Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Surat-surat Bu Sri dan Kisah Anak-anaknya

14 Maret 2017   18:48 Diperbarui: 16 Maret 2017   02:00 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama, Bu Sri mempertanyakan hasilan dari anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari APBN. Angka 20% ini diatur dalam Undang-Undang, sehingga pemerintah wajib mengalokasikan besaran itu. Jika dinominalkan, maka 20% itu setara dengan kisaran Rp. 400 T. Tentunya, jamaknya anggaran pemerintah, setiap rupiah yang dibelanjakan, harus ada barang dan jasa yang terukur dan berkualitas. Dengan sistem performance-based budget system atau anggaran berbasis kinerja, pertanyaan Sri Mulyani wajar saja diajukan.

Bu Sri sangat sedih melihat anggaran yang habis begitu saja tanpa ada dampaknya bagi pembangunan, terutama pengurangan angka kemiskinan dan juga kesenjangan kesejahteraan. Anggaran pendidikan sebesar itu dikritik Sri Mulyani karena masih banyak sekolah yang rusak. Anggaran lain seperti kesehatan yang 5% dari APBN sesuai Undang-Undang Kesehatan, masih juga dikorupsi. Hal yang sama mungkin juga dikhawatirkan Sri Mulyani terjadi di sektor pendidikan.

Bu Sri merasa upaya kerja kerasnya untuk mengumpulkan pajak demi peningkatan pembangunan di Indonesia akan sia-sia jika tidak mendapatkan hasil yang ditargetkan. Program Tax Amnesty terus didorong untuk memperluas basis pajak yang diharapkan berujung pada peningkatan pendapatan pajak.

Bu Sri mewanti-wanti jangan sampai uang rakyat yang dikumpulkan dengan susah payah itu dicuri. Upaya pencurian uang rakyat ini akan merusak proses pembangunan dan hasil-hasilnya. Tetapi, faktanya, uang rakyat itu masih terus dicuri. Bahkan diantara pencurinya adalah anak-anak Bu Sri sendiri.

Kalau kisah Gayus Tambunan diulas, mungkin agak berjarak. Itu kisah lama dengan hasil garongan mencapai trilyunan. Kisah terbaru terjadi di kisaran November 2016 lalu. Berturut-turut dalam waktu yang tidak berselisih lama, dua kejadian menimpa anak-anak Bu Sri.

Pada 21 November 2016, malam hari, KPK melakukan tangkap tangan pejabat ditjen pajak di rumah pengusaha yang akan menyuapnya. Tujuannya untuk mengurangi jumlah pajak. Pajak yang seharusnya Rp. 78 milyar, minta diturunkan dengan janji imbalan Rp. 6 milyar. Pada 11 November, polisi menagkap pejabat bea cukai Semarang. Penangkapan dilakukan terkait pungli pengurusan dokumen impor. Nilainya Rp. 340 juta. Untuk kasus pertama di atas, ‘bau-baunya’ hingga ke Pejabat Dirjen-nya.

Bu Sri sepertinya terbiasa dengan mencurahkan kekesalan dan kebahagiannya melalui surat-surat yang ditulis tangan. Untuk kejadian penangkapan anak buahnya ini, Sri Mulyani menuliskan juga sebuah surat yang menunjukkan kekecewaannya. Surat tertanggal 22 November 2016, sehari setelah penangkapan, Bu Sri menyampaikan kekecewaannya sekaligus dorongan.

Dalam suratnya Bu Sri Mulyani mengajak jajarannya untuk membersihkan nama baik dan reputasi Kementerian Keuangan yang telah tercoret oleh tindakan para oknum. Meskipun kecewa, Bu Sri Mulyani tetap mendorong semangat anak-anaknya untuk menghadapi hari esok dengan tegar. Lebih lanjut Bu Sri mengatakan bahwa mereka sanggup untuk membangun Kementerian Keuangan yang dibanggakan dan dipercaya rakyat Indonesia. Bu Sri mendorong supaya anak-anaknya bekerja dengan jujur, profesional, berkompeten, bermartabat dan kredibel.

Fenomena Gunung Es

Kejadian-kejadian korupsi seprti di atas selalu merupakan puncak es dari fakta yang sebenarnya. Jika demikian, maka korupsi-korupsi yang ada, mungkin lebih besar, bisa jadi masih banyak yang belum ditemukan. Upaya-upaya telah banyak dilakukan termasuk memberikan remunerasi yang paling tinggi diantara pegawai pemerintah. Tetap saja, kejadian yang sama terulang.

Jika ditilik lebih lanjut, dengan menyelam lebih dalam lagi, pasti bisa banyak kejadian ditemukan. Mungkin berfikirnya, yang ditangkap hanya pejabat yang melakukan pencurian uang rakyat dalam jumlah yang material. Tetapi, jika banyak dari pegawainya yang melakukan korupsi kecil, jika ditotal, tetap saja angkanya menjadi signifikan.

Pernah sekali ditemukan celotehan para anak-anak Bu Sri di sebuah akun di facebook. Mungkin omong-omongnya itu adalah candaan. Dalam omong-omong itu ada pembicaraan yang mencandai temannya yang memakai mobil yang tua. Temannya memberikan komentar soal keberadaan mobil Humvee yang baru dibelinya. Diucapkan dengan gaya bercanda memang. Tetapi, meskipun candaan bisa juga itu hanya sebuah sinyal dari tindakan yang mungkin terjadi, walau bisa jadi tidak sebesar harga mobil tersebut.

Di lain kesempatan, ada juga rumor-rumor yang beredar soal kebiasaan istri-istri para pegawai pajak ini. Tidak semua. Jika ingin membeli sesuatu, komentar para istri-istri ini, “Ah, itu kan cukup dengan satu amplop”. Satu amplop yang bisa diartikan segepok uang yang nilainya bisa jadi besar. Jika dilakukan dalam waktu yang lama dan jumlah yang banyak, maka pembangunan berkualitas yang diharapkan Bu Sri tidak akan terjadi.

Kalau dilihat kembali kejadian penagkapan di Tanjung Priok, terkait dweling time, polisi menemukan uang di laci-laci meja pegawai pelabuhan. Uang ada dimana saja. Ini menandakan banyaknya uang yang dipungli. Rumor yang relatif sama di kantor Bu Sri, bisa jadi mengkonfirmasi kejadian di Pelabuhan Tanjung Priok yang berujung pada mundurnya RJ. Lino itu. Kabarnya, jika anak-anak Bu Sri mau menghibur diri di karaoke, mereka tinggal mencari dilaci sebuah amplop berisi gepokan uang untuk dihabiskan. Lagi-lagi ini hanya rumor.

Profiling Anak-Anaknya

Sejatinya, harapan Bu Sri dalam suratnya itu tidak akan tercapai jika harus menunggu para kelas kakapnya tertangkap. Upaya-upaya internal yang terus menerus harus tetap dilakukan. Bukankah seharusnya menyapu halaman yang kotor dengan sapu yang bersih? Jika digunakan sapu yang kotor, masa diharapkan lantainya akan bersih. Itu sama saja menentang logika akal sehat.

Dengan demikian, Bu Sri harus melakukan pembersihan di kantornya untuk menciptakan sapu yang bersih. Ini perlu untuk membangun institusi bermartabat dan dibanggakan. Anak-anaknya harus dipastikan tidak melakukan pencurian-pencurian yang bisa merusak cita-cita dan mimpi indah Bu Sri. Tindakan apa yang bisa dilakukan?

Bu Sri bisa melakukan profiling. Profiling ini sudah banyak digunakan untuk mendapatkan gambaran jelas tentang seseorang. Facebook, dalam merekrut stafnya, telah menggunakan cara-cara profiling ini. Facebook akan melihat segala hal yang dilakukan oleh calon karyawannya melalui berbagai hal yang diterakan di berbagai media sosial yang ada. Dilakukan pencarian yang berkaitan.

Dengan anak-anaknya, Bu Sri bisa juga melakukan hal yang sama. Lihatlah tingkah laku anak-anaknya. Apakah yang terjadi adalah sebuah kewajaran. Apakah seorang pegawai pajak bergaji Rp. 20 juta layak memiliki berbagai mobil dan rumah di berbagai tempat? Apakah seorang anak Bu Sri bergaji 30 juta, layak membeli rumah mewah dengan cicilan Rp. 70 juta per bulan? Layakkah seorang pejabat di keluarga Bu Sri bergaji Rp. 100 juta tetapi memiliki kekayaan hingga Rp. 60 milyar? Tidak wajar kan? Atau itu wajar?

Semua bisa ditelusuri. KPK memiliki cara-caranya. Periksa lebih mendalam setiap anak-anak Bu Sri yang memilikiprofile yang tidak wajar. Lihat di halaman parkir, mobil seperti apa yang berjajar dan siapa pemiliknya. Lihat di laporan harta kekayaannya, jika pejabat tinggi, apakah hartanya seluruhnya dilaporkan.

Kerahkan petugas-petugas dari inspektorat untuk melakukannya. Kerjasama dengan KPK juga diperlukan seperti yang dilakukan kementerian-kementerian lainnya. Jika Bu Sri sungguh-sungguh mau menggalakkan Tax Amnesty dengan membuka rekening wajib pajak, coba mulai dengan rekening anak-anaknya. Dari situ akan didapat apakah sapu yang digunakan Bu Sri itu bersih atau kotor.

Jika nantinya sapu-sapu itu sudah bersih, Bu Sri tidak perlu lagi menuliskan surat yang menggambarkan kekecewaannya. Terlebih lagi, lembaga yang dipimpim Bu Sri akan menjadi bermartabat dan bereputasi baik. Uang pajak warga negara juga tidak akan bocor mengalir ke tempat yang tidak semestinya. Harapannya, surat Bu Sri tentang kekecewaanya bertanggal 22 November itu, akan menjadi yang terakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun