Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gunning Fog Index, Teknik Menerka Tingkat Keterbacaan Tulisan

24 Februari 2017   22:58 Diperbarui: 26 Februari 2017   00:00 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: medicalwritingcourse.net

Menulis bagi sebagian orang merupakan siksaan. Jika sudah berurusan dengan menulis, hal pertama yang kerap dipikirkan ternyata judulnya. Lalu beruntun pertanyaan menyusul. Mau menulis apa? Apakah nanti tulisanku bagus? Apakah plotnya sudah benar? Apakah penyusunan kalimatnya sudah tepat? Masih banyak lagi.

Jika mencari penyebabnya, salah satunya bisa ditarik ke cara belajar di sekolah. Menulis tidak pernah menjadi satu mata pelajaran. Anak-anak didik disuruh menulis ketika guru sedang malas mengajar. Setidaknya begitu pengalaman beberapa rekan. Menulis dimana proses menyampaikan isi pikiran, pandangan, pendapat, perasaan, tidak pernah menjadi perhatian. Sementara di negara maju, menulis harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Proses ini akan berlanjut terus selama hidupnya.

Pengalaman penulis tentang ini cukup membuat kaget juga. Dulu, pasca gempa bumi Padang tahun 2009, penulis membawa tim penilai kerusakan dan kerugian pasca bencana ke sana. Totalnya ada 43 orang dengan berbagai kewarganegaraan. Anggota tim berasal dari berbagai organisasi international; United Nations, World Bank, Asian Development Bank dan European Commission. Di satu kesempatan, seorang anggota tim berkebangsaan Jerman mengeluhkan kemampuan menulis orang Indonesia. “They are so bad in writing”, ujarnya. “The report is messy”, lanjutnya lagi. Pada intinya, orang Indonesia yang ikut dalam tim itu tidak bisa menulis. Kalau pun bisa, tulisannya jelek. Setidaknya dalam pandang buleitu.

Awalnya tersinggung. Tetapi kemudian menyadari kenyataan yang ada. Laporan-laporan orang Indonesia harus diedit dan diperiksa ulang agar pesan yang ingin disampaikan tertulis dengan baik. Lantaran laporan itu untuk audiens global.

Dunia yang Berubah Membuka Kesempatan

Hingga dewasa ini, proses menulis di sekolah masih tidak mendapat perhatian. Teman karibnya menulis pastinya tidak juga terperhatikan. Ya, membaca. Membaca juga sesuatu yang tidak jamak dilakukan oleh pelajar Indonesia. Tidak mengherankan kemudian tingkat ‘kecerdasan’ bangsa Indonesia secara aggregatrendah dibandingkan negara lain, bahkan untuk tingkat Asean.

Tetapi, banyak juga yang berusaha sendiri untuk mengembangkan kemampuan menulis. Secara otodidak. Menggali kemampuan secara mandiri menuangkan isi pikiran lewat tulisan. Dengan kemajuan teknologi, tersedia wadah sangat luas untuk menulis. Dalam berbagai format media dan bentuk tulisan.

Tersedianya media ini menciptakan dinamika tersendiri bagi banyak pihak yang tertarik menulis. Awalnya susah, menegangkan dan mencemaskan serta menggelisahkan. Apalagi, ketika memuat tulisan di Kompasiana, untuk penulis pemula, yang dirasakan pasti sensasi tegang.

Banyak pertanyaan yang muncul. Apakah tulisanku dilirik? Apakah tulisanku bagus? Apakah akan dimuat? Pertanyaan yang muncul karena belum paham aturan Kompasiana. Kompasiana menerapkan moderasi tingkat rendah. Kebijakan moderasi rendah ini sudah diamankan di syarat dan ketentuan.

Tetapi, yang pasti banyak motivasi untuk menulis. Ada yang sekedar ikut trend. Akibatnya ada yang bertahan dan melaju. Ada juga yang gagal alias mandek. Sebagian lagi menulis untuk bisa memiliki penghasilan. Seorang mahasiswi dipaksa Ayahnya. Menurut Ayahnya untuk jurusan yang dipilih, menulis itu keharusan. Buku-buku juga disediakan.

Terlepas dari apa pun motivasi menulis, satu hal yang pasti, penulis ingin tulisannya dibaca. Dalam konteks Kompasiana, penulis artikel ingin tulisannya dibaca, dikomentari positif, dinilai dan di-share. Semakin banyak yang melakukan hal itu, semakin senang. Tulisan dan namanya bisa nongol di Terpopuler, Gres, Nilai Tertinggi, Featured Article, Headline dan Pilihan setidaknya.

Untuk mencapai kesana, ada berbagai cara. Di Kompasiana dengan platform bebas ada yang memberi judul bombastis. Judul sangat panjang dan kadang membuat bingung, itu judul atau paragraf pembuka. Ada juga judul yang langsung memuat kesimpulan. Itulah kenyataannya. Disamping tentunya ada juga yang sunguh-sungguh berupaya membuat tulisan yang baik.

Tetapi, Kompasiana membiarkan saja ‘demokrasi penulisan’ kebablasan. Kondisi ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi penulis pemula, yang dengan segala kekuatan mental, psikologis dan emosi, berani memuat.

Gunning Fog Index

Upaya-upaya yang dijabarkan di atas dilakukan untuk satu hal, yakni meningkatkan keterbacaan. Mengumpulkan sebanyak-banyaknya pembaca tulisan. Di samping hal ‘bombastis’ di atas, ada banyak cara. Salah satunya Gunning Fog Index.

Gunning Fog Index adalah alat ‘pengukuran’ tingkat keterbacaan yang sangat efektif. Index ini diciptakan Robert Gunning. Dia bekerja di Robert Gunning Clear Writing Institute di Santa Barbara, Amerika Serikat. Meskipun awalnya diciptakan di negara berbahasa Inggris, tetapi ini berlaku untuk bahasa lain. Demikian penjelasannya seperti disarikan dari Quantum Writing-nya Hernowo (Desember 2015).

Menurut teknik ini, sebuah tulisan yang tingkat keterbacaan tinggi jika memiliki Gunning Fox Index tertentu. Jika Gunning Fog Index-nya lebih dari 14, pembaca akan meninggalkan tulisan. Sebabnya, dipastikan terdapat kalimat-kalimat dengan banyak kata. Jumlah kata bersuku kata tiga juga banyak. Begitu menurut Gunning. Untuk tulisan di media.

Bagaimana cara mengukurnya? Sederhana saja. Ambil sebuah tulisan anda, tidak perlu seluruhnya, sampel saja. Katakanlah berkisar 100 kata. Coba hitung jumlah kata-kata rata-rata dalam satu kalimat. Hitung juga jumlah persentase kata yang bersuku kata tiga atau lebih. Jumlahkan keduanya, rata-rata dan persentase. Lalu bagi dengan 2,5. Itulah rumus yang digunakan Gunning untuk menentukan Fog Index sebuah tulisan.

Di sumber aslinya, ditentukan langkahnya sebagai berikut. Sedikit berbeda, tetapi hasil sama.  Setelah menentukan tulisannya, tentukan rata-rata jumlah kata per kalimat. Caranya membagi jumlah total kata dengan jumlah total kalimat. Selanjutnya hitung kata-kata kompleks, tiga suku kata atau lebih. Tetapi, tidak termasuk kata-kata benda yang umum, istilah-istilah, dan imbuhan. Cari persentasenya dengan membagi jumlah kata kompleks dengan seluruh kata, lalu dikali 100. Jumlahkan rata-rata dan persentase tadi, lalu kalikan 0.4. Membagi dengan 2,5 seperti di buku Quantum Writing sama saja hasilnya jika dikalikan 0.4.

Media-media internasional juga menggunakan index ini. Majalah Timedan Wall Street menjaga Index tulisan awaknya dikisaran 11. Sementara Reader’s Digets di angka 10. Berarti jumlah rata-rata kata dalam kalimatnya kurang dari 12.  Kata-kata bersuku kata tiga atau lebih persentasenya kurang dari 18.

Teknik ini juga digunakan untuk menentukan tingkat kerumitan buku-buku pelajar di Amerika. Teknik yang dikembangkan tahun 1952 ini, menentukan kerumitan bacaan untuk pelajar di Amerika sesuai dengan grade-nya. Kelas 6 SD, Gunning Fog Indexnya 6. Tertinggi untuk lulusan universitas 17. Itu untuk pelajar dengan budaya membaca dan menulis yang tinggi. Untuk Indonesia, angka 12 cukuplah?

Kalimat-kalimat panjang di sebuah tulisan tentunya membuat pembaca bingung. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan konsentrasi rata-rata manusia terbatas pada kalimat dengan kata yang lebih sedikit. Jika 14 kata per kalimat, 50% pembaca akan bingung. Jika sampai 20 kata, dipastikan 80% pembaca membuang tulisan itu.

Index ini juga berlaku untuk jenis tulisan apa pun. Tulisan fiksi atau non-fiksi. Puisi juga bisa.  Laporan bisnis juga dapat menerapkan teknik ini. Tetapi, untuk amannya, Gunning menyarankan pada Fog Index 10-14. Untuk tulisan kalangan umum tentunya. Tetapi, akan lebih baik jika di 10 saja. Ini menurut penulis.

Jadi, para penulis yang menggunakan kalimat-kalimat pendek, bisa jadi telah menggunakan Gunning Fox Index ini. Penulis sendiri masih mengalami kesulitan menerapkannya. Bisa jadi karena memiliki latar belakang pembelajaran bahasa yang terstruktur baik Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Terbiasa dengan pandangan jika sulit dimengerti, berarti tulisannya ‘bagus’.

Dengan demikian, menjadikan tulisan di beberapa feature Kompasiana dapat menggunakan teknik ini. Disamping tentunya dengan banyak cara lain, seperti aktualitas dan pilihan kata serta kelugasan dalam cara menuliskannya.

Sebagai suatu teknik, rasanya tidak rugi mempelajari Gunning Fog Index ini dan menerapkannya. Siapa juga mau memperhatikan tulisan dengan kalimat panjang-panjang. Apalagi di Kompasiana yang setiap menit selalu muncul tulisan baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun