Gambarannya diberikan sebagai berikut. Ditempatkan sebuah kuetart di lapangan sepak bola. Setiap orang punya jarak yang sama terhadap kue tersebut. Akan tetapi kemampuan setiap orang tidak sama. Ada yang memiliki tenaga yang kuat, lari yang lebih kencang, ada yang masih kecil dan ada yang perutnya buncit karena busung lapar. Bisa dibayangkan jika Usain Bolt juga ikut dalam perebutan kue tart tersebut. Perbedaan sumber daya memdorong adanya kesenjangan. Pelari tercepat dalam pertandingan itu akan mendapatkan bagian kue tart yang lebih besar. Sesuatu yang sangat alami.
Kesenjangan akan menghantui peradaban kita ini. Pada masa yang akan datang kesenjangan ini masih akan menjadi masalah dan akan selalu menjadi masalah. Lalu, kemungkinananya seperti apa?
Maskin melanjutkan bahwa kesenjangan ini harus dikelola oleh pemerintah. Kesenjangan ini tidak untuk dihapuskan karena secara alami sudah merupakan bagian melekat dari manusia, akan tetapi dapat di persempit atau dijembatani. Ringkasnya pemerintah harus berusaha memperkecil jurang kesenjangan ini.
Kesenjangan sering digambarkan dengan rasio Gini. Dengan perhitungannya, pada tahun 1912 Corrado Gini seorang ilmuwan Italia memberikan rasio kesenjangan antara 0,25 – 0,70. Semakin mendekati 0,25 maka kesenjangan negaranya sempit dan mendekati 0,70 jurangnya menganga lebar. Di seluruh dunia, koefisien bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia), berdasarkan data 2009 oleh Central Intelligence Agency (CIA Factbook). Intervensi pemerintah yang kuat diperlukan untuk menuju ke angka 0,25.
Welfare State sebagai Jawaban
Konsep welfare state atau disebut negara kesejahteraan secara prinsip adalah memberikan kepada rakyat hasil-hasil pembangunan. UUD 1945 pasal 33 telah secara jelas menyatakan tentang negara kesejahteraan ini. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebelum negara kesejahteraan dikenal, disadari bahwa kapitalisme sangat ekstraktif dan mengakibatkan kesenjangan yang semakin melebar. Untuk mengurangi ini, kapitalisme harus memberikan sebagian kekayaannya bagi kelompok masyarakat miskin. Mereka menyebutnya compassionate capitalism. Kapitalisme dengan kasih sayang. Ini terjadi di Eropa dan Amerika pada awal abad 19 (Soeharto, 2014).
Para ahli diantaranya Spicker (1988) menggambarkan negara kesejateraan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang memberikan peran lebih besar kepada pemerintah untuk mengalokasikan sebagian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya.
Banyak negara yang menerapkan konsep negara kesejahteraan ini, terutama negara-negara barat. Pada titik tertentu, dengan besarnya alokasi pendaanaan untuk kebutuhan dasar masyarakat ini demi kesejahteraan, negara-negara tersebut cenderung seperti negara sosialis. Negara-negara Skandinavia menerapkan negara kesejahteraan cenderung berpola sosialis ini. Denmark, Belgia, Finlandia, Swedia dan Norwegia adalah diantaranya. Dengan konsep ini, maka rakyatnya sangat sejahtera ditandai dengan pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, sarana publik berupa transportasi gratis dan sarana sosial lainnya. Negara-negara ini mengalokasikan hingga 60% anggaran negaranya untuk membiayai kebutuhan sosial masyarakatnya (Suharto, 2014).
Indonesia sendiri masih belum mampu menerapkan negara kesejateraan meskipun diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dipastikan, karena kekayaan negara belum digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Setidaknya upaya mengarah ke negara kesejahteraan sedang dilakukan oleh pemerintah sekarang. Pemberian bantuan kepada para pelajar Indonesia dengan KIP dan juga kepada para nelayan bisa jadi contoh.
Welfare State Ala Ahok