Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Laku Korupsi yang Tak Kunjung Padam

27 Januari 2017   14:41 Diperbarui: 27 Januari 2017   14:48 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: national.kompas.com

Yang Terdampak Melawan

Perilaku sebagian anggota dewan juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan penindakan korupsi yang dilakukan KPK. Upaya-upaya pelemahan KPK terjadi berulang. Meskipun dalam narasinya, anggota dewan menyatakan bahwa upaya tersebut untuk memperbaiki KPK. Narasi ini dicurigai untuk mengurangi ‘kesaktian’ KPK, termasuk kewenangan melakukan penyadapan yang berujung pada operasi tangkap tangan.

Masih ada pihak-pihak yang berkreasi untuk ‘mendukung’ laku korupsi ini. Ada beberapa pihak yang melakuan judicial review atas Tindak Pidana Pencucian Uang. Para pihak ini hanya ingin bahwa penindakan dilakukan pada kasus terkait saja. Tidak memasukkan unsur potensial lost yang diakibatkan suatu laku korupsi. Padahal, Hakim Agung Artijo Alkostar selalu memasukkan faktor daya rusak korupsi sebagai acuan untuk menambah hukuman bagi koruptor.

Melihat penjelasan di atas, sepertinya celah untuk tindakan korupsi sangat sempit. Tetapi melihat angka-angka statistik yang disajikan KPK saja membutktikan laku korupsi masih masif. Bisa dibayangkan betapa runyamnya pelayanan publik di negara ini. Sebabnya, statistik KPK menunjukkan jumlah terbanyak tindak pidana korupsi ada di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta di peringkat ketiga DPR/DPRD. Lalu penyebabnya apa?

Masyarakat Permisif

Di masyarakat Indonesia, laku korupsi ini sepertinya mendapatkan tempat. Masyarakat cenderung tidak perduli dengan keanehan yang ditunjukkan para pejabat. Dengan pendapatan yang terbatas, gaya hidup para pejabat ini sepertinya tidak terbatas. Materialisme menjadi penuntun dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan ada kecenderungan di masyarakat yang mengatakan bahwa pejabat itu tidak boleh miskin. Miskinnya seorang pejabat akan menjadi pertanyaan besar. Masyarakat pasti tidak percaya dengan kondisi ini. Pejabat miskin adalah sebuah keanehan.

Dengan demikian, para pejabat di Indonesia tampil kinclong. Kekinclongan ini diwakili oleh mobil-mobil mewah, rumah-rumah seperti istana hingga biaya sewanya setahun saja mencapai 1 milyar. Belum lagi liburan-liburan yang privat dan pelayanan-pelayanan kelas terbaik, serta wanita simpanan yang diakui keponakan. Anak-anak para pejabat ini juga harus mendapatkan fasilitas yang baik. Khawatirnya nanti dipertanyakan lagi. Masa anak pejabat kelihatan lusuh? Sehingga anak-anak pejabat ini pun harus dikinclongkan.

Masyarakat maklum saja. Namanya juga pejabat. Padahal, jika dijumlahkan semua pendapatan dan manfaat yang diterima oleh seorang pejabat, tidak akan cukup untuk membiayai hidup mewahnya dan harta-hartanya yang bertebaran dimana-mana. Lihatlah Sanusi itu di Jakarta.

Dengan berbagai upaya ‘kreatif, para penjabat ini berupaya memenuhi kebutuhan kenikmatan yang menggoda. Kenikmatan yang hanya bisa didapatkan dengan uang dalam jumlah besar. Jadilah dagangan posisi jabatan seperti di Klaten. Terbitlah ijon proyek seperti di Banyuasin. Masuklah tawaran masalah persapian di Makamah Konstitusi.

Ketika ini terjadi, masyarakat hanya terkejut sebentar dan selanjutnya maklum lagi. Jika seorang pejabat menyumbang secara pribadi dalam jumlah besar misalnya di suatu pesta atau acara, masyarakat akan bertepuk tangan lagi.

Hukuman Ringan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun