Menikmati beningnya air Ranu Kumbolo di Semeru, adalah kenikmatan tiada tara. Merasakan bau belerang di Dieng atau Tangkuban Perahu akan membuncahkan rasa yang tak tergambarkan betapa kita kecil dibandingkan alam. Harapannya, akan muncul cinta. Karena melawannya kita akan binasa.
Bisa jadi, itulah gambaran yang dimasukkan ke dalam ingatan-ingatan Asyam dan rekan-rekannya. Mereka dengan semangat luar biasa memasukai organisasi pecinta alam di kampusnya. “Suatu saat kelak, saya akan mendapatkan kesempatan memuncaki bukit-bukit dan menambah cerita kepada teman” batinnya. Mungkin. Mereka akan disejajarkan dengan pemuncak-pemuncak lainnya yang sudah terlebih dahulu menapakkan kakinya di puncak-puncak tertinggi dunia.
Mereka harus dilatih dengan keras. Tubuh mereka harus diperkuat. Mental mereka harus ditempa. Daya tahan mereka harus ditingkatkan. Naluri alamnya harus dipertajam. Kecintaan mereka harus dipupuk. Semuanya harus diuji di suatu saat di suatu malam. Malam jahanam.
Lalu mereka terbaring lunglai. Tubuhnya harus dipapah. Mata-mata sembab menggambarkan kesedihan terdalam. Tulang-tulang patah dan tubuh-tubuh lebam sudah dibaringkan. Nafas terakhir sudah dihembuskan. Demi menjadi pecinta alam.
Mereka terkapar tak berdaya dan harus menghadap Tuhan-nya. Sebabnya, cinta palsu. Sebabnya harapan palsu yang disampaikan bertalu-talu. Karena, bisa jadi para pecinta itu telah mengubah semboyannya.
We take nothing, but lives
We kill nothing, but human
We leave nothing, but the dead and the wounded
Sementara di sudut kamar gelap terkunci dan dingin, isak tangis tertahan seorang ibu menyeruak ke udara dan sayup terdengar. Sebab mimpi meraih cita gita hingga ke Oxford, kandas ditelan bumi, dihempaskan oleh sebuah cinta dan harapan palsu dari mereka yang mengaku pecinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H