Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pertarungan Para Elit dan Rakyat yang Bahagia

23 Februari 2017   13:17 Diperbarui: 23 Februari 2017   13:31 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan pendukung Ahok-Djarot mendatangi pesta rakyat di bekas Driving Range Senayan yang didukung artis-artis ibukota tanpa bayar. Mereka menginginkan pemimpin yang membuat mereka bahagia. Sumber: megapolitan.kompas.com

Saat ini, di Jakarta terjadi pertarungan para elit yang panas. Tujuannya untuk memperebutkan kekuasaan, menjadi DKI 1. Posisi ini sangat penting. Apalagi ada mimpi dimana gubernur Jakarta dapat meloncat menjadi presiden, seperti ‘peruntungan’ Jokowi yang berasal dari gubernur Jakarta dan sekarang presiden Republik ini. Perebutan ini masuk ke putaran kedua. Makin keras dan ada yang mengatakan jauh lebih panas.

Perebutan kekuasaan ini melibatkan para elit baik di pemerintahan maupun partai. Pertarungan ini juga menjalar hingga ke akar rumput. Masyarakat terbelah dua, karena memang hanya ada dua pilihan. Pertarungan pemilihan presiden 2014 terulang lagi di DKI. Terpaksa, masyarakat mengalami bipolarisasi.

Indikator pilihan masyarakat atas calon yang bertarung bervariasi, setidaknya melalui survey yang dilakukan oleh SMRC. Indikator yang mendorong seseorang menjatuhkan pilihan pada salah satu calon antara lain program yang meyakinkan, agama, pilihan keluarga, memperjuangkan rakyat cilik, dan kampanye yang diingat. Ini di tingkat akar rumput atau para pemilih. Masih menurut SMRC, indikator agama bermain di kisaran 17-20%. Tetapi, sepertinya amunisi untuk ini sudah habis di putaran pertama.

Di tingkat elit, terntunya semua itu adalah omong kosong. Ini bukan soal empat indikator yang disebutkan di atas. Ini soal kekuasaan, ini soal kenikmatan berkuasa dan ini soal pengaruh serta perang kekuatan baik finansial maupun sumber daya. Tidak sama persepsi di akar rumput dan di tingkat elit. Pada tataran akar rumput tentunya ada yang harus dijabarkan untuk dapat menjatuhkan pilihan. Di tingkat elit, tidak perduli siapa calon, yang penting bisa berkuasa. That’s it. Kekuasaan berarti bisa berbagi-bagi rejeki. Migas di kelompok siapa dan hutan di tangan siapa. Setidaknya, cerita dulu.

Para mengamat mengatakan bahwa pertarungan elit politik ini akan mengakibatkan keriuhan yang berujung pada penderitaan rakyat. Apalagi adanya upaya-upaya yang dilakukan partai di pusat dan daerah. Meskipun upaya tersebut diakui tidak terkait pilkada. Sekali lagi, mereka seprtinya terbiasa bersilat lidah.

Terjadinya penolakan dari anggota partai-partai di tingkat pusat dan provinsi yang diwakili DPRD DKI dikhawatirkan akan mengakibatkan pelayanan publik menjadi mundur dan terhambat. Ini akan merugikan masyarakat dan kepentingan publik yang lebih luas. Lalu pengamat ini mengatakan semua pihak harus duduk bersama untuk mencarikan jalan keluarnya.

Pendapat yang sangat normatif. Lantaran, pertarungan ini sudah di point of no return. Perbedaannya sudah sangat kontras. Hitam putih dan tidak ada grey area. Seperti itulah adanya. Ini soal kalah menang. Pihak yang menang akan mendapatkan kekuatan dan kekuasaan untuk mengatur sumber-sumber daya termasuk kekayaan dari DKI. Jika satu pihak menang, maka akan mudah untuk melangkah ke tingkat berikutnya. Begitu kira-kira pandangan mereka.

Ini Pertarungan Nilai

Ternyata, di akar rumput, tidak melulu seperti yang digambarkan oleh para pengamat tersebut. Ada masyarakat yang berbahagia dengan adanya pertarungan para elit ini. Masyarakat ini mengalami eforia dalam kegaduhan, karena mereka memiliki cara pandang yang berbeda.

Kelompok masyarakat ini melihat bahwa yang terjadi adalah pertarungan nilai. Pertarungan nilai baik dan buruk dalam mewujudkan Jakarta yang lebih baik dan manusiawi. Pertarungan nilai yang mewujud dalam hasil-hasil pembangunan dan layanan publik yang makin mumpuni.

Kelompok masyarakat ini sejalan dengan nilai-nilai itu. Masyarakat yang sudah merasakan manfaat dari yang telah dilakukan salah satu calon, yakni petahana. Petahana dalam masa hampir 4 tahun lebih terlibat dalam menata Jakarta, telah melakukan banyak hal. Bahkan pada tingkatan tertentu masuk kategori ‘impossible’.

Masih ingat kan soal Kalijodo yang sekarang sudah berubah menjadi menjadi Ruang Terbuka Publik Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau dengan luasan lebih dari setengah hektar. Kemarin baru diresmikan sang petahana. Kawasan ini dulu adalah kawasan angker yang malas didatangi oleh mereka yang tidak nyaman dengan kehidupan berbasis ‘lendir’ dan minuman keras. Kawasan dengan sumber pendapatan tinggi dari bisnis ‘gelap’ kehidupan. Ancaman menjelang penutupan ternyata hanya angin lalu.

Keluarbiasaan yang lain, tentang penutupan Stadium dan Miles. Untuk penikmat dunia gemerlap, stadium adalah tempat yang menggetarkan sekaligus ‘nikmat’. Tak ada yang percaya kalau kemudian stadium bisa jadi ‘mendiang’. Itulah kekuatan dari kepercayaan akan nilai. Mereka bertarung untuk membelanya.

Rakyat Bahagia itu Siapa?

Tidak banyak. Jumlah mereka tidak sampai 7 jutaan. Di antaranya adaalah 42,96% dari pemilih. Jumlahnya menurut laman KPU DKI 2.357.785 orang. Ini di Jakarta saja. Masih banyak dari tempat lain. Masyarakat ini rela mengeluarkan daya upayanya untuk memastikan suaranya bernilai untuk Jakarta yang lebih baik. Mereka rela melakukan yang mereka bisa untuk mendukung Ahok.

Masyarakat ini sebagian rela melakukan kampanye-kampanye tersendiri melalui media sosial. Setiap hari membagi dan memberikan dukungannya lewat berbagai format medis sosial. Sebagian dari mereka rela berjubel di Rumah Lembang. Bahkan ada yang mendatanginya berkali-kali. Di antara mereka ada yang membeli berbagai merchandise pasangan calon nomor dua ini.

Ada juga yang membentuk posko-posko pemenangan dengan pendanaan sendiri. Ada yang selalu setia mendampingi Ahok di persidangan. Bahkan sebagian kecil lagi memberikan sumbangan sukarela. Jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 10.000an. Mereka sesuai kemampuannya menyumbang hingga mencapai kisaran 60 milyar. Menyumbang dengan senyum dan tanpa tekanan. Indahnya!

Padahal, jika dilihat dari calon yang mereka dukung, pastilah sangat tidak mungkin menang pada putaran pertama karena faktor triple minority-nya Ahok dan tekanan massa yang luar biasa terkait dugaan penistaan agama yang berujung pada sidang berseri. Tekanan ini begitu keras dari kelompok yang berseberangan dengan Ahok itu kerasa hingga ke relung-relung hati para pendukungnya.

Tekanan ini tidak berhenti di Jakarta saja. Bahkan mereka-mereka yang jauh dari Jakarta pun merasakan ‘kecemasan’ yang merambati hati mereka. Pada satu kondisi yang mereka katakan ‘ketidaknyamanan karena Ahok’. Dari ujung-ujung Indonesia ucapan seperti ini mengalir. Di Jakarta hal itu bermuara pada sebagian yang tidak memilih Ahok lantaran ketidaknyamanan.

Tetapi, ketidaknyamanan ini memiliki tandingan. Banyak eforia yang muncul dari ujung-ujung Indonesia dan bahkan banyak kota-kota lain di dunia. Di Rumah Lembang dapat ditemui simpatisan Ahok yang tidak bisa memilih karena bukan warga Jakarta. Mereka membagi kebahagian dan dukungan dengan hadir dan menyumbang melalui pembelian pernik-pernik khas pasangan nomor 2 ini. Dari tempat lain, pesan dukungan dan pesanan pernak-pernik juga mengalir. Sementara itu, gambar-gambar pendukung Ahok dengan baju kotak-kotaknya melakukan flash mob, tarian bersama dengan judul Hip Hip Hura yang diinisiasi oleh Sys. Ns, mengalir dari penjuru dunia.

Para artis menyelenggarakan pesta rakyat tanpa bayaran. Masyarakat berjubel membawa semangat dan impiannya. Tidak perduli dengan hujan yang bergantian dengan panas. Puluhan ribu memenuhi panggung rakyat ini. Seruan untuk mendukung Ahok diudarakan lewat suara yang menggemuruh ke udara. Di pojok lain, doa-doa malam untuk Ahok menjelang tidur juga disampaikan kepada Yang Maha Kuasa.

Itulah mereka. Rakyat yang bahagia itu. Mereka rela mendukung calon pimpinan mereka dengan semangat dan rasa bahagia yang membuncah. Ketika mereka ditanyakan, apakah mereka memilih Ahok karena Ahok, ternyata jawabannya tidak.

Mereka, rakyat yang bahagia ini, memilih karena nilai-nilai baik. Kejujuran, keterbukaan, konsistensi, pelayanan, kerja keras, toleransi dan transparansi. Nilai-nilai ini kebetulan mewujud dalam sosok Ahok.

Mereka menolak nilai-nilai buruk. Kemunafikan, ketidakjujuran, inkonsistensi, intoleransi, kepura-puraan dan wacanaisasi. Nilai-nilai buruk ini ditenggarai mewujud di sosok lain.

Untuk nilai-nilai itu, mereka dengan bahagia melakukan segala sesuatu yang mereka bisa untuk membelanya. Membela Ahok adalah membela nilai-nilai baik. Itu yang mereka percaya dan itu membuat mereka bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun