Sependapat dengan Mochtar, Koentjaraningrat (2004) menyatakan, manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah, yaitu 1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; 2) sifat mentalitas yang suka menerabas; 3) sifat tak percaya kepada diri sendiri; 4) sifat tak berdisiplin murni; 5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab.
Semua karakter yang digambarkan dua tokoh di atas, bisa menjadi pemicu fenomena dan kehebohan yang jabarkan sebelumnya. Kombinasi percaya tahayul, enggan bertanggung-jawab, dan lemah dalam karakter mengakibatkan ada sekelompok orang yang membentuk isu yang menguntungkan bagi kelompok tersebut tetapi merugikan bagi masyarakat kebanyakan. Mentalitas yang suka menerabas, tentunya sejalan dengan sifat tidak disiplin, mengakibatkan masyarakat menerima begitu saja sesuatu yang ditawarkan, menelannya bulat-bulat.
[caption caption="Foto: wawasanpendidikan.com"]
Sejalan dengan pendapat di atas, Prof. Aik Kwang dari University of Queensland dalam bukunya Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001), menggambarkan karakteristik orang Asia, yang juga bisa sekaligus dipakai menggambarkan karakter masyarakat Indonesia. Beliau mengatakan bahwa orang Asia cenderung memiliki karakter berikut: 1) ukuran kesuksesan sifatnya material; 2) banyaknya kekayaan yg dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut; 3) takut salah dan takut kalah; 4) bertanya artinya bodoh.
Dalam konteks isu reklamasi Jakarta, fenomena yang sama juga terjadi. Banyak yang berbicara dan ikut-ikutan membahasnya dan membuatnya ‘heboh’; heralding. ‘Pesta’ isu reklamasi ini diperkaya media dan masyarakat mendapatkan tempat untuk menumpahkan segala pendapat dan isi kepala terkait reklamasi ini. Pendalaman akan isu ini tidak akan dilakukan, karena memang masyarakat kita malas berpikir seperti yang disampaikan oleh Prof. Aik Kwang. Tidak mempertanyakan terlebih dahulu manfaat dan kerugiannya dan memahami dengan baik isu-isu terkait reklamasi.
Dokumen-dokumen dan kajian-kajian mengenai reklamasi tidak akan pernah disentuh untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Tidak ada sikap untuk mencari duduk perkara masalah reklamasi dan mengapa reklamasi diperlukan. Pada gilirannya, pendapat-pendapat yang diajukan tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Pada gilirannya, akan digerakkan masyarakat dengan berbagai isu termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Tiba-tiba banyak yang setuju dengan ide ini. Isunya jadi melenceng.
Lebih parah lagi, masalah reklamasi direduksi hanya pada sosok, Ahok, yang kebetulan menjadikan para ‘orang-orang’ besar yang kehilangan kesempatan untuk berpesta di Jakarta, dan para free riders. Reduksi masalah reklamasi menjadi masalah sosok Ahok sangat mungkin terjadi karena memang karakteristik masyarakat Indonesia yang tidak melihat sesuatu dari berbagai sudut. Kemunafikan berujung pada tidak mengakui kinerja yang dilakukan, tetapi tetap mengangkat isu yang menjatuhkan sosok tersebut.
Tidak ada proses bertanya dan mempertanyakan. Akan tetapi, yang terjadi adalah langsung membeli isu yang diembuskan para ‘marketer’ isu ini. Ketika kemudian bumbu-bumbu lain ditambahkan, sempurnalah masalah reklamasi menjadi masalah tokoh yang kebetulan menjadi lawan mereka. Ketika masalah reklamasi tereduksi ke Ahok, sebagian para pendukungnya dan penentangnya menjadi sama, menyerang dan membela, bukan lagi tentang reklamasi, tetapi tentang Ahok.
Bahkan kebablasan terjadi. Ada anggota DPR yang sebelumnya tidak ikut bicara karena memang bukan bidangnya, akhirnya menyampaikan pendapatnya yang aneh dan tidak pada tempatnya. Lagi-lagi reklamasi diarahkan ke karakter tokoh. Isu utama reklamasi, tetapi kemudian dilarikan ke isu lain, yang pokoknya menyerang Ahok. Karakter tidak bertanggung-jawab, munafik, tidak mau rumit, berkelindan menjadi satu dalam dirinya.
Bahkan mereka yang dulu tidak perduli dengan reklamasi, tiba-tiba mendapatkan panggung yang baik untuk bersuara. Para aktivis yang dulu tidak pernah berbicara tiba-tiba muncul ke permukaan. Padahal masalah reklamasi punya sejarah panjang yang tentunya bersumber dari kebutuhan dan tidak semata-mata bisnis. Tetapi, para aktivis ini menyuarakan concern mereka tanpa mempelajari proses panjang yang telah berjalan. Karakter munafik benar-benar ditunjukkan.
Tetapi diyakini, kehebohan ini dipastikan akan berakhir segera. Sama seperti cerita kisah bocah Ponari sang dukun sakti. Sama dengan fenomena anthurium yang mengakibatkan banyak orang kehilangan uang, karena termakan isu-isu yang dihembuskan sekelompok orang cerdas dengan pop marketing-nya. Sama dengan batu akik, yang menyisakan mesin penggosok batu mangkrak, tidak dapat orderan.