We take nothing, but pictures
We kill nothing, but time
We leave nothing, but traces
Tiga kalimat ini sering diucapkan dalam doa-doa para pecinta alam. Itu adalah semboyan sejati dari mereka yang mencintai alam. Alam akan kami jaga. Kami tidak akan merusaknya. Kami hanya mengambil gambar, tidak secuilpun alam terambil. Kami hanya membunuh waktu, satu tunas rumput pun tidak akan kami sentuh. Kami tidak meninggalkan apa pun disana, hanya jejak yang menjadi penanda kecintaan kami kepada alam. Selalu seperti itu.
Mencintai alam sudah seharusnya. Karena jika alam dicintai, alam akan memberikan balasannya dalam bentuk limpahan anugerah yang kita perlukan. Alam juga harus kita pelihara, karena ini hanya pinjaman dari anak cucu kita. Alam harus kita rangkul, karena luka alam adalah bencana bagi kemanusiaan.
Mungkin, itulah yang terbenam, masuk ke rongga-rongga hati banyak orang. Mereka pun mempunyai keinginan untuk mencintai alam secara sadar. Banyak dari antaranya kemudian mewujud dalam berbagai bentuk. Ada remaja pecinta alam. Ada kelompok pelestari lingkungan. Ada mahasiswa pecinta alam.
Tetapi ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu. Apakah hakikat dari alam itu? Alam adalah sebuah ekosistem dengan isinya. Ada manusia, ada tumbuhan, ada hewan, ada angin, ada air, ada batu, ada gunung, ada lembah. Daftar ini masih bisa ditambahkan.
Jika itu adalah alam, maka jika ada yang mengatakan sebagai pecinta alam, maka seharusnya orang tersebut harus mencintai segala isinya. Tetapi sering sekali, ketika mereka mengaku sebagai pecinta alam, sepertinya ada yang salah.
Pada saat ini, ketika bicara tentang mencintai alam, ada yang tidak selaras dengan hal di atas. Alam selalu identik dengan gunung. Alam selalu diartikan sungai di lembah-lembah terpencil yang harus dijenguk. Alam selalu tentang ketinggian bumi dalam wujud bukit, gunung dan puncak-puncaknya. Pecinta alam selalu mengaku pecinta alam dengan hanya mendaki gunung, menelusuri gua, mengarung sungai, menjelajahi jalan setapak di alam bebas.
Lalu, kalau alam adalah berikut seluruh isinya, mengapa sungai-sungai jorok dan bau tidak dijenguk? Mengapa lingkungan kotor dan amis tidak dikunjungi? Mengapa pantai-pantai jorok tidak ditengok? Mengapa rupa-rupa buruk alam tidak disapa? Mengapa selalu tentang gunung, sungai dan bukit?
Menjadi pecinta alam juga adalah tentang diri. Dengan mencintai alam, kita harus mengalahkan diri kita, demikian katanya. Mencintai alam dengan melakukan pendakian bukit, gunung dan terlusur sungai dan gua, bukan tentang menaklukkan alam. Ini terlebih tentang menaklukkan diri sendiri.
Bukankah di sungai-sungai kotor itu juga bisa menjadi tempat menaklukkan diri sendiri? Lalu apa yang salah dengan menaklukkan diri di pantai-pantai yang berbau sangat amis. Toh, itu adalah juga alam.
Banyak kejadian juga, para pecinta alam yang hanya mencintai dirinya sendiri. Sampah-sampah yang bertaburan di sepanjang jalur pendakian Semeru, bisa jadi contoh. Corat-coret di pohon di tempat lain, juga menguarkan pertanyaan tentang cinta mereka ini.
Kasus UII
Kejadian memiriskan soal para pecinta alam ini baru-baru saja dikabarkan. Kejadian yang menyesakkan dada, yang dilakukan para pemilik cinta akan alam. Mereka yang seharusnya mencintai alam dengan segala isinya telah dengan sadar menghianati cintanya. Mereka dengan tega dan tanpa rasa iba, menghancurkan isi alam yang seharusnya mereka cintai. Mereka menghancurkan isi alam. Mereka menistakan isi alam. Atas nama cinta kepada alam, mereka membantai 13 anak manusia. Tiga anak manusia itu harus meregang nyawa. Sepuluh lagi harus dirawat di rumah sakit. Masih ada yang harus dirawat lebih lanjut, karena tingkat lukanya yang sangat serius.
Apa yang salah dengan semuanya ini? Bukankan kah mereka penuh dengan cinta, seharusnya? Apa yang mereka lakukan hingga tubuh Asyam lebur? Lelaki semata wayang berusia 19 tahun, harus gugur demi cinta. Lihatlah berita. Tubuhnya hancur; tangannya patah, kakinya patah, punggungnya patah, dan tulang di pantatnya patah. Pada pukul 14.45, Sabtu minggu lalu Asyam menghadap Tuhan-nya. Lalu ada lagi Fadhli dan Ilham. Mereka telah direnggut dari cinta keluarga mereka. Cinta yang sesungguhnya.
Apakah sepotong ranting ke tubuh akan mematahkan tulang tangan? Tulang tangannya pasti bukan tulang ayam goreng di restoran terkenal itu yang empuk dan ringkih. Tulang kakinya pasti akan tahan untuk 100 kali squat jump. Tulung punggungnya tak akan patah karena push-up 100 kali. Tulang pantatnya tidak akan rusak karena lompat kodok 100 kali. Bukankah itu yang dulu banyak dilakukan untuk melatih kekuatan dan cinta kita?
Lalu, kekuatan apa yang digunakan para pengaku cinta alam itu ke tubuh-tubuh yang kini sudah terbujur kaku itu? Bukan elusan sayang tentunya. Jika tulang-tulang mereka patah, yakin sekali pipi-pipi mereka juga memerah karena tamparan. Sayang, malam pasti menyembunyikan pipi-pipi merah itu. Malam pasti menelan teriakan kesakitan mereka, ketika dengan beringasnya para pecinta itu meremukkan jiwa-jiwa harapan itu.
Bisa jadi, ranting yang katanya mereka gunakan adalah balok-balok kayu. Balok-balok itu menghantam dengan kerasnya. Mereka tercekat. Para pecinta tertawa dengan kekuasaannya. Cinta kah itu? Kaki-kaki seperti serdadu Belanda dan Jepang, menerpa punggung dan mungkin bagian-bagian tubuh lainnya. Para pecinta itu berpesta pora, tiga jam lamanya. Menikmati jeritan tertahan, lenguhan derita, teriak kesakitan, dan suara-suara perlahan yang selanjutnya menghilang dalam keheningan abadi. Lalu, ketiganya menyerah. Mereka pun menghadap Sang Kuasa.
Cinta Salah Kaprah
Mencintai alam sejatinya adalah menjaganya. Menyayanginya dengan sekuat tenaga. Memang perlu tubuh yang kuat dan semangat yang menyala untuk bisa tetap konsisten dalam menjaga cinta kepada alam. Kegiatan-kegiatan bisa banyak diciptakan untuk dapat melahirkan tubh-tubuh tangguh dengan cinta kepada alam yang besar. Alam dan segala isinya. Tidak terpilah. Tidak hanya lembah, sungai dan gunung di tempat-tempat jauh sana.
Menelusuri sungai, mendaki gunung dan menjejaki gua memang bisa menambah kecintaan kepada alam. Ketika berada di derasnya arus sungai, tiba-tiba kita merasa jadi kecil. Ketika berada di ketinggian gunung, kita kagum akan ciptaan Tuhan yang luar biasa. Merasakan dingin dan semilir angin murni di puncak-puncak adalah pembangkit rasa yang luar biasa akan kekaguman kepada alam.
Menikmati beningnya air Ranu Kumbolo di Semeru, adalah kenikmatan tiada tara. Merasakan bau belerang di Dieng atau Tangkuban Perahu akan membuncahkan rasa yang tak tergambarkan betapa kita kecil dibandingkan alam. Harapannya, akan muncul cinta. Karena melawannya kita akan binasa.
Bisa jadi, itulah gambaran yang dimasukkan ke dalam ingatan-ingatan Asyam dan rekan-rekannya. Mereka dengan semangat luar biasa memasukai organisasi pecinta alam di kampusnya. “Suatu saat kelak, saya akan mendapatkan kesempatan memuncaki bukit-bukit dan menambah cerita kepada teman” batinnya. Mungkin. Mereka akan disejajarkan dengan pemuncak-pemuncak lainnya yang sudah terlebih dahulu menapakkan kakinya di puncak-puncak tertinggi dunia.
Mereka harus dilatih dengan keras. Tubuh mereka harus diperkuat. Mental mereka harus ditempa. Daya tahan mereka harus ditingkatkan. Naluri alamnya harus dipertajam. Kecintaan mereka harus dipupuk. Semuanya harus diuji di suatu saat di suatu malam. Malam jahanam.
Lalu mereka terbaring lunglai. Tubuhnya harus dipapah. Mata-mata sembab menggambarkan kesedihan terdalam. Tulang-tulang patah dan tubuh-tubuh lebam sudah dibaringkan. Nafas terakhir sudah dihembuskan. Demi menjadi pecinta alam.
Mereka terkapar tak berdaya dan harus menghadap Tuhan-nya. Sebabnya, cinta palsu. Sebabnya harapan palsu yang disampaikan bertalu-talu. Karena, bisa jadi para pecinta itu telah mengubah semboyannya.
We take nothing, but lives
We kill nothing, but human
We leave nothing, but the dead and the wounded
Sementara di sudut kamar gelap terkunci dan dingin, isak tangis tertahan seorang ibu menyeruak ke udara dan sayup terdengar. Sebab mimpi meraih cita gita hingga ke Oxford, kandas ditelan bumi, dihempaskan oleh sebuah cinta dan harapan palsu dari mereka yang mengaku pecinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H