Mohon tunggu...
Rinsan Tobing
Rinsan Tobing Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Seorang pekerja yang biasa saja dan menyadari bahwa menulis harus menjadi kebiasaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesenjangan, Musuh Abadi Peradaban Dunia

23 Januari 2017   16:26 Diperbarui: 23 Januari 2017   16:37 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di seberang sebuah rumah megah bercat putih di bilangan Rawamangun, beberapa orang terlibat dalam sebuah pembicaraan. Ada orang dewasa, lelaki dan perempuan dan ada juga anak-anak. Tidak jelas memang yang dibicarakan. Di bawah pohon yang rindang itu, mereka menata barang-barang mereka.

Di sana ditata juga gerobak, lebih besar untuk ukuran standar pemulung. Gerobak itu ternyata rumah bagi mereka. Rumah berjalan. Mereka sering disebut manusia gerobak. Ketika malam, mereka tidur di gerobak tersebut. Jika hujan mereka juga berteduh di dalamnya. Kesan yang ditimbulkan pemandangan rumah mewah megah bercat putih dan manusia gerobak itu, terasa menyesakkan. Sangat kontras. Ketimpangan sosial Terasa kesenjangan yang luar biasa.

Masalah kesenjangan telah menjadi perhatian pemerintah sedari dulu, karena dapat menghancurkan negara. Bukankah kesenjaangan yang mengakibatkan adanya pertentangan kaum borjuis dan proletar di Perancis sana? Kesenjangan ini berujung pada peristiwa revolusi Prancis 14 July 1789 yang dimulai dengan penyerangan penjara Bastille. Hingga sekarang, peristiwa ini dikenang juga sebagai Bastille Day, hari nasional Prancis.

Pada masa sekarang pun, kesenjangan tetap dicurigai menjadi biang keladi munculnya intoleransi. Perang yang terjadi di banyak belahan dunia ditenggarai dipicu oleh perbedaan tingkat kekayaan kaum elite dan masyarakatnya. Kesenjangan terjadi karena adanya elite capture yang dominan. Elite suatu negara mengontrol dan menguasai sebagian kekayaan negaranya. Para elite ini tidak perduli dengan nasib rakyat kebanyakan.

Peristiwa terbadru di Amerika Serikat, kesenjangan ini mengatar DJ Trump ke tahta kekuasaan tertinggi sebagai Presiden. Kesenjangan yang dibungkus dalam aliran populisme atau anti kemapanan dalam kampanyenya diterima dengan baik oleh masyarakat yang selama ini tidak diperhatikan kaum elite.

Perbincangan mengenai kesenjangan ini dibahas di banyak forum dunia. World Economic Forum yang merupakan forum para pengambil keputusan dalam pemerintahan, dunia bisnis dan organisasi sipil selalu memasukkan isu kesenjangan ini dalam diskusinya. Dalam gambaran global, kesenjangan ini bisa dilihat dengan kasat mata. Di 2016, kekayaan dunia sekitar 426,2 milyar dolar dikuasai oleh hanya 8 orang. Ini setara dengan kekayaan 3,6 milyar penduduk dunia. Kesenjangan meningkat dan jurang kaya miskin makin menganga. Pada 2010, kekayaan 3,6 milyar penduduk bumi ini masih dikuasai oleh 43 individu (Kompas 17 Januari 2017).

Di Indonesia, kesenjangan ini dapat digambarkan dengan kekayaan yang dikuasai oleh hanya segelintir individu saja. Sekitar 49,3% kekayaan Indonesia dikuasai tidak lebih dari 1% individu. Ketimpangan yang melebar ini tentunya tidak terjadi begitu saja. (Independent.co.uk 2 Desember 2016).

Mengapa Kesenjangan Ada

Di suatu kesempatan, seorang teman penulis yang kebetulan seorang dosen di perguruan tinggi ternama di Bandung memposting sebuah undangan seminar dengan judul Briding the Gap. Secara iseng penulis memberikan komentar, kenapa hanya di jembatani bukannya ditutup jurangnya. Memang tidak ada jawaban untuk pertanyaan saya dari teman itu.

Ternyata memang kesenjangan akan selalu ada, hanya bisa dipersempit. Pemenang Nobel ekonomi tahun 2007, Eric Stark Maskin membuat suatu kesimpulan yang cukup mengejutkan itu. Dia mengatakan bahwa kesenjangan tidak akan pernah dihilangkan. Kesenjangan akan selalu ada selama manusia itu ada. Selama peradaban itu ada, maka kesenjangan itu akan selalu ada.

Penyebabnya, masih menurut Maskin, adalah adanya perbedaan kemampuan, skill, kecerdasan dari masing-masing individu. Dengan perbedaan ini maka masing-masing individu memiliki output berbeda. Perbedaan ini adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada manusia yang sama persis dengan produktivitas yang sama persis pula.

Gambarannya diberikan sebagai berikut. Ditempatkan sebuah kuetart di lapangan sepak bola. Setiap orang punya jarak yang sama terhadap kue tersebut. Akan tetapi kemampuan setiap orang tidak sama. Ada yang memiliki tenaga yang kuat, lari yang lebih kencang, ada yang masih kecil dan ada yang perutnya buncit karena busung lapar. Bisa dibayangkan jika Usain Bolt juga ikut dalam perebutan kue tart tersebut. Perbedaan sumber daya memdorong adanya kesenjangan. Pelari tercepat dalam pertandingan itu akan mendapatkan bagian kue tart yang lebih besar. Sesuatu yang sangat alami.

Kesenjangan akan menghantui peradaban kita ini. Pada masa yang akan datang kesenjangan ini masih akan menjadi masalah dan akan selalu menjadi masalah. Lalu, kemungkinananya seperti apa?

Maskin melanjutkan bahwa kesenjangan ini harus dikelola oleh pemerintah. Kesenjangan ini tidak untuk dihapuskan karena secara alami sudah merupakan bagian melekat dari manusia, akan tetapi dapat di persempit atau dijembatani. Ringkasnya pemerintah harus berusaha memperkecil jurang kesenjangan ini.

Kesenjangan sering digambarkan dengan rasio Gini. Dengan perhitungannya, pada tahun 1912 Corrado Gini seorang ilmuwan Italia memberikan rasio kesenjangan antara 0,25 – 0,70. Semakin mendekati 0,25 maka kesenjangan negaranya sempit dan mendekati 0,70 jurangnya menganga lebar. Di seluruh dunia, koefisien bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia), berdasarkan data 2009 oleh Central Intelligence Agency (CIA Factbook). Intervensi pemerintah yang kuat diperlukan untuk menuju ke angka 0,25.

Welfare State sebagai Jawaban

Konsep welfare state atau disebut negara kesejahteraan secara prinsip adalah memberikan kepada rakyat hasil-hasil pembangunan. UUD 1945 pasal 33 telah secara jelas menyatakan tentang negara kesejahteraan ini. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebelum negara kesejahteraan dikenal, disadari bahwa kapitalisme sangat ekstraktif dan mengakibatkan kesenjangan yang semakin melebar. Untuk mengurangi ini, kapitalisme harus memberikan sebagian kekayaannya bagi kelompok masyarakat miskin. Mereka menyebutnya compassionate capitalism. Kapitalisme dengan kasih sayang. Ini terjadi di Eropa dan Amerika pada awal abad 19 (Soeharto, 2014).

Para ahli diantaranya Spicker (1988) menggambarkan negara kesejateraan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberikan peran lebih besar kepada pemerintah untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya.

Banyak negara yang menerapkan konsep negara kesejahteraan ini, terutama negara-negara barat. Pada titik tertentu, dengan besarnya alokasi pendaanaan untuk kebutuhan dasar masyarakat ini demi kesejahteraan, negara-negara tersebut cenderung seperti negara sosialis. Negara-negara Skandinavia menerapkan negara kesejahteraan cenderung berpola sosialis ini. Denmark, Belgia, Finlandia, Swedia dan Norwegia adalah diantaranya. Dengan konsep ini, maka rakyatnya sangat sejahtera ditandai dengan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, sarana publik berupa transportasi gratis dan sarana sosial lainnya. Negara-negara ini mengalokasikan hingga 60% anggaran negaranya untuk membiayai kebutuhan sosial masyarakatnya (Suharto, 2014).

Indonesia sendiri masih belum mampu menerapkan negara kesejateraan meskipun diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dipastikan, karena kekayaan negara belum digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Setidaknya upaya mengarah ke negara kesejahteraan sedang dilakukan oleh pemerintah sekarang. Pemberian bantuan kepada para pelajar Indonesia dengan KIP dan juga kepada para nelayan bisa jadi contoh.

Welfare State Ala Ahok

Dengan program membuat warga Jakarta otak penuh, perut penuh dan kantong penuh, pemerintah DKI Jakarta di bawah Ahok berupaya memberikan kembali ke masyarakat dengan jumlah banyak. Pendanaan dari APBD digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Dalam 2 tahun terakhir, penataan sungai dan sarana sosial masyarakat dilakukan. Relokasi untuk penataan sungai dan memberikan pemukiman yang jauh lebih manusiawi dikerjakan. Pemerintah juga berupaya mendorong pemilik kekayaan mendistribusikan sebagian kekayaannya untuk pembangunan sosial masyarakat.

Terjemahan dari upaya mendorong para orang kaya itu dapat dilihat dengan pembangunan Ruang Publik and Taman Ramah Anak. Dana swasta melalui CSR didorong untuk mengembangkan program yang memberikan ruang terbuka bagi masyarakat untuk beraktivitas. Program transportasi publik juga diperbaiki. Saat ini bus-bus yang digunakan dengan jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang jauh lebih baik dari bus-bus yang dipakai sebelumnya.

Kartu Jakarta Pintar (KJP) telah menenangkan hati ibu-ibu yang dulunya selalu mengantre di depan pegadaian ketika musim sekolah tiba. Anak-anak mereka diberikan kesempatan untuk menikmati pendidikan hingga ke bangku perguruan tinggi. Saat ini pemerintah DKI dengan pimpinan Ahok menyediakan Rp. 18 juta untuk setiap mahasiswa pemegang KJP yang masuk ke perguruan tinggi negeri.

Khusus untuk tranportsi publik, pemerintah DKI dibawah Ahok juga memberikan pelayanan gratis bagi beberapa kelompok masyarakat. Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 160 Tahun 2016 terkait Pelayanan Transjakarta Gratis dan Bus Gratis bagi Masyarakat, disebutkan penerima manfaat dari peraturan ini termasuk PNS DKI, pensiunan PNS DKI, tenaga kontrak di pemerintahan DKI, penerima KJP, karyawan swasta tertentu, penghuni rusunawa, penduduk Kepulauan Seribu, penerima beras keluarga sejahtera se-JABODETABEK, Anggota TNI/Polri kecuali PNS-nya, Veteran RI, penyandang disabilitas, dan penduduk lanjut usia.

Semua upaya pemerintah DKI di atas tentunya mengarah kepada upaya-upaya mengurangi kesenjangan, mempersempit jurang kesejateraan sosial masyarakat atas dan masyarakat bawah di ibukota DKI Jakarta.

Memang seperti diungkapkan Maskin, kesenjangan tidak akan pernah bisa dihilangkan. Kesenjangan akan selalu ada di setiap masa sebagai musuh besar peradaban. Tetapi pemerintah punya peluang dan peran untuk mempersempit jurangnya. Karena jika dibiarkan, dalam jangka panjang, kesenjangan akan memakan biaya sosial yang luar biasa besarnya. Pemerintah Jokowi dan Pemerintahan Ahok di DKI telah menerapkannya dan sepertinya akan terus melakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun