Setiap bertanya kepada aparat pemerintah mengapa suatu program tidak berjalan, maka jawabannya selalu pada terkendala pendanaan. Pendanaan dari APBD itu memang sangat terbatas. Tidak mungkin memberikan layanan seperti yang diharapkan dengan dana yang sedemikian. Itu alasannya.
Dana pemerintah yang digunakan untuk membiayai para pegawai dan juga belanja barang dan jasa memang sangat terbatas. Keterbatasan ini semakin diperburuk karena perilaku birokrasi yang tidak proporsional sehingga pelayanan publik tidak maksimal. Di kebanyakan daerah, belanja pegawai yang mencakup gaji pegawai dan dana-dana kepentingan pegawai lainnya berada dikisaran 60-70%. Lalu dana yang tersedia sangat sedikit untuk belanja modal. Ujung-ujungnya, pembangunan sarana dan prasarana publik buruk.
Jadi jangan aneh kemudian jika berada di satu daerah dan menemukan fasilitas publik yang tidak terawat. Bisa dipastikan alokasi pendanaan untuk fasilitas publik itu sangat minim. Tidak heran kemudian di kantor-kantor pemerintah sendiri, aroma toiletnya sangat ‘dahsyat’. Mungkin ada yang pernah mengalaminya. Ini karena anggaran tidak memadai.
Sebenarnya, jika mau bekerja keras, seorang pemimpin daerah tentunya bisa mencarikan pendanaan dari sumber-sumber di luar uang yang disediakan pemerintah pusat dan pendapatan asli daerah, yang tertuang dalam APBD.
Ruang-ruang pendanaan bisa dibuka dari berabgai pihak termasuk perusahaan-perusahan melalui Corporate Social Responsibility, misalnya. Tidak harus perusahaannya berada di wilayah tersebut. Banyak perusahaan besar memiliki dana-dana ini. Meskipun bukan kewajiban, tetapi dana-dana CSR ini semakin berkembang dari tahun ke tahun.
Bantuan dari donor juga banyak. Pengalaman bekerja dengan pemerintah Kota Yogyakarta di 2009 menunjukkan hal ini. Seorang kepala bagian di Bappeda Yogyakarta menyusun daftar program pemerintah kota yang tidak didanai APBD, karenaketerbatasan anggaran. Dengan rajinnya beliau mendatangi donor dan menawarkan program tersebut. Beberapa program mendapatkan dukungan dari donor. Bantuan untuk program itu berupa hibah.
Public Service Obligation (PSO) juga bisa didayaupayakan. Undang-undang malah sudah mengatur ini karena ini merupakan kewajiban dari perusahaan milik negara. Sama halnya dengan CSR, pemerintah daerah harus rajin mencarinya.
Selain APBD DKI, Ada Rupa-rupa Modalitas
Jakarta juga mengalami kendala yang sama. Kebutuhan pembangunan dan penyediaan pelayanan publik tidak bisa dipenuhi seluruhnya dengan kemampuan uang daerah Jakarta yang tertuang dalam APBD-nya, yang berkisar Rp. 60 T. Untuk jelasnya, APBD DKI 2016 mencapai Rp. 59,68 T. APBD 2017, dianggarkan Rp. 62, 47 T.
Berdasarkan dokumen Informasi APBD 2016 dengan tema ‘Pemantapan Capaian Pembangunan dan Penyempurnaan Pelayanan Pemerintah, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menunjukkan peningkatan APBD yang signifikan sejak 2010. Pada tahun 2010, APBD DKI realisasi berkisar Rp. 22,55 T. Lalu meningkat di tahun 2011 di Rp. 26,42 T. Di Tahun 2012 sejak pemerintahan Jokowi-Basuki, APBD meningkat menjadi Rp. 31,55 T. Setiap tahun naik, hingga pada tahun 2016 sudah hampir dua kali lipat APBD realisasi 2012. APBD realisasi artinya APBD yang telah diaudit oleh BPK.
Dengan dana APBD sebesar ini pun, yang terbesar dari seluruh provinsi di Indonesia, DKI masih kewalahan untuk melayani kebutuhan pelayanan publik warga Jakarta. Di samping karena mendapat warisan yang buruk dari masa lalu, juga karena laju urbanisasi yang tinggi di Jakarta. Masih banyak faktor lainnya. Kondisi hubungan pemerintah DKI yang ‘tidak akrab’ dengan DPRD mengakibatkan seringnya APBD tidak maksimal karena pemerintah daerah harus menggunakan anggaran tahun sebelumnya.
Biaya untuk pembangunan porsinya lebih besar dari belanja pegawai. Meskipun remunerasi pegawai birokrat pemerintah tinggi, proporsi dari APBD hanya dimaksimalkan di angka 30%. Banyak jabatan yang sudah dihapus, karena tidak efektif. Hal itu juga mendukung bisa tercapainya belanja pegawai yang hanya sepertiga dari APBD dibandingkan dengan daerah lain, yang bisa mencapai 50% bahkan ada yang sampai 80%,
Tetapi, di balik tantangan yang besar ini, justru Basuki berupaya untuk memaksimalkan segala sumber modalitas yang disebutkan di atas. Disinilah kecerdasan Basuki memberdayakan semua modalitas yang ada yang dimungkinkan oleh peraturan. Sejak awal pemerintahannya, Jokowi Basuki menyadari potensi dari dana-dana ini, seperti tanggung jawab sosial perusahaan. Mereka bisa bergerak lebih cepat dengan segera mengarahkan dana-dana ini untuk mengatasi masalah di Jakarta.
Pengerukan Waduk Pluit misalnya, menggunakan dana CSR. Dana ini dapat dimobilisasi dengan cepat. Nilai-nilai dan cakupan pekerjaan serta masa pengerjaan disepakati dalam sebuah Perjanjian Kerjasama. Perjanjian Kerjasama ini menjadi basis untuk setiap dana CSR yang diterima oleh Pemerintah DKI. Dana-dana ini tidak masuk APBD dulu, karena prosesnya akan lama. Dana-dana ini kemudian akan dicatat di akhir siklus APBD.
Ruang Publik Terpadu dan Ramah Anak (RPTRA), suatu ruang bermain dan tempat masyarakat membangun kohesi juga menggunakan dana CSR ini. Sudah lebih dari 180 RPTRA yang dibangun dengan dana-dana tanggung-jawab sosial ini. Mungkin yang paling besar adalah RPTRA Kalijodo yang luasnya 1,5 hektar dengan pendanaan dari Sinar Mas Land.
Modalitas yang lain juga dimanfaatkan, yakni donor. Setidaknya dalam program pendidikan beberapa NGO internasional membantu program-program di sekolah, terkait sekolah aman. Pelatihan-pelatihan untuk membangun ketahanan sekolah dalam menghadapi bencana ditingkatkan dengan dana dari pihak donor. Bahkan, Bappeda DKI mendapatkan bantuan teknis dari Bank Dunia untuk mengembangkan keterbukaan anggaran, programnya sedang berjalan.
Yang Tercanggih, Koefisien Lantai Bangunan
Dengan memanfaatkan sistem insentif dan disinsentif terkait Tata Ruang sesuai mandat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Pemerintah DKI dengan kepemimpinan Basuki, melihat peluang untuk menambah modalitas pembangunan. Pemerintah DKI menggunakan elemen Koefisien Lantai Bangunan.
Praktisnya, jika suatu organisasi ingin membangun bangunan dengan lantai yang lebih tinggi dari yang dipersyaratkan, maka diijinkan dengan membayar kompensasi tertentu. Kompensasi ini memiliki ketentuan sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 201 Tahun 2016. Sampai saat ini telah ada tiga perusahaan yang memanfaatkan insentif ini, yakni PT Mitra Panca Persada mencapai Rp 579,32 miliar, kemudian yang dibayarkan PT Sampoerna Land mencapai Rp 723,11 miliar dan yang PT Mulia Karya Gemilang senilai Rp 214,40 miliar
Sama dengan metode CSR, dengan dana kompensasi Koefisien Lantai Bangunan ini, pemerintah DKI mengadakan Memorandum of Understanding untuk menentukan nilai, hak dan kewajiban yang dimiliki perusahaan tersebut.
Salah satu yang dibangun saat ini dengan menggunakan dana KLB adalah revitalisasi jembatan semanggi yang mencapai Rp. 369 milyar dari kompensasi KLB perusahaan PT. Mitra Panca Persada. Total kompensasi perusahaan ini mencapai Rp. 579,32 milyar.
Pengerjaannya juga diserahkan kepada perusahaan. Setelah selesai, aset yang telah dibangun akan diaudit oleh auditor independen. Bila dinilai wajar, aset diserahkan ke Pemerintah DKI melalui Berita Acara Serah Terima (BAST), dicatat sebagai aset pemerintah DKI. Aset pemerintah bertambah dengan menggunakan modalitas yang tersedia di masyarakat.
Model pencatatan seperti ini juga terjadi di APBN. Kementerian-kementerian yang mendapatkan bantuan teknis dari donor dan CSR perusahaan juga melakukan mekanisme pengalihan aset ini dalam bentuk BAST yang selanjutnya dicatatkan ke dalam APBN.
Bahkan yang lebih lebih luar biasa adalah dengan segala keterbatasan dana APBD, tetapi karena mampu mendapatkan dari sumber-sumber lain yang sah, beberapa sumber pendapatan utama dihilangkan. Ini meringankan masyarakat. Ambil contoh misalnya retribusi perijinan, pengurusan sertifikat dan bahkan PBB untuk bangunan dengan nilai sampai Rp. 1 milyar dihapuskan.
Tidak heran kemudian untuk kinerja bagus Basuki ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memujinya. Ketika mengunjungi program revitalisasi Jembatan Semanggi, Presiden Jokowi juga memberikan apreasiasi yang besar atas kecerdasan Basuki dalam membangun Jakarta dengan dana-dana di luar APBD. Terlebih dana-dana tersebut dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan peraturan yang ada. Keterbatasan dana APBD setidaknya dapat dikelola dengan kecerdasan mengadministrasi pembangunan. Basuki telah melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H