Bukankah di sungai-sungai kotor itu juga bisa menjadi tempat menaklukkan diri sendiri? Lalu apa yang salah dengan menaklukkan diri di pantai-pantai yang berbau sangat amis. Toh, itu adalah juga alam.
Banyak kejadian juga, para pecinta alam yang hanya mencintai dirinya sendiri. Sampah-sampah yang bertaburan di sepanjang jalur pendakian Semeru, bisa jadi contoh. Corat-coret di pohon di tempat lain, juga menguarkan pertanyaan tentang cinta mereka ini.
Kasus UII
Kejadian memiriskan soal para pecinta alam ini baru-baru saja dikabarkan. Kejadian yang menyesakkan dada, yang dilakukan para pemilik cinta akan alam. Mereka yang seharusnya mencintai alam dengan segala isinya telah dengan sadar menghianati cintanya. Mereka dengan tega dan tanpa rasa iba, menghancurkan isi alam yang seharusnya mereka cintai. Mereka menghancurkan isi alam. Mereka menistakan isi alam. Atas nama cinta kepada alam, mereka membantai 13 anak manusia. Tiga anak manusia itu harus meregang nyawa. Sepuluh lagi harus dirawat di rumah sakit. Masih ada yang harus dirawat lebih lanjut, karena tingkat lukanya yang sangat serius.
Apa yang salah dengan semuanya ini? Bukankan kah mereka penuh dengan cinta, seharusnya? Apa yang mereka lakukan hingga tubuh Asyam lebur? Lelaki semata wayang berusia 19 tahun, harus gugur demi cinta. Lihatlah berita. Tubuhnya hancur; tangannya patah, kakinya patah, punggungnya patah, dan tulang di pantatnya patah. Pada pukul 14.45, Sabtu minggu lalu Asyam menghadap Tuhan-nya. Lalu ada lagi Fadhli dan Ilham. Mereka telah direnggut dari cinta keluarga mereka. Cinta yang sesungguhnya.
Apakah sepotong ranting ke tubuh akan mematahkan tulang tangan? Tulang tangannya pasti bukan tulang ayam goreng di restoran terkenal itu yang empuk dan ringkih. Tulang kakinya pasti akan tahan untuk 100 kali squat jump. Tulung punggungnya tak akan patah karena push-up 100 kali. Tulang pantatnya tidak akan rusak karena lompat kodok 100 kali. Bukankah itu yang dulu banyak dilakukan untuk melatih kekuatan dan cinta kita?
Lalu, kekuatan apa yang digunakan para pengaku cinta alam itu ke tubuh-tubuh yang kini sudah terbujur kaku itu? Bukan elusan sayang tentunya. Jika tulang-tulang mereka patah, yakin sekali pipi-pipi mereka juga memerah karena tamparan. Sayang, malam pasti menyembunyikan pipi-pipi merah itu. Malam pasti menelan teriakan kesakitan mereka, ketika dengan beringasnya para pecinta itu meremukkan jiwa-jiwa harapan itu.
Bisa jadi, ranting yang katanya mereka gunakan adalah balok-balok kayu. Balok-balok itu menghantam dengan kerasnya. Mereka tercekat. Para pecinta tertawa dengan kekuasaannya. Cinta kah itu? Kaki-kaki seperti serdadu Belanda dan Jepang, menerpa punggung dan mungkin bagian-bagian tubuh lainnya. Para pecinta itu berpesta pora, tiga jam lamanya. Menikmati jeritan tertahan, lenguhan derita, teriak kesakitan, dan suara-suara perlahan yang selanjutnya menghilang dalam keheningan abadi. Lalu, ketiganya menyerah. Mereka pun menghadap Sang Kuasa.
Cinta Salah Kaprah
Mencintai alam sejatinya adalah menjaganya. Menyayanginya dengan sekuat tenaga. Memang perlu tubuh yang kuat dan semangat yang menyala untuk bisa tetap konsisten dalam menjaga cinta kepada alam. Kegiatan-kegiatan bisa banyak diciptakan untuk dapat melahirkan tubh-tubuh tangguh dengan cinta kepada alam yang besar. Alam dan segala isinya. Tidak terpilah. Tidak hanya lembah, sungai dan gunung di tempat-tempat jauh sana.
Menelusuri sungai, mendaki gunung dan menjejaki gua memang bisa menambah kecintaan kepada alam. Ketika berada di derasnya arus sungai, tiba-tiba kita merasa jadi kecil. Ketika berada di ketinggian gunung, kita kagum akan ciptaan Tuhan yang luar biasa. Merasakan dingin dan semilir angin murni di puncak-puncak adalah pembangkit rasa yang luar biasa akan kekaguman kepada alam.