Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengelola Sampah, Mengelola Tunas Bangsa

1 Maret 2017   17:06 Diperbarui: 2 Maret 2017   12:00 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah penerbangan nasional, seorang penumpang dengan santai membuang bungkus permen yang baru dimakannya ke lantai pesawat. “Nanti ada petugas yang membersihkannya”, ujar bapak itu, takkala penulis menatap heran. Memang, pasti ada nanti pramugari yang cantik-cantik yang akan membersihkannya. Tetapi, pertanyaannya adalah mengapa bapak itu begitu santai dan mampu mengotori lantai pesawat yang kelihatan masih baru dan kinclong.

Cuma sayang sekali, tindakannya itu tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang tidak bertanggung-jawab. Tindakan yang dikira wajar. Memang ada petugas yang akan membersihkannya. Akan tetapi bisa dibayangkan jika banyak orang yang berperilaku dan berpikiran sama. Akibatnya, sampah selalu menjadi masalah. Masalah banjir dan kesehatan serta turunannya tidak terlepas dari mentalitas serupa.

Bisa dipastikan, di Indonesia masih banyak yang berperilaku sama. Setidaknya, asumsi seperti itu tercermin dari banyaknya sampah yang diproduksi.

Data berikut bisa menjustifikasinya. Menurut Kompas edisi 26 Februari 2017, dengan data yang diolah dari Katadata dan Jambeck 2015, Indonesia termasuk lima besar negara dengan produksi sampah terbanyak di dunia. Indonesia berada di urutan kedua di bawah Cina. Dengan perbandingan jumlah penduduk antara Cina dan Indonesia, produksi sampah per kapita Indonesia bisa jadi yang terbesar.

China memproduksi 262, 9 juta ton. Indonesia berada di urutan kedua dengan produksi 187,2 juta ton. Filipina menyusul di urutan ketiga dengan 83,3 juta ton, Vietnam 55,9 juta dan Srilanka 14,6 juta.

Agak mengherankan juga, Amerika Serikat dan Eropa dimana penduduknya juga banyak dan merupakan negara industri malah memproduksi sampah lebih sedikit dibandingkan lima negara di atas yang semunya kebetulan berada di Asia. Bahkan, tiga di antaranya berada di Asia Tenggara.

Jakarta sendiri, menurut dinas kebersihan DKI berdasarkan data tahun 2014 saja, memproduksi hingga 6500 ton per hari. Jika dibandingkan, jumlah sampah ini setara dengan 25 pesawat jumbo jet 747, atau 4 kali lapangan sepakbola dengan ketinggian 1 meter.

Sampah yang terserap oleh sistem pengolahan sampah pemerintah hanya 75%. Sisanya masih terbuang dimana saja. Upaya telah banyak dilakukan untuk mengelola sampah dengan tujuan mengurangi produksi sampah dan pada gilirannya akan mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir.

Faktanya, Masih Nyampah

Meskipun kampanye memerangi sampah sudah dilangsungkan, tetapi sampah tetap menjadi persoalan. Seperti dikutip dari Kompas Cetak 1 Maret 2017, terdapat 9.550 relawan di 255 Kabupaten/Kota yang aktif berkampanye untuk mengelola sampah. Bank-bank sampah juga dididirkan dan hingga kini telah mencapai 4.280 di 30 provinsi dengan 16.000 relawan.

Upaya ini, meskipun intensif, belum menghasilkan. Sampah masih menjadi persoalan serius. Karena produksi sampah individu yang banyak, hampir dan juga kebiasaan membuang sampah sembarangan.

Tidak kurang peraturan dan aturan yang ada sudah dibuat. Hari Peduli Sampah Nasional juga sudah dicanangkan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah ada. Turunannya, Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga sudah tersedia. Peraturan Menteri juga sudah dibuat. Bahkan di Jakarta, Peraturan Pemerintah Daerah Tentang Membuang Sampah sembarangan sudah ada. Sanksinya juga sudah cukup keras. Setiap warga yang tertangkap tangan membuang sampah akan dikenakan denda Rp. 500.000 atau tahanan badan.

Upaya-upaya di atas tidak juga menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia dan Jakarta pada khususnya. Sampah masih mengisi saluran-saluran air. Ruang-ruang terbuka Jakarta juga masih dipenuhi sampah. Taman-taman juga tidak jarang menjadi tempat sampah. Orang-orang masih dengan mudah membuang sampah sembarangan. Itu ada di semua golongan. Coba perhatikan gerbang tol. Sampah potongan karcis akan dengan mudah ditemukan. Sampah yang berterbangan kesana-kemari. Termasuk juga puntung rokok yang banyak memproduksi kekotoran lingkungan.

Mengatasi persoalan sampah tidak bisa dengan pendekatan struktural saja. Pendekatan budaya harus dilakukan. Mengurangi produksi sampah, menjaga kebersihan lingkungan dan pada gilirannya pengelolaan sampah berkelanjutan, harus menjadi sebuah personality.Karakter bangsa yang harus dibangun sejak dini.

Kelola Tunas Bangsa

Sebuah restoran makanan cepat, melakukan kampanye kepada anak-anak kecil. Mereka mengeluarkan milyaran dolar untuk mengkreasi berbagai mainan yang berkaitan dengan promosi dan internalisasi nama restoran cepat saji tersebut kepada anak-anak yang masih sangat muda. Kisaran 3-5 tahun. Proses ini mencoba menanamkan dalam-dalam di benak anak-anak tersebut merek restoran itu. Bentuknya, warnanya dan lagunya.

Tujuannya adalah menciptakan sustainable consumer. Cara pandangnnya sederhana saja. Ketika pesan itu sudah tertanam di ingatan, itu akan bertahan lama. Anak-anak itu akan membawa pesan tersebut hingga mereka dewasa nanti. Dalam perjalanan hidupnya, seorang anak akan mempengaruhi orang tuanya, temannya, anggota keluarga, teman-teman dan nantinya keturunannya hingga cucunya.

Rata-rata usia hidup orang Indonesia sekitar 68,4 tahun untuk laki-laki dan wanita 72,7. Setidaknya menurut Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington, yang melakukan penelitian di tahun 2013. Maka setidaknya dalam tempo 63-65 tahun, iklan tersebut akan bertahan. Dengan biaya yang relatif rendah, iklan tersebut akan bertahan lama. Konsumen bahkan berlipat dengan asumsi satu anak dapat mempengaruhi beberapa orang lainnya.

Dengan alur pikir yang serupa, pengelolaan sampah dapat menggunakan pendekatan tersebut. Anak-anak seharusnya dapat dikelola menjadi agen-agen yang akan merubah pendekatan pengelolaan sampah yang berbasis pada pengurangan produksi sampah dan berkelanjutan.

Anak-anak diajarkan tentang makna kebersihan dan manfaatnya. Cara-caranya juga didiberitahukan dan dipraktekkan secara bersama-sama. Sekolah menjadi tumpuan harapan, karena kolektivitas akan membangkitkan semangat dan bersemainya shared-value. Anak-anak juga akan termotivasi lebih kuat, terlebih jika dilakukan dengan sistem kompetisi.

Penanaman nilai-nilai kebersihan, manfaatnya dan upaya-upayanya dari sejak usia dini, akan membentuk generasi yang menjaga kebersihan seumur hidupnya. Sama dengan ekspektasi iklan itu, seorang anak pastinya akan mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya. Gerakan ini efektif jika dilakukan dengan proses kinestetis. Tidak hanya teori dan semboyan-semboyan yang terpampang di dinding. Proses yang dilakukan termasuk pemilahan sampah dan pelatihan tentang penerapan 3R. Proses-prosesnya boleh dalam bentuk permainan dan dilakukan secara terus menerus.

Di Jepang, sistem pendidikan dasarnya, pada masa tiga tahun pertama berbeda dengan Indonesia. Di negeri Sakura itu, tiga tahun pertama digunakan untuk membangun karakter anak didik. Salah satu yang diajarkan adalah kebersihan. Upayanya mencakup soal bertanggung-jawab dalam menjaga kebersihan sekolah. Pelibatan langsung dalam proses kebersihan sekolah dilakukan. Anak-anak didik menyapu, mengepel dan membersihkan debu. Itu dilakukan setiap hari dalam waktu tiga tahun itu. Tidak heran kemudian, negeri matahari terbit itu terkenal dengan kebersihannya.

Proses ini tentunya akan jauh lebih murah. Dengan membangun budaya kebersihan termasuk segala aspeknya seperti mengurangi penggunaan sampah dan menjaga kebersihan. Dengan demikian, mulailah sekolah-sekolah kita memberikan pendidikan kebersihan yang intensif dan berkelanjutan. Anak-anak didik dilibatkan secara langsung dalam proses, mulai dengan hal yang ringan. Dengan cara kolektif, maka anak-anak akan lebih termotivasi untuk melakukannya.

Kelak, tidak akan ada lagi orang yang dengan santai membuang sisa tiket jalan tol dari pintu mobil, lalu berkata dalam hati, “Nanti ada petugas yang akan membersihkannya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun