Jelaslah sudah jika proses pemeriksaan BPK atas keuangan pemerintah daerah dan juga pemeriksaan investigatif atas dugaan adanya korupsi dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras memakai logika. Akan tetapi, dahsyatnya, melihat lebih lanjut pernyataan Prof. Eddy bahwa audit kinerja pemerintah DKI tidak pakai logika, ternyata terkonfirmasi. Mari kita lihat alasannya satu-persatu di bawah ini.
Tidak adanya logika dalam melakukan audit terkonfirmasi dari hasil yang telah dikeluarkan BPK DKI. BPK dengan audit investigatifnya untuk menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah DKI dalam pembelian lahan rumah sakit sumber waras. Karena tidak ada logika dalam auditnya, BPK-RI dengan sengaja menggunakan ketentuan pasal 121 Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012. Padahal Peraturan ini sudah diganti dengan pasal 121 Peraturan Presiden No 40 Tahun 2014, tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. BPK-RI justru menutup-nutupi atau mengabaikan ketentuan pasal 121 Perpres No 40 Tahun 2014, karena pasal ini dengan tegas menyebutkan bahwa, demi efisiensi dan efektifitas, maka pengadaan tanah di bawah 5 Ha, dapat dilakukan pembelian langsung antara instansi yang memerlukan dan pemilik tanah.
Ketidakadaan logika lainnya dapat ditemukan dalam kaitannya dengan lokasi lahan yang dibeli pemerintah DKI tersebut. DI NJOP, alamat surat, sertifikat tanah dan google yang tidak ikut-ikutan juga menyatakan bahwa alamat obyek jual beli tanah yang tertera di dalam SHGB atas nama Yayasan RS Sumber Waras, yaitu di Jln Kyai Tapa dan NJOP PBB tahun 2014 seharga Rp 20,7 juta per meter. Tetapi yang dipakai BPK adalah alamat di Tomang Utara.
Ketiadaan logika mengakibatkan perjanjian jual beli dengan pihak lain digunakan sebagai acuan. Padahal ada dokumen negara yang mengatur zonasi dan nilai tanahnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Tidak adanya logika ini mengakibatkan BPK melakukan sesuatu yang melebihi kewenangannya. NJOP ditentukan sendiri oleh BPK padahal itu kewenangan Kementerian Keuangan. BPK menentukan sendiri lokasi lahan, padahal itu adalah wewenang BPN.
Hilangnya logika mengakibatkan BPK menggunakan NJOP jalan Tomang Utara senilai Rp 7 juta per meter untuk harga tahun 2013 yang sama sekali bukan data yang dimiliki oleh Yayasan RS Sumber Waras. BPK-RI mengabaikan atau menutup-nutupi kebenaran nilai NJOP untuk obyek pajak pada SHGB dimaksud sebesar Rp 20,7 juta per meter dan memaksakan harga NJOP yang lain yang berbeda dengan yang dimiliki oleh Yayasan Sumber Waras dan Pemda DKI.
Absennya logika membuat Ketua BPK menyatakan bahwa pembayaran pembelian lahan sumber waras tersebut adalah dengan uang tunai. Bisa dibayangkan kerumitan melakukan pembayaran dengan tunai senilai Rp. 717 milyar lebih. Padahal pembayaran dilakukan dengan cek. Menurut Bank Indonesia yang memiliki otoritas dalam kebijakan moneter termasuk menentukan alat pembayaran, cek bukanlah uang tunai. Paper-based seperti cek dan giro bukanlah uang tunai. Tetapi Ketua BPK tetap yakin bahwa pembayaran dengan uang tunai.
Hasil terakhir dari tidak berlakunya logika di dalam audit ini adalah adanya diskon kerugian negara dalam kasus pembelian lahan rumah sakit sumber waras. Setelah kunjungan anggota dewan yang terhormat, maka diskon diberikan hampir mencapai 20%. Kerugian negara bisa berubah dari Rp. 191 milyar menjadi Rp. 173 milyar, tanpa audit investigasi tambahan, hanya kunjungan ke sumber waras dan tembok belakang Rumah Sakit Sumber Waras. Apa alasannya dan justifikasinya itu tidak penting, karena pastinya bisa terjadi begitu saja secara ajaib, karena tidak pakai logika.
Dikatakan dalam sebuah penelitian bahwa setiap orang terlahir memiliki logika. Tetapi sepertinya itu tidak berlaku di BPK terkait pemeriksaan kasus pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H