Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Laku Korupsi yang Tak Kunjung Padam

27 Januari 2017   14:41 Diperbarui: 27 Januari 2017   14:48 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: national.kompas.com

Operasi tangkap tangan untuk kesekian kalinya terjadi. Kali ini yang ditangkap adalah Patrialis Akbar. Patrialis saat ini menjabat sebagai Hakim di Makamah Konstitusi Indonesia. Makamah yang seharusnya menjadi tempat teragung di Republik ini. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya lagi, Makamah ini tercoreng. Prestasi tidak agung sebelumya terkait kasus Akil Mukhtar, yang hobi menjajakan pengaruh untuk kepentingan politik di daerah. Kalau Akil Mukhtar berurusan dengan dunia politik, Patrialis berurusan dengan persapian. Di Rabu malam 25 Januari 2017, sepertinya waktu berhenti bagi Patrialis Akbar.

Belum lama, Sri Hartini, tertangkap KPK karena melakukan perbuatan melawan hukum. Ibu Sri ini memperlakukan birokrasi di Kabupaten Klaten layaknya sebuah usaha ritel. Untuk setiap jabatan di Kabupaten Klaten ada price tag-nya. Untuk memuluskan langkah-langkahnya, Ibu Sri memobilisasi keluarga. Ibu Sri tega karena tidak pernah merasakan derita, sehingga empatinya hilang. Sebabnya, Ibu Sri sudah sangat lama, lebih dari 20 tahun di lingkungan K-1 alias Klaten 1. Kenikmatannya sementara berakhir di Jumat 30 Desember 2016.

Ke belakangnya, masih ada kasus penangkapan Yon Anton Ferdian, mantan Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan. Mantan Bupati ini adalah anak mantan bupati sebelumnya. Dinasti politik sepertinya sudah ada dimana-mana. Kasusnya terkait suap Dinas Pendidikan dengan praktek ijon proyek. Mantan Bupati ini pun dicokok KPK pada Minggu, 4 September 2016, di rumah dinasnya.

Sepertinya laku korupsi ini menjadi tabiat yang tidak bisa dihentikan. Praktek korupsi terjadi dimana-mana di Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah. KPK telah menangkap pejabat di berbagai tingkatan. Menteri, Bupati, Gubernur, Anggota DPR, DPRD, Bupati/Walikota. Bahkan pihak swasta terkait kasus juga merasakan gebrakan KPK.

Menurut laman KPK, total penanganan perkara tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2016 adalah penyelidikan 838 perkara, penyidikan 557 perkara, penuntutan 460 perkara, inkracht 383 perkara, dan eksekusi 404 perkara. Di tahap penyidikan, Kasus Tindak Pidana Korupsi ini didominasi oleh Kementerian Lembaga sebanyak 239 kasus. Peringkat kedua di Pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 122.

Struktur Lengkap

Tindak Pidana Korupsi ini adalah kejahatan luar biasa. Lembaga-lembaga yang menangani termasuk Polisi Republik Indonesia, Kejaksaaan Agung, Makamah Agung dan bahkan karena dianggap tidak berhasil, Komisi Pemberantasn Korupsi pun dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 30 Tahun 2002.

Di tingkat internal ada Inspektorat Jenderal dan Inspektorat Wilayah, yang mengawasi tindak-tanduk perilaku para birokrat di pusat dan daerah. Ditambah lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Semuanya dibentuk untuk memastikan tujuan pembangunan tercapai dan laku menyimpang dapat diminimalisir bahkan dihilangkan.

Dari kelompok civil society, ada banyak organisasi yang bekerja memelototi program-program pemerintah. Tindak-tanduk pejabat juga diawasi untuk memastikan uang rakyat digunakan sebagai mestinya. Seperti visi dan misi yang dijabarkan dengan tinta tebal.

Tidak kurang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi pun diformulasikan untuk memastikan langkah-langkah yang bisa dilakukan dan capaian-capaian yang hendak diwujudkan dan juga peta jalan untuk memtastikan tindakan korupsi ini bisa diminialisir.
 Kenyataannya, laku korupsi ini tidak berhenti meskipun struktur pencegahan dan pemberantasan korupsi lengkap.

Regulasi tidak kurang tebal berdasarkan hirarkinya. Mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan Mentri dirancang untuk tujuan yang sama.

Yang Terdampak Melawan

Perilaku sebagian anggota dewan juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan penindakan korupsi yang dilakukan KPK. Upaya-upaya pelemahan KPK terjadi berulang. Meskipun dalam narasinya, anggota dewan menyatakan bahwa upaya tersebut untuk memperbaiki KPK. Narasi ini dicurigai untuk mengurangi ‘kesaktian’ KPK, termasuk kewenangan melakukan penyadapan yang berujung pada operasi tangkap tangan.

Masih ada pihak-pihak yang berkreasi untuk ‘mendukung’ laku korupsi ini. Ada beberapa pihak yang melakuan judicial review atas Tindak Pidana Pencucian Uang. Para pihak ini hanya ingin bahwa penindakan dilakukan pada kasus terkait saja. Tidak memasukkan unsur potensial lost yang diakibatkan suatu laku korupsi. Padahal, Hakim Agung Artijo Alkostar selalu memasukkan faktor daya rusak korupsi sebagai acuan untuk menambah hukuman bagi koruptor.

Melihat penjelasan di atas, sepertinya celah untuk tindakan korupsi sangat sempit. Tetapi melihat angka-angka statistik yang disajikan KPK saja membutktikan laku korupsi masih masif. Bisa dibayangkan betapa runyamnya pelayanan publik di negara ini. Sebabnya, statistik KPK menunjukkan jumlah terbanyak tindak pidana korupsi ada di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta di peringkat ketiga DPR/DPRD. Lalu penyebabnya apa?

Masyarakat Permisif

Di masyarakat Indonesia, laku korupsi ini sepertinya mendapatkan tempat. Masyarakat cenderung tidak perduli dengan keanehan yang ditunjukkan para pejabat. Dengan pendapatan yang terbatas, gaya hidup para pejabat ini sepertinya tidak terbatas. Materialisme menjadi penuntun dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan ada kecenderungan di masyarakat yang mengatakan bahwa pejabat itu tidak boleh miskin. Miskinnya seorang pejabat akan menjadi pertanyaan besar. Masyarakat pasti tidak percaya dengan kondisi ini. Pejabat miskin adalah sebuah keanehan.

Dengan demikian, para pejabat di Indonesia tampil kinclong. Kekinclongan ini diwakili oleh mobil-mobil mewah, rumah-rumah seperti istana hingga biaya sewanya setahun saja mencapai 1 milyar. Belum lagi liburan-liburan yang privat dan pelayanan-pelayanan kelas terbaik, serta wanita simpanan yang diakui keponakan. Anak-anak para pejabat ini juga harus mendapatkan fasilitas yang baik. Khawatirnya nanti dipertanyakan lagi. Masa anak pejabat kelihatan lusuh? Sehingga anak-anak pejabat ini pun harus dikinclongkan.

Masyarakat maklum saja. Namanya juga pejabat. Padahal, jika dijumlahkan semua pendapatan dan manfaat yang diterima oleh seorang pejabat, tidak akan cukup untuk membiayai hidup mewahnya dan harta-hartanya yang bertebaran dimana-mana. Lihatlah Sanusi itu di Jakarta.

Dengan berbagai upaya ‘kreatif, para penjabat ini berupaya memenuhi kebutuhan kenikmatan yang menggoda. Kenikmatan yang hanya bisa didapatkan dengan uang dalam jumlah besar. Jadilah dagangan posisi jabatan seperti di Klaten. Terbitlah ijon proyek seperti di Banyuasin. Masuklah tawaran masalah persapian di Makamah Konstitusi.

Ketika ini terjadi, masyarakat hanya terkejut sebentar dan selanjutnya maklum lagi. Jika seorang pejabat menyumbang secara pribadi dalam jumlah besar misalnya di suatu pesta atau acara, masyarakat akan bertepuk tangan lagi.

Hukuman Ringan

Hal lain yang disangkakan menjadi biang kerok giatnya para koruptor adalah hukuman yang ringan. Jaksa KPK sering sekali harus melakukan banding untuk menambah hukuman sesuai tuntutan. Alasan memberikan hukuman yang ringan tentunya dapat dijabarkan dengan mudah. Tetapi, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Ini tidak menjadi pertimbangan. Kerugian negara hanya sebatas jumlah uang yang dikorupsi. Sering itu alasan hakim pengadil.

Hakim mungkin sering tidak memasukkan dampaknya yang luar biasa bagi pelayanan publik. Dengan uang yang dikorupsi itu, maka pembangunan akan mengalamai penurunan kualitas, yang bisa mengancam kehidupan pemangku kepentingannya. Lihatlah sekolah-sekolah yang ambruk. Berita mengabarkan runtuhnya jembatan yang baru dibangun. Karena korupsi, program menjadi terhenti. Perlu perencanaan dari awal lagi untuk bisa dimasukkan ke dalam APBN/APBD. Lihatlah, Hambalang berhenti begitu saja. Pengembangan olah raga Indonesia terbengkalai. Untuk membangun lagi, perlu audit finansial dan audit engineering untuk memastikan kekuatan bangunan. Biayanya bisa jauh lebih besar sekarang dibandingkan pada tahun proyek itu dianggarkan.

Dan hukumannya hanya ringan. Hukumannnya hanya diberikan kepada beberapa orang saja yang cenderung tidak sepakat dengan pembuat kebijakan itu.

Niat Jahat

Terlepas dari semua hal di atas, korupsi adalah masalah pribadi. Pengambilan keputusan untuk melakukan korupsi adalah keputusan pribadi. Hal-hal diluar dirinya adalah faktor pendorong atau penolak. Kedua-duanya muncul dalam lingkungannya. Bisa jadi faktor pendorong karena banyak yang melakukan maka dianggap sesuatu hal yang lumrah. Di sisi lain, melihat orang miskin, mungkin, memunculkan rasa enggan untuk melakukan korupsi. Pada intinya, ini soal diri sendiri.

Jadi, seseorang melakukan korupsi karena diri sendiri, ada niat jahat di dalam dirinya. Tidak ada yang terpaksa melakukan korupsi. Sebabnya adalah sang pelaku korupsi sadar bahwa laku korupsi adalah perbuatan yang salah. Tetapi, karena ada niat jahat yang ingin menguasai yang bukan miliknya, maka korupsi dilakukan.

Niat jahat ini bisa muncul jauh sebelum si pejabat memegang jabatannya. Bisa jadi karena sebelum menjabat sudah ada transasksi. Bisa jadi niat jahat itu sudah memang muncul melihat kemewahan yang ditampilkan para pejabat lainnya.

Niat jahat ini atau yang dalam bahasa latinnya disebut mens rea bisa disebut sebagai maksud atau keinginan untuk melakukan kejahatan korupsi. Bukankah bang Napi mengatakan bahwa kejahatan terjadi jika ada niat dan kesempatan.

Kesempatan sudah ada dengan menjadi pejabat. Niatnya bisa timbul setelah menjabat atau malah sudah dibawa sebelum memegang suatu jabatan. Niat jahat ini benar-benar sesuatu yang sangat personal.

Niat jahat ini mendorong koruptor untuk memelintir hukum. Niat jahat ini mencerdaskan koruptor untuk mencari celah untuk korupsi. Niat jahat ini berkelindan dan menjelmalah hukuman yang ringan. Para koruptor adalah penjahat si pemilik niat jahat. Niat jahat ini menjadi bahan bakar tidak kunjung padamnya laku korupsi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun