[caption caption="Sumber: print.kompas.com"][/caption]Tentunya masih ingat Ponari, namanya terkenal beberapa waktu yang lalu, sekitar tahun 2009. Ponari dipercaya memiliki kesaktian menyembuhkan berbagai jenis penyakit dengan air yang dicelupi batu saktinya. Pasien yang datang beraneka ragam mulai dari sakit berat seperti stroke, asam urat, lumpuh, hingga penyakit ringan. Banyak yang mengunjunginya dan mengharapkan kesembuhan. Masyarakat kita ternyata banyak yang sakit. Apalagi waktu itu tidak ada yang namanya BPJS.Â
Jadi, harapan untuk kesembuhan berbagai penyakit digantungkan kepada bocah Ponari. Maka jadilah Ponari diburu puluhan ribu orang yang berharap kesembuhan. Bahkan, sejumlah pengunjung jatuh pingsan dan tewas terinjak-injak pengunjung lain, demi segelas air yang telah dicelupi batu Ponari.
[caption caption="Sumber: otdohmen.com"]
Pembeli antri untuk mendapatkan anturium ini bahkan dengan harga berapa pun, untuk dijual kembali, menjadi alat investasi. Ide-ide dimainkan di benak masyarakat Indonesia, para pembeli dan calon pembeli. Dengan harga yang terus naik, maka penjualan anturium digaungkan menjanjikan. Media ikut-ikutan menambah kehebohan. Harga meninju langit. Ketika kemudian semua orang sudah memilikinya, tiba-tiba bunga itu tidak ada lagi harganya. Masyarakat kecewa. Mereka ikut berpesta tetapi tidak ikut menikmati kesenangannya. Pesta usai, pembeli merugi.
Setali tiga uang dengan dua kisah di atas, fenomena batu akik juga begitu. Ketika media mulai memberitakannya dan segala bumbu yang dilekatkan padanya, maka banyak orang yang ingin memilikinya, sebagai sumber pendapatan juga sebagai investasi. Di setiap sudut kelihatan orang-orang menggosok-gosokkan batu ke celananya. Pusat-pusat penjualan batu akik tiba-tiba menjadi tempat favorit. Tiba-tiba nama-nama batu muncul lengkap dengan ceritanya. Tiba-tiba banyak yang menjadi ahli batu akik.Â
Pertengkaran masyarakat di Aceh terjadi karena perebutan batu akik jenis giok, terjadi. Cerita-cerita juga berkembang di masyarakat. Batu-batu akik ini juga dikabarkan memiliki bermacam kemampuan. Masyarakat kembali tertipu, harga mahal hanya berlaku sekejap. Janji keuntungan yang sebelumnya akan diraup, hilang ditelan angin.
Semua fenomena di atas melanda masyarakat miskin, menengah, kaya dan berpendidikan, di desa dan di kota. Pada semua kasus di atas, ada orang-orang yang bergerak di belakang layar untuk memainkan emosi massa.
Sering sekali orang-orang Indonesia juga hanya ikut-ikutan, tanpa mendalami dulu duduk perkaranya, yang berujung pada munculnya sebuah ‘kehebohan’, yang selanjutnya akan menarik lebih banyak orang lain. Orang Indonesia juga senang sekali mendapatkan sesuatu dengan cara yang cepat, senang mendapatkan hasil tanpa perlu melibatkan proses; dengan cara instan. Proses dipercayai sebagai suatu yang sulit, rumit dan membutuhkan waktu. Mengeluarkan keringat bukanlah kesenangan masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya adalah mengapa begitu mudahnya masyarakat kita bersikap menerima sesuatu begitu saja tanpa ada proses analisisnya, terlebih bila itu menyangkut rejeki yang menjanjikan? Apabila ada cerita mendapatkan kenikmatan tanpa proses yang rumit dan berkeringat, masyarakat Indonesia akan dengan mudah terperdaya.
Untuk menjawab pertanyaan, penulis melihat kepada beberapa pendapat ahli berdasarkan pengamatan empiris mereka dalam jangka waktu yang lama. Pendapat mereka atas karakteristik masyarakat Indonesia ini, sedikit banyaknya bisa menjelaskan munculnya fenomena-fenomena seperti diceritakan di atas.
Mochtar Lubis (1977) dalam bukunya Manusia Indonesia, sedikit banyaknya bisa memberikan gambaran. Di bukunya Mochtar Lubis menyatakan karakter yang melekat di manusia Indonesia. Dari 6 sifat yang diamati, ada 5 setidaknya yang berkontribusi, yaitu 1) munafik atau hipokrit; 2) enggan bertanggung jawab atas perbuatannya; 3) masih percaya pada takhayul; dan 4) lemah dalam watak dan karakter.
Sependapat dengan Mochtar, Koentjaraningrat (2004) menyatakan, manusia Indonesia mengidap mentalitas yang lemah, yaitu 1) sifat mentalitas yang meremehkan mutu; 2) sifat mentalitas yang suka menerabas; 3) sifat tak percaya kepada diri sendiri; 4) sifat tak berdisiplin murni; 5) sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggung jawab.
Semua karakter yang digambarkan dua tokoh di atas, bisa menjadi pemicu fenomena dan kehebohan yang jabarkan sebelumnya. Kombinasi percaya tahayul, enggan bertanggung-jawab, dan lemah dalam karakter mengakibatkan ada sekelompok orang yang membentuk isu yang menguntungkan bagi kelompok tersebut tetapi merugikan bagi masyarakat kebanyakan. Mentalitas yang suka menerabas, tentunya sejalan dengan sifat tidak disiplin, mengakibatkan masyarakat menerima begitu saja sesuatu yang ditawarkan, menelannya bulat-bulat.
[caption caption="Foto: wawasanpendidikan.com"]
Sejalan dengan pendapat di atas, Prof. Aik Kwang dari University of Queensland dalam bukunya Why Asians Are Less Creative Than Westerners (2001), menggambarkan karakteristik orang Asia, yang juga bisa sekaligus dipakai menggambarkan karakter masyarakat Indonesia. Beliau mengatakan bahwa orang Asia cenderung memiliki karakter berikut: 1) ukuran kesuksesan sifatnya material; 2) banyaknya kekayaan yg dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut; 3) takut salah dan takut kalah; 4) bertanya artinya bodoh.
Dalam konteks isu reklamasi Jakarta, fenomena yang sama juga terjadi. Banyak yang berbicara dan ikut-ikutan membahasnya dan membuatnya ‘heboh’; heralding. ‘Pesta’ isu reklamasi ini diperkaya media dan masyarakat mendapatkan tempat untuk menumpahkan segala pendapat dan isi kepala terkait reklamasi ini. Pendalaman akan isu ini tidak akan dilakukan, karena memang masyarakat kita malas berpikir seperti yang disampaikan oleh Prof. Aik Kwang. Tidak mempertanyakan terlebih dahulu manfaat dan kerugiannya dan memahami dengan baik isu-isu terkait reklamasi.
Dokumen-dokumen dan kajian-kajian mengenai reklamasi tidak akan pernah disentuh untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Tidak ada sikap untuk mencari duduk perkara masalah reklamasi dan mengapa reklamasi diperlukan. Pada gilirannya, pendapat-pendapat yang diajukan tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Pada gilirannya, akan digerakkan masyarakat dengan berbagai isu termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Tiba-tiba banyak yang setuju dengan ide ini. Isunya jadi melenceng.
Lebih parah lagi, masalah reklamasi direduksi hanya pada sosok, Ahok, yang kebetulan menjadikan para ‘orang-orang’ besar yang kehilangan kesempatan untuk berpesta di Jakarta, dan para free riders. Reduksi masalah reklamasi menjadi masalah sosok Ahok sangat mungkin terjadi karena memang karakteristik masyarakat Indonesia yang tidak melihat sesuatu dari berbagai sudut. Kemunafikan berujung pada tidak mengakui kinerja yang dilakukan, tetapi tetap mengangkat isu yang menjatuhkan sosok tersebut.
Tidak ada proses bertanya dan mempertanyakan. Akan tetapi, yang terjadi adalah langsung membeli isu yang diembuskan para ‘marketer’ isu ini. Ketika kemudian bumbu-bumbu lain ditambahkan, sempurnalah masalah reklamasi menjadi masalah tokoh yang kebetulan menjadi lawan mereka. Ketika masalah reklamasi tereduksi ke Ahok, sebagian para pendukungnya dan penentangnya menjadi sama, menyerang dan membela, bukan lagi tentang reklamasi, tetapi tentang Ahok.
Bahkan kebablasan terjadi. Ada anggota DPR yang sebelumnya tidak ikut bicara karena memang bukan bidangnya, akhirnya menyampaikan pendapatnya yang aneh dan tidak pada tempatnya. Lagi-lagi reklamasi diarahkan ke karakter tokoh. Isu utama reklamasi, tetapi kemudian dilarikan ke isu lain, yang pokoknya menyerang Ahok. Karakter tidak bertanggung-jawab, munafik, tidak mau rumit, berkelindan menjadi satu dalam dirinya.
Bahkan mereka yang dulu tidak perduli dengan reklamasi, tiba-tiba mendapatkan panggung yang baik untuk bersuara. Para aktivis yang dulu tidak pernah berbicara tiba-tiba muncul ke permukaan. Padahal masalah reklamasi punya sejarah panjang yang tentunya bersumber dari kebutuhan dan tidak semata-mata bisnis. Tetapi, para aktivis ini menyuarakan concern mereka tanpa mempelajari proses panjang yang telah berjalan. Karakter munafik benar-benar ditunjukkan.
Tetapi diyakini, kehebohan ini dipastikan akan berakhir segera. Sama seperti cerita kisah bocah Ponari sang dukun sakti. Sama dengan fenomena anthurium yang mengakibatkan banyak orang kehilangan uang, karena termakan isu-isu yang dihembuskan sekelompok orang cerdas dengan pop marketing-nya. Sama dengan batu akik, yang menyisakan mesin penggosok batu mangkrak, tidak dapat orderan.
Mungkin yang abadi adalah togel, yang tersembunyi di balik remang-remang pemikiran dan karakter masyarakat Indonesia seperti digambarkan di atas, karena togel terus menjanjikan rejeki cepat dengan harga yang murah.
Pastinya isu ini akan berhenti, karena karakter masyarakat Indonesia yang tidak suka sesuatu yang sudah usang. Mereka suka hal-hal baru. Isu ini akan segera menghilang dari ingatan, karena mereka tidak bertanggung-jawab sudah lari kemana isu reklamasi ini, karena mereka malas berpikir dan berargumen, ketika isu ini menjadi semakin pelik akibat kehebohan yang mereka sebabkan sendiri.
Hal-hal itu sementara berhenti dulu, hingga kemudian ada lagi kesempatan memainkannya. Suatu saat karakter masyarakat Indonesia ini akan dimainkan lagi, setidaknya pada dua peristiwa penting yang akan datang segera: Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H