Ini tentang kisah di suatu negeri.
Suatu ketika Fadel Udjan, seorang tokoh di neeri itu, mengatakan, “Mencuri uang rakyat adalah pelumas pembangunan”. Dia menyerupakan pembangunan sebagai mesin, yang memiliki sistem dan sub-sistem yang saling terhubung. Namanya mesin, untuk mengurangi gesekan masing-masing suku cadangnya, maka diperlukan pelumas. Dengan pelumas, lancar geraknya. Kira-kira begitulah pemaknaan yang coba dipahami.
Dengan demikian, mesin pembangunan yang terdiri dari sistem dan sub-sistem juga perlu dilumasi, dengan uang. Pembangunan pun akan berjalan lancar. Anggaran dapat dicairkan untuk pembangunan dan hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati. Uang pelumasnya, ya dicuri.
Bisa jadi, sang tokoh pernah mengingat sebuah kisah di negerinya yang menjadi penguat pernyataan itu. Cerita kira-kira 30-40 tahun yang lalu, mungkin sekitar tahun 70-80an. Masa ketika sang tokoh masih kanak-kanak atau remaja. Kisahnya begini.
Di suatu masa, negerinya disanjung-sanjung akan menjadi negara industri. Negeri itu akan meninggalkan karakteristik negara agraris. Negara agraris karena produk-produk pertaniannya yang tentunya didukung oleh lahan yang sangat luas. Pemimpinnya pun punya impian untuk menerbangkan bangsanya menjadi negara industri. Tinggal landas dari negara agraris menjadi negara industri akan segera terjadi. Menjadi negara industri tentunya lebih keren daripada sekedar negara agraris.
Jadilah pabrik-pabrik dibangun, barang-barang diproduksi, bahkan pesawat pun diciptakan untuk menjadi bagian dari negara dengan peradaban modern. Apa lacur, namanya mendadak jadi negara industri, tanpa basis yang kuat dalam menciptakan negara industri termasuk teknologi, sumberdaya manusia dan pasar yang siap, produk-produk banjir, tetapi karena masih pemula, produk-produk tidak diterima oleh pasar dalam dan luar negeri. Mau jualan di dalam negeri, kemampuan finansial pasar tidak ada. Jadi, diambil langkah singkat, cepat dan lugas. Para penghuni birokrasi dibiarkan ‘mencuri’ uang rakyat, secukupnya saja untuk dapat membeli produk dalam negeri. Pembeli tercipta, barang produksi mengalir, produksi dapat diteruskan, impian jadi negar industri semakin dekat.
Tetapi, ternyata produk-produk yang diciptakan tetap tidak laku. Mencurinya ditambah. Diperbolehkan mengambil lebih banyak. Selanjutnya industri bergerak, bangunan bertambah, tinggal landas hanya dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama.
Tetapi, apa daya, barang tetap tidak diserap pasar, dan akhirnya pencurian uang rakyat pun menjadi pintu keluar dalam menciptakan proses produksi. Dari mencuri kecil, menjadi besar dan akhirnya menjadi budaya hingga kini. Dalam konteks inilah mungkin Fadel Udjan memahami bahwa pencurian uang rakyat yakni korupsi adalah pelumas pembangunan.
Kisah ini bisa ditambahkan lagi. Masih ada kisah lain tentang cita-cita memiliki mobil nasional. Ini kisah 90-an, kalau tidak salah. Ada dua merek ketika itu, Taimob dan Bramintara. Mobil nasional dengan produksi negara sahabat. Hanya tempel nama dan jadilah mobil nasional.
Lagi-lagi ceritanya sama. Produk ini tidak diterima pasar, meskipun harganya lebih murah dari mobil-mobil Hando dan Tayote. Mobil-mobil yang sudah lama merajai jalanan negara sang tokoh. Apa lacur, cerita yang relatif sama terulang. Mobil-mobil ini terparkir manis di kantor-kantor kementerian, dinas-dinas, pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyatnya. Barang sudah hilang terserap tanpa ada kelanjutannya. Tetapi, uang rakyat dipakai untuk menyerap produksi. Pola yang sama.
Sekali lagi, tesis dari Fadel Udjan itu sepertinya menemui kebenarannya. Makin yakinlah beliau dengan pernyataan itu. Setidaknya kisah yang dia dengar dan mungkin cerita yang dia alami bersinergi mendukungnya. Korupsi benar-benar membuat pembangunan menjadi lancar.
Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa
Korupsi bukan pelumas pembangunan. Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Itulah nalar normalnya. Tidak kurang dalam Undang-Undang pemberantasan korupsi di negara Fadel Udjan juga disebutkan demikian. Kejahatan merusak pembangunan. Kejahatan pencurian uang rakyat mengurangi kualitas pembangunan. Pencurian uang rakyat adalah kejahatan luar biasa.
Tidak kurang badan persekutuan bangsa-bangsa dimana negara Fadel Udjan juga masuk sebagai anggota mengeluarkan suatu resolusi tetang korupsi dan pencurian uang rakyat, United Nations Convention Against Corruptionyang terbaru dikeluarkan di Vienna pada tahun 2004. Dokumen yang berjumlah 65 halaman ini mendefinisikan korupsi sebagai berikut.
Corruption is an insidious plague that has a wide range of corrosive effects on societies. It undermines democracy and the rule of law, leads to violations of human rights, distorts markets, erodes the quality of life and allows organized crime, terrorism and other threats to human security to flourish.
Pada intinya korupsi itu jelek banget. Sifatnya seperti karat yang merusak kehidupan masyarakat, demokrasi, aturan dan perundang-undangan, berujung pada pelanggaran hak azasi manusia, merusak pasar, merusak kualitas kehidupan, menyuburkan kejahatan terorganisasi, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya yang menghambat keselamatan umat manusia. Ngeri, kan! Makanya badan ini mengutuk tindakan korupsi.
Bahkan persekutuan bangsa-bangsa ini bekerja sama dengan Bank Sejagat berinisiatif memunculkan program yang namanya STAR, yakni Stolen Asset Recovery. Inisiatif mendorong upaya-upaya pengembalian uang negara yang dicuri oleh bekas pemimpinnya. Pelipina, tetangga negaranya Fadel Udjan berhasil mengembalikan uang yang dicuri mantan presiden negara itu dengan dukungan STAR. Memang perjalanannya panjang, dari tahun 1986 hingga 2004. Harta yang berhasil dikembalikan, menurut laman STAR, USD 683.000.000. Hitung aja sendiri berapa jumlahnya jika itu dibelikan nasi bungkus untuk aksi-aksi di musim hujan seperti ini. Bisa berjilid-jilid.
Pemikiran korupsi sebagai pelumas pembanguan ini ternyata diamini juga oleh banyak pejabat di negaranya Fadel Udjan. Tidak kurang pejabat mulai dari tingkat bawah hingga menteri ditangkap karena ketahuan mencuri uang rakyat.
Ada yang menghasilkan sarana olah raga mangkrak yang bisa menjadi sumber inspirasi para fotografer, karena cocok menjadi latar belakang foto vintage. Ada juga atap gedung sekolah yang ambruk, karena mur dan baut di kuda-kuda baja ringannya dilupakan dipasang. Cerita lain soal jualan jabatan di sebuah kabupaten dengan harga yang sudah tertera mirip di pasar modern. Hingga para punggawa hukum tertinggi pun menjual pasal-pasal untuk mendapatkan keuntungan materi dan turunannya, wanita dan tahta. Masih banyak lagi jika mau dijajarkan.
Jadi, bisa dimengerti mengapa transjakarte sebelum gubernur Bete P tampak seperti odong-odong. Bus yang sudah mau ambruk pun masih dipaksakan. Tapi ini masih kecil. Lihatlah kasus 34 proyek pembangkit listrik yang tetap gelap gulita. Masyarakat tidak menikmati listrik bertahun-tahun. Pahamkan kalau kemudian pentura selalu menjadi program tahunan abadi. Sekarang bisa dimaklumi kenapa pendidikan di negaranya Fadel Udjan tidak maju-maju yang berujung pada rendahnya daya saing. Semua penyebabnya korupsi.
Lalu Daya Nalarnya Kemana?
Apa yang dilakukan seorang gubernur Bete P dan Pak Presiden di negara Fadel Udjan adalah antitesis dari pemahaman si tokoh ini. Kedua pemimpin itu melakukan program pembangunan dengan hasil yang mencengangkan hanya dengan menghilangkan kesempatan orang-orang untuk mencari keuntungan dengan mencuri uang rakyat. Menghilangkan korupsi dari tubuh birokrasinya. Menghilangkan peluang dan kesempatan untuk mencuri uang hasil keringat rakyat.
Hilangnya korupsi di birokrasi dan turunannya, tentunya membuat penikmatnya tidak tinggal diam. “Sudah enak-enak, kok malah diganggu”, ujar para penikmat ini sambil bisik-bisik. Mereka kemudian bergerak melakukan berbagai cara untuk menjegal kedua pemimpin ini. Isu-isu diteriakkan ke udara agak bisa mendiskreditkan kedua pemimpin, yang sedang berjuang keras untuk memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakatnya. Pemimpin yang membangun negerinya demi kejayaan bangsanya. Menghilangkan korupsi dari semua lini birokrasi dan politiknya ini adalah pekerjaan besar luar biasa. Betapa beratnya beban di pundak keduanya.
Hasilnya sudah bisa dilihat. Pembangunan dapat berjalan bahkan dengan kualitas yang luar biasa. Siapa dulu bisa membayangkan akan ada sistem transportasi yang nyaman di ibukotanya. Tidak banyak yang berfikir soal adanya tol laut. Ngerti juga tidak, tetapi ikutan protes. Banyak loh yang seperti ini.
Jadi, nalar yang mengatakan bahwa korupsi adalah pelumas pembangunan sama bobroknya dengan hasil-hasil pembangunan yang dikorupsi. Nalar yang tidak bisa melihat dengan jernih bahwa korupsi adalah penyakit dalam pembangunan, bahkan sebuah kejahatan luar biasa. Kejahatan yang mengakibatkan rusaknya kemanusiaan itu sendiri.
Nalar yang mengamini korupsi dapat memperlancar pembangunan adalah nalar yang sebenar-benarnya tiarap. Jika ada orang yang mengatakan sedemikian tentang korupsi, maka perlu dipastikan apakah daya nalarnya masih ada atau sudah usang.
Dan sialnya, Fadel Udjan saat ini mendukung salah satu calon gubernur untuk ibuka negaranya. Bisa dibayangkan, jika calonnya menang, akankah pembangunan berkualitas, dengan daya nalar tentang korupsi yang sedemikan parah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H