Saat ini, di Jakarta terjadi pertarungan para elit yang panas. Tujuannya untuk memperebutkan kekuasaan, menjadi DKI 1. Posisi ini sangat penting. Apalagi ada mimpi dimana gubernur Jakarta dapat meloncat menjadi presiden, seperti ‘peruntungan’ Jokowi yang berasal dari gubernur Jakarta dan sekarang presiden Republik ini. Perebutan ini masuk ke putaran kedua. Makin keras dan ada yang mengatakan jauh lebih panas.
Perebutan kekuasaan ini melibatkan para elit baik di pemerintahan maupun partai. Pertarungan ini juga menjalar hingga ke akar rumput. Masyarakat terbelah dua, karena memang hanya ada dua pilihan. Pertarungan pemilihan presiden 2014 terulang lagi di DKI. Terpaksa, masyarakat mengalami bipolarisasi.
Indikator pilihan masyarakat atas calon yang bertarung bervariasi, setidaknya melalui survey yang dilakukan oleh SMRC. Indikator yang mendorong seseorang menjatuhkan pilihan pada salah satu calon antara lain program yang meyakinkan, agama, pilihan keluarga, memperjuangkan rakyat cilik, dan kampanye yang diingat. Ini di tingkat akar rumput atau para pemilih. Masih menurut SMRC, indikator agama bermain di kisaran 17-20%. Tetapi, sepertinya amunisi untuk ini sudah habis di putaran pertama.
Di tingkat elit, terntunya semua itu adalah omong kosong. Ini bukan soal empat indikator yang disebutkan di atas. Ini soal kekuasaan, ini soal kenikmatan berkuasa dan ini soal pengaruh serta perang kekuatan baik finansial maupun sumber daya. Tidak sama persepsi di akar rumput dan di tingkat elit. Pada tataran akar rumput tentunya ada yang harus dijabarkan untuk dapat menjatuhkan pilihan. Di tingkat elit, tidak perduli siapa calon, yang penting bisa berkuasa. That’s it. Kekuasaan berarti bisa berbagi-bagi rejeki. Migas di kelompok siapa dan hutan di tangan siapa. Setidaknya, cerita dulu.
Para mengamat mengatakan bahwa pertarungan elit politik ini akan mengakibatkan keriuhan yang berujung pada penderitaan rakyat. Apalagi adanya upaya-upaya yang dilakukan partai di pusat dan daerah. Meskipun upaya tersebut diakui tidak terkait pilkada. Sekali lagi, mereka seprtinya terbiasa bersilat lidah.
Terjadinya penolakan dari anggota partai-partai di tingkat pusat dan provinsi yang diwakili DPRD DKI dikhawatirkan akan mengakibatkan pelayanan publik menjadi mundur dan terhambat. Ini akan merugikan masyarakat dan kepentingan publik yang lebih luas. Lalu pengamat ini mengatakan semua pihak harus duduk bersama untuk mencarikan jalan keluarnya.
Pendapat yang sangat normatif. Lantaran, pertarungan ini sudah di point of no return. Perbedaannya sudah sangat kontras. Hitam putih dan tidak ada grey area. Seperti itulah adanya. Ini soal kalah menang. Pihak yang menang akan mendapatkan kekuatan dan kekuasaan untuk mengatur sumber-sumber daya termasuk kekayaan dari DKI. Jika satu pihak menang, maka akan mudah untuk melangkah ke tingkat berikutnya. Begitu kira-kira pandangan mereka.
Ini Pertarungan Nilai
Ternyata, di akar rumput, tidak melulu seperti yang digambarkan oleh para pengamat tersebut. Ada masyarakat yang berbahagia dengan adanya pertarungan para elit ini. Masyarakat ini mengalami eforia dalam kegaduhan, karena mereka memiliki cara pandang yang berbeda.
Kelompok masyarakat ini melihat bahwa yang terjadi adalah pertarungan nilai. Pertarungan nilai baik dan buruk dalam mewujudkan Jakarta yang lebih baik dan manusiawi. Pertarungan nilai yang mewujud dalam hasil-hasil pembangunan dan layanan publik yang makin mumpuni.
Kelompok masyarakat ini sejalan dengan nilai-nilai itu. Masyarakat yang sudah merasakan manfaat dari yang telah dilakukan salah satu calon, yakni petahana. Petahana dalam masa hampir 4 tahun lebih terlibat dalam menata Jakarta, telah melakukan banyak hal. Bahkan pada tingkatan tertentu masuk kategori ‘impossible’.