bertanggung-jawab untuk kerusakan aset pribadi masyarakat?

Dalam kejadian bencana yang sering di Indonesia, pembangunan rumah masyarakat ditanggung oleh pemeritah dengan memberikan dana stimulan. Dana ini tidak akan bisa menggantikan aset yang sama persis. Bisa jadi lebih sedikit, tetapi bisa juga lebih banyak. Sebagai contoh, untuk rekonstruksi di Merapi pasca letusan 2010, pemerintah memberikan dana stimulan Rp. 30 juta per keluarga terdampak, berdasarkan data yang ditentukan oleh Bupati. Di Sinabung, pemerintah memberikan dana stimulan Rp. 110 juta dengan rincian Rp. 59.400.000 untuk Bantuan Dana Rumah (BDR) dan Rp50.600.000 untuk biaya Bantuan Dana Lahan Usaha Tani (BDLUT).

Jika memungkinkan, pembangunan itu dilakukan oleh masyarakat secara swadaya dengan pendampingan dari pemerintah. Dana pendampingan ini seringya di luar dana stimulan ini. Di Mentawai, dana stimulan sebesar kurang lebih Rp. 98 juta sudah termasuk dana pendampingan. Untuk tempat yang sangat jauh, misalnya di Wasior untuk bencana banjir bandang tahun 2010, pemerintah terpaksa menggunakan kontraktor. Dana yang diberikan tetap sifatnya stimulan. Semua dana stimulan ini didasarkan pada penilaian atas kerusakan dan kerugian yang kemudian diturunkan menjadi kebutuhan pasca bencana. Besaran ditentukan berdasarkan, disamping dengan kebutuhan, tentunya kemampuan fiskal pemerintah.

Opsi Kompensasi Korban Terorisme

Secara persis, kisaran kompensasi tidak disebutkan di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2014. Tetapi sifatnya self-assessment. Akan menjadi susah menentukan kerugian karena potensi kerugian akan sangat besar, jika dimasukkan.

Seorang kepala rumah tangga yang meninggal akibat terorisme, mengakibatkan hilangnya pendapatan yang besar jika dihitung masa kerja hingga pensiun. Demikian halnya jika seorang kepala keluarga mengalami cacat tetap, maka potensi pendapatannya akan berkurang dibanding bila bekerja dalam kondisi sehat.

Kecelakaan di jalan raya, yang bisa dikaitkan dengan kelalaian pemerintah dalam menjalankan kebijakannya, dapat mengakibatkan korban meninggal atau cacat seumur hidup. Dengan logika yang sama seperti di atas, kepala keluarga yang meninggal dan cacat juga seharusnya mendapat kompensasi dari pemerintah. Karena pihak pelaku tidak bisa memberikan kompensasi ini, seharusnya ditanggung negara jika mengikuti logika di atas.

Akan tetapi, untuk kecelakaan lalu lintas ada asuransi Jasa Raharja. Jelas nilai tanggungnya untuk korban meninggal dan cacat tetap. Korban meninggal mendapatkan tanggungan Rp. 25 juta untuk kecelakaan darat dan laut. Untuk kecelakaan udara Rp. 50 juta. Untuk cacat tetap, nilai tanggungannya sama dengan meninggal. Kerugian potensialnya tidak dimasukkan, karena memang rumit menentukan besarannya.

Maka, jika merujuk kepada kejadian bencana dan kecelakaan lalu lintas ini, pemerintah melakukan nya berbeda. Untuk kompensasi perumahan dengan dana stimulan, murni dari pemerintah. Jika asuransi, ini bukan dari pemerintah, tetapi penumpang yang preminya dibayarkan menyatu dengan ongkos.

Memahami kejadian terorisme dan korbannya, maka opsi menggunakan pendekatan asuransi kecelakaan lalu lintas dapat diterapkan untuk ini. Akibat dari terorisme yang ditanggung pemerintah disamakan saja nilainya. Akibat dari terorisme sama saja dengan kecelakaan lalu lintas, hanya ada meninggal dan cacat permanen. Skema besaran kompensasi bisa disamakan dengan asuransi. Dananya ditanggung oleh negara.

Tetapi mendorong argumentasi bahwa kompensasi kepada korban terorisme wajib diberikan negara dengan alasan terorisme terjadi akibat dari kebijakan negara yang salah, menjadi kurang tepat jika hanya diterapkan pada pada korban terorisme, apalagi pakai diatur dengan Undang-Undang.

Sebagai penutup, jika itu argumentasi yang didorong, maka seharusnya tidak hanya untuk korban terorisme, tetapi juga yang lainnya, yang justifikasinya akibat kesalahan kebijakan pemerintah dapat didefinisikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun