Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tempurung Freeport dan Lingkungannya yang Berubah

15 Maret 2017   18:21 Diperbarui: 15 Maret 2017   18:24 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pimpinan Freeport McMoran beru-baru ini datang ke Indonesia terkait 'kisruh' perpanjangan kontrak dengan pemerintah Indonesia. Sumber:id.investing.com

Sebuah entitas tidak hidup dalam ruang vakum. Setiap entitas hidup dalam sebuah lingkungan. Entitas itu dapat berupa individu, keluarga, organisasi, perusahaan, kelompok masyarakat dan bahkan negara. Setiap entitas tersebut berinteraksi dalam lingkungan yang dinamis menurut nilai-nilai dan aturan yang ada dalam lingkungan tersebut. Lingkungan yang dinamis ini tentunya akan berubah seiring waktu. Perubahan bisa terjadi pada entitas baik secara internal, maupun secara eksternal.

Perubahan entitas berpengaruh kepada lingkungannya. Perubahan lingkungan juga berpengaruh kepada entitas. Tetapi, entitas cenderung lebih dipengaruhi lingkungannya, Mau tidak mau, entitas harus mengikuti perubahan jika tidak ingin mengalami konflik dan berkelanjutan. Perihal ini dijabarkan dalam teori organisasi. Hal yang sama berlaku untuk semua entitas termasuk Freeport.

Freeport sebagai sebuah entitas hidup dalam sebuah lingkungan, yakni negara Indonesia. Negara Indonesia memiliki sistem peraturan yang ditujukan untuk mengatur kehidupan dan hubungan antar entitas maupun hubungan entitas dengan lingkungan itu sendiri. Demikian pula halnya, Freeport harus mengikuti aturan permainan yang berlaku di lingkungannya.

Negara Indonesia saat ini sedang berubah. Perubahan yang dibawa oleh sosok kepemimpinan yang menginginkan kesejahteraan rakyatnya. Arah kepemimpinan pemerintah saat ini menuju pada perbaikan pemerintahan dan pelayanan publik yang berkualitas. Pemerintah perlu menggunakan seluruh sumber daya untuk tujuan itu. Ini merupakan amanat konstitusi. Dalam konteks Freeport, terkait pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah ingin peraturan yang berlaku dipatuhi, Undang-Undang Dasar 1945 dan turunannya. Ujung-ujungnya, perubahan itu menghapuskan segala sesuatu praktik yang selama ini terjadi, terutama dalam industri mineral dan batubara, terutama terkait sistem kerjasama, dan ikutannya termasuk kepemilikan dan pengolahan dalam negeri. Beberapa perusahaan multinasional sejenis telah mengikutinya, seperti Newmont yang kepemilikannya telah berganti.

Lama dengan Ekonomi Ekstraktif

Selama ini perekonomian Indonesia bersifat ekstraktif. Hanya mengeruk hasil sumber daya mineral. Tidak ada proses pengolahan dari kerukan mineral mentah Indonesia ini. Tembaga mentah yang digali dari perut bumi Indonesia langsung di ekspor. Biji besi yang ditambang langsung di jual ke pasar asing. Emas yang dikeruk juga sama halnya. Minyak mentah Indonesia memiliki kisah yang sama, langsung dijual ke keluar negeri.

Selanjutnya Indonesia membeli tembaga yang sudah dimurnikan dari pasar asing. Membeli besi yang sudah dibentuk dari negara lain. Membeli bahan bakar dari luar negeri seperti Singapura yang tidak memiliki tambang minyak. Semua praktek ini, yang dibiarkan dalam waktu yang lama, merugikan Indonesia.

Pemerintah Indonesia menginginkan suatu perubahan yang mendasar terkait ekonomi ekstraksif ini. Ekonomi jenis ini harus dihilangkan. Harusnya ada ekonomi berbasis pengolahan. Untuk mewujudkan perubahan tersebut, pemerintah berkeras untuk menghadirkan industri pengolahan itu di Indonesia. Upaya yang dilakukan setidaknya dalam sektor-sektor mineral dan batu bara akan bermanfaat bagi bangsa Indonesia.

Apa Manfaatnya?

Dengan mengekspor langsung bahan mentah ke luar negeri, maka Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar. Penjualan bahan mentah hanya memberikan sedikit keuntungan bagi Indonesia. Tidak ada nilai tambah yang bisa menjadi modalitas Indonesia untuk membangun bangsa ini. Nilai tambah yang dapat dikerjakan di Indonesia akan membuka kesempatan yang sangat luas.

Kita ambil contoh dengan barang tambang. Jika Indonesia mengolah bahan tambangnya di dalam negeri, dengan membangun industri pengolahannya, setidaknya di Indonesia akan terjadi multiplier effect. Industri pengolahan ini akan menghasilkan mineral yang lebih bernilai bahkan juga finish good yang bisa diekspor. Ini menjanjikan lapangan perkerjaan, disamping keuntungan yang lebih besar.

Jika finished good-nya tersedia di Indonesia, tentunya akan menggerakkan pembangunan yang lebih luas. Uangnya akan tinggal di Indonesia dan devisa tidak terkuras. Jika produksinya surplus, maka Indonesia dapat menjualnya ke negara lain. Jika ekspor dilakukan, maka devisa bertambah. Jika devisa bertambah, kita dapat meningkatkan nilai mata uang. Jika nilai mata uang kuat, kita lebih gampang keliling ke luar negeri. Jika devisa kita banyak, kita akan menjadi negara kaya dan TKI tidak perlu bekerja di luar negeri. Ini yang dicita-citakan Jokowi.

Dengan demikian, pemerintah yang sedang berubah ini memaksa perusahaan-perusahan ekstraktif untuk mengembangkan industri pengolahan dalam negri. Barang-barang mentah tidak boleh diekspor. Setiap bahan mentah yang dikeruk dari bumi Indonesia harus diberi nilai tambah dahulu dan harapannya sampai pada produk jadi, baru kemudian diekspor setelah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sedari dulu industri pengolahan ini ‘sengaja’ dimatikan. Terjadi ‘penyimpangan’ dalam politik ekonomi Indonesia, yang membiarkan barang-barang mentah Indonesia berhamburan keluar negeri, dengan hasil yang teramat kecil.

Jadi, kengototan pemerintah Indonesia untuk mengolah bahan mentah di Indonesia merupakan bagian dari menciptakan dan mewujudkan cita-cita proklamasi dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Perubahan di Indonesia ini, yang merupakan perubahan lingkungan organisasi di Indonesia, harus diantisipasi Freeport.

Freeport Harusnya Bagaimana?

Freeport sebagai sebuah organisasi, yang menjadi entitas dalam negara Indonesia, hidup dalam sebuah lingkungan yang sedang berubah. Dengan demikian, Freeport harusnya dapat mengikuti perubahan yang terjadi di Indonesia ini.

Sesuai dengan mandat Undang-Undang No.4 Tahun 2009, terutama pasal 169, dikatakan hubungan kerjasama jenis Kontrak Karya dan Perjanjian Karya tidak ada lagi. Kontrak Karya yang sudah terlanjur ada, akan dihentikan pada akhir masa kontrak. Kontrak Karya dengan Freeport yang dilakukan puluhan tahun yang lalu, memberikan kenikmatan kepada perusahaan itu dan permiliknya. Freeport menguasai 81% saham. Pihak dalam negeri, hanya menguasai 18%. Ini tidak adil.

Kekayaan Indonesia harus dikuasai oleh Indonesia, bukan asing. Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 yang merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha mineral dan batubara (Minerba). Besaran saham asing juga ditentukan. Asing hanya boleh memiliki saham maksimum 49%. Mayoritas harus milik Indonesia, boleh pemerintah atau swasta.

Kontrak Karya juga menempatkan Freeport sejajar dengan pemerintah Indonesia. Ini tidak masuk akal. Pemerintah lebih tinggi dari Freeprot. Selanjutnya, Kontrak Karya akan diganti dengan Ijin Usaha Pertambangan. Untuk kasus Freeport, akan diberikan Ijin Usaha Pertambangan Khusus. Setelah 2021, Freeport akan berada dibawah pemerintah Indonesia.

Freeport dengan segala kenyamannya itu merasa terganggu dengan penggantian Kontrak Karya menjadi IUPK. Permintaan divestasi 51% akan memereteli kepemilikan pihak Asing. Kewajiban smelterdi Papua untuk mengolah bahan tambang mentah yang digali dari bumi Indonesia itu, juga ditegaskan kembali. Ekspor bahan mentah masih diijinkan dengan volume yang dikurangi. Luasan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) juga dikurangi. Perubahan-perubahan ini mendapatkan respon yang cukup buruk dari Freeport.

Tingkah entitas Freeport mencoba melawan sebuah sistem yang berlaku umum, bahwa organisasi harus beradaptasi dengan lingkungan dimana entitas itu berada. Alih-alih mengadaptasi perubahan lingkungan, malah Freeport ngotot memaksakan struktur yang ada untuk berlaku selamanya.

Freeport menggunakan cara-cara yang kurang elegan. Perusahaan ini menolak perubahan yang terjadi yang dilakukan pemerintah Indonesia seusai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Lagu lama digunakan yakni pemutusan hubungan kerja karyawan yang jumlahnya hingga 30.000 orang. Angka ini terus diumbar secara sublim melalui iklan Freeport yang semakin sering muncul di koran-koran nasional.

‘Ancaman’ lainnya dengan mengatakan bahwa pemegang saham Freeport terbesar ada di lingkungan utama pemerintah Amerika Serikat, malah salah satu penasehat Donald J. Trump. ‘Ancaman’ lainnya adalah membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional. Pemerintah Indonesia tidak keberatan dengan ini. Sesuatu yang berusaha dihindari, tetapi harus dihadapi untuk menyelesaikan kasus ini. Setidaknya itu yang disampaikan Menteri Jonan.

Seharusnya Freeport dapat beradaptasi dengan lingkungan yang berubah tersebut, selayaknya sebuah organisasi yang dinamis dan adaptif terhadap lingkungan. Freeport tidak bisa terus menerus berlindung di bawah tempurungnya yang sudah nyaman, selama berpuluh tahun. Tempurungnya itu harus dibuka dan menerima perubahan di lingkungannya.

Dalam teori organisasi disebutkan bahwa organisasi modern harus secara terus menerus belajar (Learning Organization) agar berkelanjutan dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap perubahan lingkungan. Organisasi yang terus belajar akan dengan mudah melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Jika Freeprot masih bertahan dengan kenyamanan yang diciptakan Kontrak Karya yang akan berakhir pada 2021, itu bertentangan dengan teori organisasi yang sebenarnya dikembangkan oleh orang Amerika Sendiri.

Akan sangat menyedihkan, ketika organisasi dari negara yang mengajarkan jargon-jargon demokrasi, pembangunan, pengetahuan, ilmu-ilmu organisasi dan berbagai metode dan alat pembangunan, justru mengabaikan semua ajaran-ajaran itu. Freeport tidak boleh terus-menerus menikmati kenyamanan di bawah tempurungnya. Itu akan merusak organisasi itu sendiri. Freeport harus melihat keluar bahwa lingkungannya berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sebab, perubahan lingkungan organisasi adalah sebuah keniscayaan.

Negara Indonesia yang merupakan lingkungan organisasi Freeport, juga sedang berubah. Perubahan yang didasarkan pada pelaksanaan amanat UUD, Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku. Freeport tidak punya alasan untuk meminta Indonesia melanggar Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan yang berlaku di Indonesia, hanya karena menolak beradaptasi dengan lingkungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun